Indigo
10:05 AM
Indigo
Azifah Najwa
Juara 3 Peksimida Universitas
Juara 3 Peksimida Universitas
Seakan
selalu ada cerita yang ditawarkan oleh setiap bagian kota ini. Mereka dulu
seakan merekamnya dan berniat
memutarkannya kembali untukku suatu ketika setiap kali aku kembali ke tempat
ini. Ke negeri ini.
Syal-syal ini hampir
mencekik leherku, tapi molekul-molekul dalam tubuhku masih saja belum mampu
mengajaknya melakukan reaksi netralisasi. Aspal jalanan sekitar dorm[1]
sejak semalam berubah menjadi putih, beberapa daun Momiji pun tampak gugur
sebelum waktunya, untuk manusia tropis sepertiku udara pagi ini tak ubahnya
pagi empat tahun lalu. Dingin. Teramat dingin malah. Aku ingin memutar jejak-jejakku
sepanjang dua tahun di perjalanan 300 meter ini dan menunjukkannya pada kalian.
***
Sakyo Ward, 18 Maret 2013
-Sambil merapikan kaca mata- Aku masih tak habis pikir jika
sekarang aku benar-benar berdiri di atas tempat yang selama ini gambarnya ada
di dinding kamarku. Sebuah tempat yang sempat dan masih menjadi pusat budaya di
negeri teknologi ini. 京都大学[2]
di depan gerbang tempatku berdiri aku menatap tulisan kanji itu lamat-lamat. Aku
rasa ada skenario penting dari Allah yang harus aku lakoni di sini. Tentang bagaimana skenario itu, kita akan
memulainya dari sini.
“Hajimemasithe, watashi wa Naomi desu. Yorosikhu onegai shimasu. Saya
tinggal di sekitar sini, [3]” katanya memperkenalkan diri sembari ojigi[4].
“Watashi wa Nabila desu. Indoneshia kara kimashita. Douzo yoroshiku,[5]” logat
Jepang yang kaku. Belum lagi ojigi-ku,
aku rasa gerakannya malah lebih mirip rukuk.
“Kamu
dari Indonesia? Saya dengar Indonesia kaya akan budayanya ya? Saya pernah ke
Bali. Apkah Bali dekat dengan Indonesia?”
Plak.
Rasanya ada tamparan keras yang mendarat di pipiku. Apakah Bali dekat dengan
Indonesia? “Hehe, ya begitulah. Dan Bali itu bagian dari Indoesia,” jelasku
dengan mantap.
“Waaah,
lain kali ajak aku ke Indonesia ya. Saat di Bali aku rasanya tidak ingin
pulang. Apalagi saat aku dan keluargaku melihat pelangi di sana. Rasanya tidak
ada tempat terbaik di dunia ini selain Bali. Yoshiko senang sekali dengan
pelangi.”
Pelangi?
“Nabila-san[6]!!”
“Gomen
nasai[7].”
“Ada yang kamu pikirkan?”
“Tonde
mo arimasen[8].”
“Hmmm, mau kah kau main
ke rumahku? Aku ingin memperkenalkanmu dengan keluargaku,” naomi menghentikan
kata-katanya. “Juga dengan adikku.”
“Hai[9].” Aku
rasa aku tak ada alasan untuk menolak ajakan Naoumi.
“Kaerimasho[10].” Aku
pun mengekornya di belakang.
Naoumi bercerita
tentang sekolah dan teman-temannya sepanjang perjalanan pulang, sesekali ia
memintaku mengajarinya Bahasa Indonesia, aksen Jepangnya begitu kental, tidak
hanya dari logat bahasanya tapi juga dari penampilannya. Rambutnya dibiarkannya
tergerai, matanya sipit, hidungnya tak begitu mancung, dia lebih tinggi 10 cm
dariku, dan aku baru tahu kalau Naomi mempunyai lesung pipit saat dia mendengar
aku mengucapkan kata “krik”. Padahal aku biasa memakainya saat bercanda dengan
teman-temanku di Indonesia.
“Youkoso[11]! Ini
rumahku,” dia membukakan pintu sambil mengajakku masuk.
Ketika
aku melihat rumahnya, bayangan yang terlintas adalah rumah Nobita di film
Doraemon yang biasa aku lihat setiap minggu pagi. Di belakang pintu sebelah
kiri ada guci untuk meletakkan payung. Persis dengan rumah Nobita.
“Nabila, hati-hati!!”
“Hehe,” aku
tersenyum sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal. Ternyata kebiasaan jatuhku
tak berubah walaupun aku sudah di Jepang. Agaknya aku lupa jika model rumah
Jepang berbeda dengan rumahku, aku harus melepas sepatu dan naik saat hendak
masuk.
“Haha.. okerai nasai[12].”
Aku masih sibuk
mengamati setiap lekuk bagian rumah ini saat ibu Naomi masuk ke ruang tamu.
“Oh
kamu membawa teman rupanya. Siapa?” Ibu Naomi bingung melihatku. Jelaslah! Meskipun
kami sama-sama dari Ras Mongolia, mataku yang lebar membuatku nampak sangat
berbeda dengan mereka. Meski aku sudah mengamulfasekannya dengan kaca mata
minus empatku.
“Nabila,
Bu. Dari Indonesia,” kataku sambil membungkukkan badan.
“Youkoso.” Ternyata Naomi mewarisi lesung
pipit ibunya.
“Naomi
mana adikmu?”
Di
sodorkannya kertas gambar kepadaku. Nampak seorang anak kecil, mata sipitnya
bersembunyi di balik rambut mangkoknya. Ia sangat lucu.
***
Sepanjang
perjalanan pulang waktu itu aku selalu terngiang dengan Yoshiko. Lebih tepatnya
dengan pelangi Yoshiko. Yoshiko punya cara berpikir yang berbeda dengan anak-anak
seusianya. Tapi dia punya cara berpikir yang sama dengan orang-orang yang sama
dengannya. Sebenarnya tidak ada yang diragukan, terlebih kemampuannya. Akan aku
kenalkan kalian padanya agar kalian percaya.
***
Semburat
matahari senja sore ini menggodaku untuk membuka jendela. Di luar anak-anak
nampak bahagia bermain dengan sisa salju. Mereka saling melempar bola salju.
Ada pula yang membuat boneka salju. Ingin rasanya mengajak Yoshiko bermain di
luar apalagi matahari senja sore ini sangat indah. Matahari? Ya, matahari.
Aku
segera berbenah. Membelitkan syal ke leherku, memasukukkan laptop ke tas, dan
pergi ke perpustakaan. Bersyukurnya universitasku menyediakan fasilitas
perpustakaan 24 jam. Aku tak perlu lagi disuir penjaga perpus.
Setibanya
di perpus aku langsung menunjukkan ID
Card-ku pada petugas, baru dua minggu kuliah di sini, aku merasa sudah
sangat hafal dengan setiap sudut perpustakaan ini. Bagaimana tidak, aku
menghabiskan hampir sepertiga dari 24 jamku di sini.
Setelah
hampir tiga jam mengorek informasi di perpustakaan, aku segera berkemas. Pulang.
***
“Nabila,
maaf ya tadi aku mengatakan jika kau bisa membuat pelangi kepada Yoshiko. Dia
autis. Dia berbeda dengan teman-teman seusianya yang mau bergabung dan menerima
kehadiran orang asing. Yang dia tahu hanya aku, ibu, dan ayah.”
Aku
menghela napas panjang. Aku mengerti sekali bagaimana posisi Noumi. Ia pasti
tidak ingin Yoshiko tiba-tiba mengamuk dan menyakitiku. Meskipun ia nampak lucu
di balik rambut mangkoknya.
“Dia
sangat senang saat melihat pelangi. Dia selalu berpikir untuk bisa membuat
pelangi abadi. Aku selalu mendukungnya, berjanji mencarikan orang yang dapat
membuatkannya pelangi abadi.” Naomi tersenyum miris. Lagi-lagi lesung pipitnya
membuat senyumnya semakin manis, bahkan senyum termirisnya barusan.
“Jadi
kau menjadikanku tumbal?” Aku membalas senyum mirisnya.
Ia
tersenyum. Dari matanya ia nampak mengakui bahwa dia memang menjadikanku
tumbal. Walaupun ia tahu, ia telah membuat kebohongan besar. Kebohongan yang ia
takut saat membayangkan akibatnya.
Aku
mengerti.
***
Aku
segera menyusun bahan-bahan yang telah aku siapkan. Memperkirakan besar
dispersi cahaya yang dihasilkan dengan berbagai perbesaran. Poin terpenting di
sini adalah sudut, air, dan cahaya. Aku mencoba dengan berbagai perbesaran dan
dengan intensitas cahaya tertentu. Dan daebak[13]!
Aku menemukan susuanan yang sesuai dengan yang aku harapkan. Segera aku menelpon Naomi. Anehnya
setiap kali aku menelpon selalu tidak tersambungkan. Penasaran, aku pergi ke
rumah Naomi. Setibanya di sana aku sama sekali tak menemukan rumah Naomi, tapi
rasanya aku pernah masuk ke dalam rumah itu, bahkan aku merasa pernah
menghitung jumlah paku di sana.
“Di
sini dari dulu hanya tanah kosong ini, tidak pernah ada rumah atau apa pun.”
Bulu
kudukku berdiri. Aku menatap
tanah kosong itu dengan tatapan nanar.
[1] Asrama
[2] Kyoto Daigaku
(Universitas Kyoto)
[3]
Perkenalkan. Nama saya Naomi. Senang berkenalan dengan Anda.
[4]
Membungkukkan badan, kebiasaan orang jepang.
[5]
Nama saya Nabila. Saya dari Indonesia. Senang berkenalan dengan Anda juga.
[6]
Sebutan di jepang, bisanya untuk teman.
[7]
Maaf, untuk sesama teman akrab
[8]
Ah, tidak.
[9]
Baiklah
[10]
Mari kita pulang
[11] Selamat datang
[12] Ibu, aku pulang
[13]
Hebat
0 komentar