HUJAN

10:37 PM


Gemercik air hujan turun menghujam atap rumah ini. Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, kau akan merasakan sakitnya saat hujan turun. Tapi sayangnya aku bertemu denganmu saat hujan. Tapi sayangnya aku memutuskan jatuh cinta padamu saat hujan.
***
“Nay bangun! Handphone-mu bunyi terus sejak tadi,” sebuah suara membangunkaku. Sambil tergopoh aku raih ponselku. Ah, ibu.
“Hallo, Assalamu’alaikum, Bu?”
“Dari mana saja, Nduk, kok telpon ibu baru diangkat?” seperti biasa, ibu selalu menggerutu tiap kali anak prempuannya lama mengangkat telpon. Aku terkekeh, “Hehehe ketiduran, Bu”
“Bagaimana bisa anak prempuan pagi-pagi ketiduran, ayo bangun!”
“Iya, Bu. Ibu bagaimana kabarnya? Sehat?” Menanyakan kabar? Padahal baru kemarin ibu menelponku dan pasti akan menanyakan hal yang sama dengan yang akan ditanyakan ibu pagi ini, lihat saja.
“Sehat. Kapan kamu pulang, Nduk? Bapakmu bingung harus menjawab apa?” Ibu tidak menanyakan kabarku, fine. Ibu memang selalu tahu kalau fisik anaknya selalu sehat. Meskipun tidak dengan perasaannya.
“Naya masih harus mengambil sampel penelitian, Bu, masih sibuk,” kilahku.
“Sibuk tapi masih bisa ketiduran,” aku terkejut. Aish, aku salah memberi jawaban. “Kamu lupa atau pura-pura lupa? Hanan anaknya Pak Rian sudah menunggu jawabanmu sejak dua minggu lalu, segeralah beri jawaban, jangan kau gantungkan anak orang.”
Benar kan kataku, dia lagi, dia lagi.
“Ah, Ibu, tikus-tikusku di laboratorium lebih penting dari si Hanan. Jawab saja tidak.”
“NAYAAAAAAAA!,” teriak ibu dari balik telpon.
“Bu, Naya belum siap menikah.” Setidaknya aku memang belum siap menikah dengan siapa pun selain dirinya.
“Sudah istikharah belum?!”
Aku diam.
“NAYA!”
Aku menarik napas panjang. “Iya, Bu, nanti Naya renungkan. Besok Naya akan telpon, Ibu.”
“Besok ya? Jangan lupa jaga kesehatanmu. Hati-hati di sana. Wassalamu’alaikum,” tuut tuuut. Ibu menutup telponnya. Wa’alaykumsalam, lirihku.
Kepalaku mendadak sakit. Seperti di tusuk-tusuk jarum sonde. Mungkin seperti ini rasanya saat aku memasukan paksa produk uji ke lambung tikus-tikus penelitianku. Menyakitkan.
“Hanan, Hanan, HANAAAAAAAAN!!,” teriakku.
Aku terperanjat begitu melihat Rida di depan pintu kamar, “Hanan? Siapa itu Hanan, Nay?,” sergahnya.
“Tidak. Bukan siapa-siapa,” aku segera mengambil handuk dan alat mandi. Pagi ini jadwalku menengok tikus-tikusku di lab. Memastikan mereka bahagia dan kadar gula mereka stabil.
“Ceritakan atau kau tidak akan mandi selamanya,” ancam Rida sembari menutup pintu kamar mandi. Aish, apa lagi ini.
“Rida, aku harus ke lab,” rengekku.
“10 menit saja, baru kau boleh mandi!,” jawabnya garang, ditambah garis-garis wajah khas Suku Bataknya, akhirnya aku luluh.
“Mulai dari mana aku ceritanya?,” jawabku sedikit kesal sembari kembali ke kamar. Tidak mungkin aku menceritakan masalah ini di depan kamar mandi, bisa-bisa cerita ini jadi konsumsi anak satu kosan.
Rasanya aku dan Rida tidak cocok sekali membicarakan topik ini, ya laki-laki. Kami bukan lagi remaja tanggung yang sedang gandrung mengagumi kakak kelas, kemudian saling bercerita saat bertemu di koridor sekolah, seolah-olah itu adalah pertemuan yang pantas dibanggakan, padahal hanya papasan biasa, tidak ada senyum apalagi sapa. Kami mahasiswa tingkat akhir. Aku sedang menyelesaikan penelitianku. Dan Rida sudah mulai menyiapkan berkas wisuda.
“Siapa Hanan itu, Naya?”
“Hanan. Dia anak salah satu orang yang cukup terpandang di desaku. Bapaknya seorang mantri, ya bisa disebut dokter lah, dan ibunya seorang guru. Kultur desa tempat tinggalku masih begitu menghormati guru dan juga mantri. Rumahnya agak jauh dari rumahku, ya selisih enam atau tujuh rumah. Aku dulu sering main ke rumahnya karena aku berteman akrab dengan adiknya. Dan kata bapakku dia masuk pondok sejak lulus SD, kemudian SMP, lalu SMA, dan kuliah di fakultas kedokteran. Jadi dia seorang dokter, katanya. Aku kurang tahu betul dan memang tidak berniat mencari tahu atau pun ingin tahu. Ada yang ingin ditanyakan sampai sini?,” aku haus, mengambil air lalu meminumnya, Rida mengerjap, menungguku minum.
“Belum apa-apa, Nayaaa! Terus gimana?”
Aku terkekeh. “Iya, jadi dia anak orang yang cukup dipandang di desaku. Tidak hanya dia, kakek dan neneknya dulu termasuk orang yang paling berada di desa,” jelasku. Rida mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya dia tidak tertarik dengan bagian ini. “Karena alasan itu orang tuaku tidak enak hati harus menolak pinangannya.”
“Pinangannya? Untukmu?”
Aku tidak menjawab. Aku rasa Rida tahu sendiri jawabannya, tidak mungkin untuk adikku.
“NAH! Ini mulai seru!,” aku kaget. Rida memperbaiki posisi duduknya, seolah akan mendengarkan bocoran soal ujian.
Aku melihat notifikasi ponsel sejenak kemudian menutupnya kembali, pada saat-saat seperti ini sejujurnya aku tidak mengharapkan notifikasi apa pun masuk ke handphoneku.
“Dua minggu lalu dia datang sendiri ke rumahku. Mengutarakan niat baiknya ke kedua orang tuaku.”
“Dia datang sendiri?,” aku malas menjawab pertanyaan yang seperti ini, dia hanya mengulang ceritaku. Tapi aku jawab saja, “iya”. Aku tahu persis jika dia sedang menunjukkan perhatiannya pada ceritaku. Aku tersenyum.
“Di bawah cahaya lampu ruang tamu yang malam itu mendadak gelap, dia mengutarakan niatnya. Katanya dia sudah mendapat restu dari orang tuanya. Pak Restu, orang tuanya, sangat setuju katanya,” Rida mengangguk-angguk. “Dia bilang begini, ‘Kata bapak, Bapak dan Ibu Ali adalah teman karibnya sejak kecil. Bapak tahu bagaimana perangai Bapak dan Ibu serta bagaimana Bapak dan Ibu membesarkan Naya hingga tumbuh menjadi calon dokter yang shalihah. Menuruni sifat kedua orang tuanya yang dermawan serta lemah lembut,” aku mengentikan ceritaku sejenak dan memasang muka paling datar sedunia. Dan Rida wajahnya sudah lebih mirip buah jambu.
“BUAHAHAHAHAHAHAAA.” Aku selalu menghargai kejujurannya, jadi ku biarkan saja dia tertawa.
“Itu memang lucu, bagiku juga. Ya aku masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa begitu yakin denganku, padahal kita tidak saling kenal sebelumnya. Aku hanya tahu dia kakak temanku. Sudah.”
“Kamu pernah ngobrol sebelumnya dengan dia?”
Aku menggeleng.
“Pernah ga sengaja belanjaanmu jatuh di pasar terus di tolongin dia? Pernah ga sengaja ketemu diantrian supermarket?,” dasar korban sineteron, pikirku.
“Tidak pernah, Rida. Sudah, aku mau mandi dulu,” aku segera bergegas ke kamar mandi sebelum Rida menghadangku lagi.
“Nay, kamu masih berharap dengan dia?,” Rida meneriakkan pertanyaan itu dari jauh. Iya, lirihku dan aku yakin dia tak mendengarnya.
***
Seperti biasa, pagi-pagi buta aku sudah lengkap dengan perlengkapan laboratorium, jas lab, sarung tangan latex, masker, juga jarum-jarum suntik. Agendaku pagi ini mengambil sampel darah tikus-tikus ini.
Tiba-tiba ponsel di kantong jas labku berbunyi. Ah. Tikus putih yang aku pegang mengeluarkan darah. Aku salah memasukan jarum suntik. Segera aku hentikan pendarahannya dan memasukkannya ke kandang. Untunglah dia baik-baik saja. Ku raih ponselku, dan, Ah ibu.
“Hallo, iya, Bu?”
“Hallo, Nduk. Lagi di mana? Kok lama ngangkat telponnya?,” gerutu ibu akhir-akhir ini setiap kali aku telat dua-tiga detik saja mengangkat telponnya.
Sambil melepas perlengkapan lab, aku keluar ruangan, mencari tempat yang tepat untuk berbicara dengan ibu. “Lagi ambil sampel darah tikus, Bu, di lab.”
“Bagaimana jawabannya, Nduk?,” Ibu memang selalu to the point.
“Jawabannya masih tidak, Bu.”
“Naya, Naya, laki-laki seperti apa yang kamu cari, Nduk? Kurang apa si Hanan itu, dia dokter, sama sepertimu. Dia dari keluarga terhormat di desa ini. Lulusan pondok pesantren. Laki-laki seperti apa lagi yang kamu cari, Nduk?”
“Naya belum siap menikah, Bu. Itu saja alasannya.”
“Nduk, usiamu sekarang sudah 22 tahun, belum lagi nanti harus ­ko-as. Mau nikah umur berapa tahun kamu, Nduk?.” Aku hanya diam mendengar penjelasan ibu. Bu, aku ingin menikah dengan laki-laki lain, sebenarnya itu yang ingin aku katakan.
“Ya sudah, kamu pulang dulu saja. Bapakmu tidak bisa tidur memikirkan ini.”
“Iya, Bu. Besok, Naya pulang.”
“Ya sudah. Hati-hati ya, Nduk. Wassalamu’alaikum.” Seperti biasa, ibu menutup telponnya sebelum aku sempat menjawab salamnya. Wa’alaikumsalam, lirihku.
Di luar hujan. Aku tidak segera beranjak. Menatap nanar lorong lab dengan harapan seseorang yang aku tunggu kedatangannya hadir, membawakan sekotak sari kacang hijau kesukaanku. Ini sudah hari kesekian sejak aku memutuskan pergi dari kehidupan seseorang. Lenyap dari segala hal tentangnya. Asal kalian tahu saja, tidak ada yang mudah mengawali semuanya. Menghilang bukanlah keahlianku. Sama bukannya dengan bertahan dengan kepercayaan yang tak lagi utuh.
***
“Nduk, jadi bagaimana keputusanmu?,” baru kali ini bapak menatapku dengan tatapan seserius ini. Gurat wajahnya menunjukkan betapa banyak pengorbanan yang beliau lakukan.
“Bapak tidak enak hati menolak lamaran Hanan,” ini intinya.
“Naya belum siap menikah, Pak.”
Bapak menarik napas panjang. “Benar alasanmu hanya itu?” Sejak kecil bapak memang selalu tahu kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Pak, aku ingin menikah dengan laki-laki lain.
“Nduk, Hanan kurang apa? Soleh sudah, mapan sudah. Tidak baik, Nduk menolak lamaran laki-laki yang sudah baik agamanya. Kamu tahu itu kan?,” Ibu menambahkan.
Aku hanya diam.
“Jadi gimana, Nduk?,” Bapak menanyakan lagi.
Aku diam, menghela napas. Aku tidak boleh diam. Bapak dan ibu tidak boleh mengartikan diamku sebagai iya.
“Kalau kamu tidak punya jawaban, biar Bapak saja yang putuskan.” Aku menangkat wajah, “Pak, Naya belum siap....”
“Tidak baik menolak orang baik, Nduk, takut fitnah!,” ibu menimpal. Aku kembali menunduk. Air mataku memaksa keluar. Tapi aku tak boleh menangis di hadapan bapak. Bapak akan luluh jika melihat putrinya menangis, setegas apa pun bapak.
 “Ya sudah, terserah Bapak saja baiknya bagaimana,” kataku akhirnya. Heh, apa yang baru saja aku katakan. Bagaimana ini? Aku melihat bapak terdiam. Menunduk. Kemudian beranjak. Seketika tangisku pecah. Ibu menepuk-nepuk pundaku, mencoba menenangkan.
Sejak malam itu hingga tiga hari ke depan aku  tidak tahu apa jawaban yang bapak berikan kepada Hanan. Hingga malam ketiga, Hanan datang dengan keluarganya. Membawa berbagai macam bingkisan. Aku tak sanggup melihat wajah bahagia mereka. Sedang aku tak sebahagia itu. Di luar hujan turun dengan derasnya. Cintaku selalu bermula dan berakhir saat hujan. Siapa yang tahu perasaanku? Tidak aku bayangkan rumah tanggaku akan aku bangun dengan perasaan seperti ini.
“Saya mohon izin kepada Ibu dan Bapak untuk menikahi Naya esok hari”
Sayu-sayu dari luar kamar aku mendengar kalimat itu. Ku pejamkan mata. Aku segera berlari. Keluar kamar. Ke luar rumah. Tidak mempedulikan hujan yang turun dengan derasnya. Tidak mempedulikan bapak yang berkali-kali memanggilku. Tidak mempedulikan Hanan yang menatap tak mengerti, ada apa dengan calon istriku, pikirnya. Menghilang memang bukan keahlianku. Tapi, apa harus seperti ini caraku memulai berdamai dengan kisah hidup seseorang. Aku terus berlari. Tidak mempedulikan jalanan yang ramai, kendaraan yang lalu lalang, atau pun bunyi klakson. Aku terus berlari sebelum akhirnya dihentikan oleh ponselku yang bergetar. Ada sebuah pesan singkat masuk.
“Naya, tolong buka email, ada proposal ta'aruf yang ummy kirim untukmu, atas nama...”
Aku tak bergeming dari tempatku berdiri. Berulang-ulang membaca nama pengirimnya. Benarkah ini kamu? Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan...
***
DUARRR
Aku tersentak. Mataku berat. Kuraih ponselku 22.31. Cahaya kilat memaksa masuk lewat jendela kamar, di luar hujan deras, dan petir menyambar-nyambar.

Ah, mimpi...





Purwokerto, 26 September 2016
Azifah Najwa

You Might Also Like

0 komentar