Sudut Bias

8:22 AM

Nathan El Nata. Panggil dia Nathan kecuali kau adalah orang yang memandangnya dari sisi lain, dari sisi paling menjengkelkan dari pribadinya. Persetan dengan itu, dia tidak akan peduli. Apalagi membicarakannya karena ideologinya yang sering bertabrakan dengan paham umum.

Semua tingkah songongnya bukan karena dia terlalu kolot untuk mengikuti aturan yang ada. Atau sikapnya yang keras kepala, wajar memang untuk orang yang pernah tak menemukan kata ayah dalam hidupnya.

Kehidupan keluarganya tak pernah merasa baik. Keluarga? Dia sendiri sangsi menggunakan kata itu, pasalnya tidak ada unsur keluarga dalam keluarga yang disebutnya. Entahlah, Tuhan dengan segala rahasia rencana-Nya mengejutkannya dengan pilihan ibu untuk menghidupkan asap dapur keluarganya di negeri tetangga. Jadi jangan salahkan dia apabila dalam perjalanannya dia memilih menjadi pribadi yang keras.

Dan entah apalagi rencana Tuhan tentangnya, hingga Ia mengirimnya di sebuah tempat bernama sekolah menengah atas. Jika kalian ingin tahu betapa menyebalkankannya sekolah itu kau bisa menjadikan Nathan narasumbernya, di saat yang lain menginginkan bagaimana nikmatnya menjadi siswa SMA, Nathan justru sebaliknya. Bukan dia tidak pandai, untuk orang seperti nya is bisa dimasukkan kedalam golongan orang-orang cerdas. Tidak percaya? Selesaikan membaca cerita ini hingga tuntas dan kau akan tahu, pribadi macam apa Nathan sebenernya.

Baru lima menit ia berada di kelas itu dan aku sudah merasa tidak nyaman dengan semuanya. Untung saja anak laki-laki itu menarik tangannya dan mengajaknya menjadi teman satu mejanya. Dan itu awal mulai perkenalan mereka. Perkenalan? Bahkan mereka belum saling menyebutkan nama dan asal.

Meskipun status nya sekarang adalah seorang siswa, ia masih belum mengerti apa sebenarnya sekolah itu. Kata orang sekolah itu membuat orang pandai, bagaimana caranya? Apa orang pandai itu mereka yang duduk manis didepan papan tulis? Sepemahamannya, siapa yang bisa bertahan dia yang menang.

Ardi -yang mengajak nya duduk satu meja- memberi warna baru dalam perjalanannya. Ardi jauh lebih beruntung darinya -setidaknya itu yang ia rasakan-

"Di, kenapa kamu mau sih jadi budak papan tulis?"

Ardi diam, ia memikirkan apa makna pertanyaan teman entah bagaimana mereka kenal, padahal mereka tak pernah merasa berkenalan

"Mmmmm, entahlah, lalu mengapa kau mau juga menjadi budak papan tulis?"

"Karena kamu yang menyuruhku."

"Hah, aku?"

Nathan mengangguk. "Kau lupa siapa yang menarikku duduk di sebelahmu saat aku akan meninggalkan ruang kelas dulu?"

Mereka saling bertatapan lalu tertawa terbahak-bahak.

"Than, selamanya kau hanya akan merasa menjadi budak papan tulis jika memang itu yang ada di pikirmu"

"Memang faktanya kan, Di? Kita setiap hari harus duduk di depan papan tulis, tidak boleh mengantuk sedikit pun"

"Hahahaha, selain itu apa yang kamu dapatkan?"

"Kalau hari ini si aku tahu kalau pelangi tidak hanya terbentuk oleh air dan cahaya, tapi juga butuh sudut bias yang presisi."

"Orang-orang seperti kita hanya bisa bermimpi, Than, sama seperti pelangi itu, Allah telah menyediakan air dan cahanyanya, tinggal bagaimana kita mengusahakan sudut presisi itu."

Dan sejak hari itu mereka adalah dua sahabat yang tak pernah berkenalan tapi saling mengenal satu sama lain.
Ardi aktif dengan berbagai kegiatan keagamaan dan kepramukaannya. Dan siapa menyangka jika Nathan sekarang adalah ketua OSIS di tempat para budak papan tulis.

Semua berjalan lancar bahkan seolah berjalan terlalu baik. Nathan dan Ardi lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Dan lagi-lagi, Nathan membuat semua orang terperangah, ia berhasil menjadi yang terbaik di antara budak-budak papan tulis itu.

Ia masih Nathan yang sama, kepala yang sama, dan keadaan yang sama. Sebelum ia mengenal tarbiyah.

Jika memang Islam agama yang membenci segala bentuk kekerasan tapi mengapa banyak kekerasan terjadi atas nama Islam? Entahlah, Islam radikal yang mengartikan kata jihad dengan kepala nya sendiri. Kecintaan berlebih pada kaum sendiri dan melupakan nilai-nilai multidimensi yang sebenernya bukan penghalang persatuan, namun lebih kepada penyempurnaan keberagaman.

Dan tarbiyah, mengajarkannya banyak hal. Ia masih Nathan yang sama tapi dengan isi otak yang berbeda.

Allah hanya menyediakan air dan cahanyanya, untuk membentuk pelangi, kita sendiri yang harus mengusahakan sudut biasanya.

You Might Also Like

0 komentar