Menakar Militansi Kaum Santri pada Pilkada Kebumen 2015
2:26 PM
Beradasarkan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah (bupati,
walikota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya kepala daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah
oleh DPRD ternyata membawa kekecewaan masyarakat. Karena, pertama,
politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, di mana
kepentingan partai, bahkan kepentingan segelintir elite partai, kerap
memanipulasi kepentingan masyarakat luas. Kedua, mekanisme pemilihan
kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD.
Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada
kepada masyarakat. Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics,
khususnya pada proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota
DPRD.
Kondisi
ini yang setidaknya medasari adanya pilkada secara langsung yang mulai diadakan
pada 2005 lalu. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat
berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Melalui pemilihan secara
langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Pilkada
langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus ‘menitipkan’ suara
melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas
dan transparan.
Salah
satu daerah yang akan melaksankan pilkada di tahun 2015 ini adalah kabupaten
Kebumen. Kabupaten Kebumen secara administratif
terdiri dari 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 hektar atau
1.281,115 km², dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan
perbukitan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran rendah. Kabupaten Kebumen mempunyai daya tarik
tersendiri bagi partai politik dan calon anggota dewan karena jumlah
penduduknya yang cukup padat. Berdasarkan data KPUD (2015) Jumlah DPT Pilbup Kebumen 2015 ialah 460
desa, 2.385 TPS, 541.450 laki-laki, 535.146 perempuan dan jumlah total
1.076.596.
Tidak majunya bupati sebelumnya, Buyar Winarso dalam pilkada
Kabupaten Kebumen membuat peta persaingan antar kandidat terlihat seimbang
dalam perspektif positioning image
bagi para pemilih. Pilkada yang akan dilaksanakan 9 Desember mendatang
diikuti oleh 3 (tiga) pasang kandidat bupati dan wakil bupati, pasangan
pertama: Bambang Widodo-Sunarto yang diusung PDIP-HANURA), pasangan kedua:
Khayub Mohammad Lutfi-Akhmad Bahrun yang didukung oleh PKS, NASDEM dan GOLKAR,
pasangan ketiga: M Yahya Fuad-KH Yazid Mahfudzyang diusung oleh PAN, GERINDRA,
DEMOKRAT, PKB. Tingkat positioning tiap calon yang relatif sama (sebagai
pendatang baru), mendorong para tim peramu strategi pemasaran politik tiap
kandidat untuk merancangstrategi pemasaran yang efektifguna memenangkan
persaingan di arena pilkada Kebumen.
Salah satu kejutan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
2015 Kebumen yang akan digelar 9 Desember 2015 nanti adalah munculnya pasangan
calon (paslon) yang merepresentasikan NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam
terbesar baik dalam skala nasional maupun skala lokal Kebumen. Mohammad Yahya Fuad,
pengusaha yang merupakan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Gombong
diusung menjadi calon bupati berpasangan dengan calon wakil bupati KH Yazid
Mahfudz, Pengasuh Pesantren Al Huda dan sekaligus pengurus Cabang Nahdlatul
Ulama (PC NU) Kebumen. Paslon ini diusung koalisi Gerindra-PKB-PAN-Demokrat dan
didukung juga oleh PPP.
Daya tarik paslon yang mendapatkan nomor urut 2 ini bukan hanya latar belakang paslon saja, melainkan juga dilihat dari partai pengusung dan pendukungnya yang merupakan gabungan partai berbasis massa Islam (PKB, PAN dan PPP) dan partai nasionalis (Partai Gerindra dan Partai Demokrat). Meskipun dukungan PPP yang di tingkat DPP masih terpecah menjadi dua kubu tidak utuh, tapi dengan jumlah kursi DPRD paling sedikit dibanding partai pengusungnya, ketidak-utuhan PPP bukan persoalan yang serius bagi paslon ini. Partai berbasis massa Islam yang bergabung juga menarik. Tercatat hanya PKS, partai Islam yang memiliki kursi DPRD yang tidak ikut bergabung, karena sudah berkoalisi dengan Partai Nasdem dan Partai Golkar mengusung paslon Khayub M. Lutfi-Akhmad Bakhrun yang mendapat nomor urut 1.
Berkoalisinya PAN dan PKB merupakan sesuatu yang baru. Secara nasional dalam Pilpres 2014 yang aroma pertarungannya masih terasa sampai sekarang, PAN dan PKB berbeda kubu. Semula muncul kecenderungan perseteruan Koalisi Merah Putih (KMP) tempat bergabungnya PAN dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tempat bergabungnya PKB, hendak dilembagakan sampai daerah. Meskipun kemudian ternyata tidak, bahkan PAN sekarang berubah haluan menjadi partai pendukung pemerintah. Bukan hanya PAN dan PKB yang selama ini belum pernah berkoalisi di Kebumen, di tingkat grass root NU dan Muhammadiyah masih agak susah untuk akur. Sehingga kalau momentum pilkada bisa membuat akur pendukung kedua ormas Islam tersebut tentu akan mempengaruhi posisi umat Islam dalam percaturan politik di Kebumen.
Arus Berlawanan
Meski tak ada partai yang dapat mengusung paslon sendiri, PDIP dengan percaya diri membuka pendaftaran bakal calon bupati dan wakil bupati pada 10 s.d 20 Januari 2015 silam. Padahal ketika itu masih belum ada kejelasan pilkada dilakukan secara langsung atau dipilih DPRD. “Keangkuhan” partai pemenang Pemilu 2014 ini seperti memicu harga diri politisi partai lainnya. Puncaknya pada 27 April 2015 dideklarasikanlah Koalisi Kebumen Beriman (KKB) yang beranggotakan Partai Gerindra, PAN, PKB, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP dan PKS. Dengan hanya menyisakan Partai Demokrat dan Partai Hanura, jelas situasi ini mengancam posisi PDIP yang tampaknya tak bergeming untuk melanjutkan proses penentuan paslon yang akan diusungnya.
Dalam KKB ini, rupanya ada dua arus yang berlawanan. Di satu sisi ada Khayub M Lutfi yang dari awal memang sudah mendeklarasikan diri untuk maju dalam pilkada, sehingga meski tidak yakin akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP tetap ikut mendaftar sebagai bakal calon bupati, sambil terus menggalang dukungan partai-partai lain. Di sisi lain, wacana koalisi kultural “NU-Muhammadiyah” bergulir baik melalui media sosial (medsos) maupun di lingkungan elite politik Kebumen.
Karena tidak ada titik temu, akhirnya KKB pun terpecah menjadi dua koalisi berbeda karena mengusung dua paslon yang berbeda. Partai Nasdem, Partai Golkar dan PKS mengusung Khayub-Bahrun, sedangkan Partai Gerindra, PKB, PAN, PPP ditambah Partai Demokrat mengusung Fuad-Yazid. Sementara PDIP yang memberikan rekomendasi kepada paslon Bambang Widodo-Sunarto, hanya “kebagian” Partai Hanura untuk menjadi mitra koalisinya.
Militansi Politik
Seiring kembali ditetapkannya pilkada langsung, tidak jadi melalui DPRD, majunya tiga paslon dalam pilkada Kebumen menjanjikan kompetisi yang menarik, karena jumlah partai pengusung dan kursi DPRD yang dimiliki tak selalu berbanding lurus dengan raihan suara dalam pilkada. Semangat elite NU dan Muhammadiyah untuk membangun koalisi kultural yang didukung koalisi partai pengusung paslon Fuad-Yazid diuji dengan keberadaan paslon Khayub-Bakhrun yang juga didukung sebagian pengurus dan massa NU.
Kegagalan KKB mengusung satu paslon saja menggagalkan pertarungan politisi dari kaum santri yang didukung nasionalis berhadapan secara head to head dengan politisi dari kaum abangan sebagai representasi koalisi PDIP dan Partai Hanura. Kemenangan yang tadinya seperti sudah hadir di depan mata untuk sementara sirna. Sebab bukan tidak mungkin paslon nomor 3 Bambang-Sunarto yang diusung PDIP dan Partai Hanura bisa mengambil keuntungan politik dari situasi ini. Di sinilah militansi politik kaum santri diuji di Kebumen.
Repotnya belum apa-apa perang jargon antara paslon nomor 1 dan nomor 2 sudah terjadi di tingkat grass root. Pendukung paslon nomor 1 melempar jargon, “Masa NU kok mau dipimpin Muhammadiyah?” Masa NU pendukung paslon nomor 2 yang semula sedikit terpojok dengan jargon tersebut, akhirnya balik memunculkan jargon balasan, “Daripada NU dipimpin PKS?”
Di tingkat masa NU fanatik memang masih agak susah untuk membangun interaksi positif dengan Muhammadiyah dan PKS. Padahal pembeda sebenarnya adalah praktek dan pemahaman ajaran Islam yang masih bersifat khilafiyah, bukan dalam persoalan yang pokok serta tidak ada kaitannya dengan manajemen pemerintahan daerah. Namun karena kepentingan politis sesuatu yang tidak berhubungan bisa dianggap sangat berpengaruh.
Semestinya kalau pendukung paslon nomor 1 dan nomor 2
sama-sama hendak merepresentasikan politik kaum santri, baik NU, Muhammadiyah
maupun PKS, tidak perlu saling menyerang.Justru sebaliknya memperluas
pengaruhnya ke kalangan non santri (untuk menyebut kalangan yang tidak mau disebut
abangan tapi juga segan kalau mendapat sebutan santri), termasuk dalam hal ini
kelompok minoritas non muslim dan tionghoa agar mereka nyaman dan bisa menerima
peran kaum santri dalam menjalankan roda Pemerintah Kabupaten Kebumen.
Karena itu momentum Pilkada 2015 bisa digunakan untuk menakar sejauh mana militansi kaum santri di Kebumen, ketika upaya persatuan umat secara formal sebenarnya sudah diwujudkan namun belum membawa hasil maksimal. Apakah masih ada pikiran di kalangan sesama kaum santri ketika berkompetisi, lebih baik sama-sama gagal daripada kaum santri kelompok lain yang berhasil, atau masing-masing kelompok segera tahu diri sehingga sama-sama melakukan ekspansi politik kepada kalangan non santri. Jika kemungkinan pertama yang terjadi, jelas paslon nomor 3 yang diuntungkan dan bisa menghemat energi. Tapi ketika alternatif kedua yang berjalan, paslon nomor 3 bakal kewalahan, karena seperti dikeroyok pendukung paslon nomor 1 dan nomor 2. Tidak kurang sebulan sebelum hari H pemilihan, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi, termasuk relevan tidaknya memilah kelompok santri dan non santri atau abangan dalam percaturan politik lokal Kebumen.
Sumber:
Koran
Kebumen Ekspress
Jurnal
Poelitik Vol. 1 No. 1 2008. Lili Romli.
Sebagai salah satu syarat mengikuti DM2 Sleman
0 komentar