Karakter Curian
10:35 PMLelah adalah ketika kita terpaksa bertahan dengan karakter curian. PKL ke-23. Jika sejak awal minggu ini ditanya apa suka-dukanya, maka jawabku hanya diam. Bukankah lebih baik diam daripada menyakiti hati orang? Mau berapa kali pun ditanyakan, jawabku hanya satu, tidak ada kesan. Mungkin PKL ini tak ubahnya aktivitas kuliah biasa, yang aku jalani hanya untuk memenuhi syarat studiku, hanya untuk menjawab rasa penasaranku akan gandun, hanya untuk menjelasakan ke otakku bagaimana produksi tepung.
Terdengar sangat kejam ya? Ah maaf sudah terlalu banyak hal yang aku sembunyikan, yang aku pura-pura bahagiakan. Maka saat jadwal pulang tiba yang aku inginkan hanya satu, segera meninggalkan ibu kota. Capek loh satu bulan ini harus bertahan dengan karakter curian. Sudah mencuri, yang dicuri karakter pula. Jadi, dengan apa yang tampak dariku jangan pernah kalian percaya sepenuhnya.
Tapi agaknya aku memang sudah belajar ini sejak dulu. Sejak aku pura-pura berdamai dengan waktu ibu yang teramat sempit untukku. Sejak aku memilih menulis dan melukis untuk mengatakan semuanya. Sejak akhirnya aku memutuskan berdamai dengan kehidupanku, lalu melanjutkan hidup ala kadarnya. Iya, ala kadarnya.
Selepas isya tadi adekku telpon, menceritakan segal hal tentang studinya, mungkin lebih tepatnya aku paksa menceritakannya. Benar kan dia ceritakan semua yang dikhawatirkan, yang dia takutkan dari makhluk tak berwujud bernama SNMPTN. Maka yang aku lakukan hanya memberikan dia keyakinan, melangkah saja tanpa banyak bicara, tanpa perlu mendengarkan nasihat, hanya perlu diyakinkan oleh-Nya. Sengaja aku menyuruhnya itu, karena pernah gagal karena tak mengamalkannya. Tentu aku berani menyuruhmu, tidak harus kau memintanya. Boleh aku bertanya? Bagaimana rasanya punya kakak?
Ah maaf, aku tak sengaja menangis. Saat menuliskan ini apalagi yang aku ingat selain masa 3 tahun silam. Kalian pasti tidak percaya bahwa untuk banyak kesempatan aku masih seorang seniman, yang hidup dari rentetan kata. Yang mengungkapkan kejujuran lewat seninya. Seperti kisahku dengan dunia lukis yang berakhir tragis, kisahku dengan dunia sastra juga berakhir sama saja, sama tragisnya. Jadi maafkan, kalau mengingatnya aku jadi menangis.
Aku lelah bertahan dengan karakter curian ini. Yang dulu pernah mengenalku, coba ceritakan bagaimana aku dulu. Sebelum semuanya membuatku pandai pura-pura baik-baik saja.
Jakarta, 26 Februari 2016
Azifah Najwa
0 komentar