Pelangi
12:20 AM
Pelangi
Nabila Faradina Iskandar
Tak pernah ada yang berhasil tau, kemana jejak
pelangi pergi. Entah sore, entah senja, entah kemana. Tiba-tiba hujan mereda,
menyisakan dingin dan tanya.
Ruangan
ini tak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan yang lain. Sebagai laboratorium
dengan fasilitas terlengkap di abad ini, manusia-manusia pada abad sebelumnya
tak akan membayangkan jika laboratorium ini akan berdiri. Semua ruangan
dibangunan itu memiliki desain yang sama. Dindingnya putih. Bersih. Dan akses
menuju ruangan itu dijaga ketat dengan teknologi super canggih. Hanya yang
memiliki lisensi ilmuwan lah yang mampu masuk ke dalam bangunan itu.
Meskipun
tampak sama, ada ruangan yang didesain khusus. Tidak seperti ruangan lain, pada
ruangan itu dipasang kaca yang memiliki dengan sudut elevasi 450. Lampu-lampu
yang ditanam di ruangan itu memancarkan cahaya lembut. Membuat ruangan itu
membiaskan cahaya saat hujan turun. Sempurna membentuknya menjadi pelangi. Tepat
di ujung ruangan itu ada sebuah pintu. Pintu itu yang sudah hampir beberapa
tahun ini diselesaikan ilmuwan-ilmuwan dunia. Dan hari ini pintu itu selesai
dikerjakan.
“Buka
pintunya, Profesor!.”
Waktu
menunjukkan pukul sembilan malam saat suara
itu memecah kebekuan di ruangan lantai marmer itu.
Seperti
kisah di negeri dongeng, jika kau menemukan di mana ujung pelangi itu, kau bisa
menaikinya untuk sampai ke langit. Seperti kisah di negeri dongeng, kisah ini
dimulai juga pada suatu hari dan diselesaikan dengan selamanya.
***
Kisah
ini dimulai pada suatu hari, saat di mana penduduk bumi mencapai 9 milyar. Pada
saat itu pangan menjadi komoditas yang sangat langka. Di saat lahan produktif
pertanian tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan 9 milyar penduduk bumi. Manusia
mengabaikan peringatan untuk jangan membuka lahan hutan. Mengabaikan larangan
untuk tidak alih fungsi lahan. Mengabaikan larangan untuk tidak menggunakan
pupuk kimia. Jika 15 tahun lalu produksi jagung sebuah negara bisa mencapai
puluhan juta ton, saat ini tidak ada lagi lahan yang dapat ditanam.
“Arya,
ada yang menarik dari laporan peswat ulang alik yang kita terbangkan seminggu
lalu,” Elis menyambungkan tablet miliknya dengan proyektor. Proyektor tercanggih
pada abad itu. Dengan resolusi yang sangat tinggi. Seolah-olah kita tengah
melihat dengan mata langsung.
“Maksudnya
apa, Elis?,” Prof Buchle menanyakan.
“Planet
ini bisa menghasilkan air, Prof. Berdasarkan laporan dari robot X-25 yang kita
kirim satu minggu lalu, lapisan kedua planet ini mampu membentuk awan.”
“Maksudmu,
manusia mungkin hidup di planet itu, Elis?”
“Tepat,
Arya. Meskipun aku belum yakin, apa kandungan hujan yang diturunkan oleh awan
di planet ini.”
“Bagaimana
dengan kondisi suhu lingkungannya, Elis?”
“Hmmm,
aku rasa tidak terlalu buruk. Saat siang suhunya dapat mencapai 27-300C
tapi dapat mencapai -50C hingga -200C atau bahkan -350C
saat malam,” jawab Elis sambil menggigit bibir. Bukan penemuan yang meyakinkan.
“Kirim
robot yang lain, Arya,” Prof Buhcle memerintahkan. Itu artinya penemuan Elis
bukan jawabannya. Elis menghela napas panjang. Tentu ini bukan penelitian yang
mudah. Para ilmuwan telah meramalkan, bumi akan mengalami revolusi setiap 1000
tahun. Dan abad ini adalah puncaknya. Sejak fakta ini diketahui oleh para
ilmuwan, mereka segera merencanakan pembuatan pintu ajaib itu. Ada puluhan
pemuda jenius dari belahan dunia yang dikumpulkan untuk menyelesaikan proyek itu.
Elis dan Arya salah duanya. Saat itu Elis berusia 17 tahun dan Arya 19 tahun.
“Sudahlah,
Elis, tidak perlu mengeluh begitu, bukankah ini adalah hal biasa? Kita mengirim
robot kemudian mendapatkan laporan dan laporan yang didapat tidak sesuai dengan
yang harapkan.
“Ini
bukan kali pertama, Elis. Kita telah melakukan ini bertahun-tahun. Entah berapa
ratus robot yang sudah kita kirim ke luar angkasa. Mengunjungi setiap orbit
planet. Tapi hingga sekarang semua hasilnya nihil. Orang-orang di luar sana
tidak pernah tahu, bahwa kehidupan ini lambat laun akan punah. Bahwa hidup ini
hanya akan menjadi kenangan. Dan yang menjadi masalah, siapa yang akan
mengenangnya jika semua punah.”
“Sepertinya
aku perlu satu gelas jus stroberi, Arya.”
Arya
tersenyum. Membuntutinya dari belakang menuju kantin laboratorium.
Ini
masa di mana teknologi berkembang begitu pesat. Hampir semua hal dilakukan oleh
robot, termasuk jus stroberi yang dipesan Elis. Saat itu Elis berusia 17 tahun
dan Arya 19 tahun.
***
“Jangan
gila! Kau tidak akan bisa membukanya, Arya.
“Semua
akses ke ruangan itu ditutup.
Arya
terus menggedor pintu ruangan itu. Memaksa membukanya. Tapi semuanya sia-sia. Di
luar hujan turun dengan derasnya. Saat pelangi terbentuk sempurna semuanya
selesai. Elis tak akan pernah kembali.
***
Krak.
Lagi-lagi
spatula kayunya patah. Meskipun usianya baru 17 tahun, Elis adalah ilmuwan yang
jenius. Ia dilibatkan di berbagai proyek penelitian. Pemegang hak paten atas
enzim insulin serta beberapa bidang kesehatan. Entah apa yang sedang dikerjakan
oleh Elis di laboratorium itu. Beberapa kali dia tampak was-was. Nampaknya dia takut
kalau darah yang disimpan di refrigrator mulai menyusut.
Di
laboratorium ini sesama ilmuwan tidak ada yang tahu apa latar belakang ilmuwan
lain. Dari mana asalnya. Siapa orang tuanya. Semua dirahasiakan. Termasuk Elis.
Tidak ada yang tahu siapa orang tua yang telah melahirkan anak sejenius dia. Saat
para ilmuwan diberikan jatah libur dua hari setiap tahunnya, Elis pulang paling
akhir dan tiba di laboratorium paling awal. Tidak ada yang tahu di mana alamat rumahnya.
Dan tidak ada yang berniat tahu pula.
“Elis!”
Prak.
Tabung reaksi yang dipegangnya jatuh, pecah. Membuat darah yang ada di dalamnya
berhamburan mengotori lantai. Tanpa mencari tahu siapa biang keladinya, Claudia
langsung meminta maaf.
“Tidak
apa, nanti bisa aku ulangi lagi.”
“Hehe,
kau dipanggil Prof. Buchle.”
“10
menit lagi aku ke sana.”
Claudia
juga salah satu ilmuwan yang cukup muda. Usianya 19 tahun. Claudia adalah
sahabat baik Elis di laboratorium ini. Dia tahu segalanya tentang Elis. Semuanya kecuali
penelitian yang sedang dikerjakan Elis. Itu sebabnya dia menolak tawaran
Claudia untuk membereskan pecahan tabung reaksi itu.
“Elis,
sepertinya kau benar, ada yang menarik dari planet ini, meskipun suhunya turun
drastis saat malam, tapi planet ini mampu menghasilkan hujan. Kau teliti apa
senyawa yang terkandung dalam air hujannya.”
“Baik,
Prof!”
Elis
keluar dari ruangan Profesor Buchle dengan mata berbinar. Dua hari lalu dia
mengirimkan hasil analisisnya ke email Profesor Buchle. Hal itu lah yang
membuat Profesor Buchle memanggilnya. Tentu bukan karena penemuannya mendapat
apresiasi dari Profesor Buchle. Lebih dari itu. Lebih dari sebuah misi
menemukan cara bagaimana mencegah kepunahan itu.
Berhari-hari
Elis mengerjakan tugas dari Profesor Buchle dan penelitiannya tentang darah. Tepat
hari ke delapan analisinya sempurna. Kesimpulan yang gila dan jauh dari nalar
manusia. Bukan tentang dilatasi waktu. Ini tentang dimensi yang seringkali
diabaikan oleh manusia. Dimensi yang hidup di alam bawah sadar manusia itu
sendiri. Dan di sana kita bisa menahan manusia hingga bumi selesai berevolusi.
***
Pukul
sembilan lewat sepuluh menit. Claudia menatap cemas Arya. Semua ini sungguh
diluar dugaannya. Elis memilih melupakannya. Elis memilih melupakan semua
kenangan tentang Arya. Dan saat Arya mulai menyadarinya, semua sudah terlambat.
Sebentar
lagi, pintu ajaib itu resmi mengirim Elis ke dimensi lain. Elis tidak akan
pernah kembali. Saat Arya mengetahui bahwa penelitian yang Elis kerjakan adalah
untuk mengubah DNA cickle cell anemia
menjadi DNA sel darah normal. Thalasemia. Dua belas tahun lalu ibunya meninggal
karena itu. Dan sejak saat itu dia harus berpisah dengan adiknya. Iya adiknya.
Lisa Deyna. Yang selama ini dikenal dengan nama Elis. Ilmuwan jenius yang
usianya dua tahun dibawahnya. Namun semua terlambat, Elis sudah memutuskan
bahwa dia yang akan pergi ke dimensi itu. Baginya, penemuan ini lebih dari
sekedar menyelamatkan kepunahan manusia. Tapi juga menyelamatkannya dari
kenangan buruk. Bahwa dia harus ditinggal kedua orang tuanya. Bahwa dia harus
berpisah dengan kakaknya. Dan kenyataan bahwa dia adalah penderita cickle cell anemia.
***
Di
ruangan itu hanya ada Elis dan Proesor Buhcle. Ruangan ini tertutup untuk
siapapun.
“Elis,
untuk yang terakhir kalinya, apa kau benar siap dikirim ke dimensi itu?”
Elis
mengangguk.
“Aku
mengenalmu sejak kau kecil. Aku juga tahu pasti alasanmu mengambil keputusan
ini. Nak, tidak kah kau ingin berdamai dengan semua cerita hidupmu? Kau mungkin
tidak menemukan kakak mu, tapi kau memiliki Claudia, kau memiliki aku.”
Elis
menyeka air matanya. Dia tahu bahwa hidupnya dipenuhi hal-hal menakjubkan.
“Elis,
konfirmasi terakhir. Apakah kau benar akan pergi sendiri ke dimensi itu?”
Elis
mengangguk pelan.
Profesor
Buchle memencet tombol merah. Ruangan itu seketika memancarkan kilauan pendar
warna pelangi. Seketika setelah tomobol merah kedua di tekan, [intu ajaib itu akan
membawa Elis ke dimensi lain. Membawanya dan tidak akan kembali. Elis tidak
pernah tahu bahwa Arya adalah kakaknya. Otak manusia memang tidak dirancang
untuk melupakan kenangannya. Tapi kita boleh memilih kenangan mana yang akan
dikenang. Dalam sepersekian detik, Elis akan segera menghilang dari bumi. Sebelum
akhirnya, pandnagan Profesor Buchle kabur, redup, dan pet!
Cerpen yang mengkhayal secara astronomi dan biologi, but nothing impossible :P
0 komentar