Masih sangat jelas ter rekam dalam ingatanku. Perkataan dia. Keangkuhannya. Dan kalimatnya yang jelas tersirat jika aku hina. Bahkan rasanya sulit sekali aku memaafkan, padahal kejadiannya sudah berlangsung bertahun-tahun lalu. Bahkan rasanya sulit sekali untuk aku memaafkan, meskipun dia selalu mencoba bersikap baik-baik saja.
Aku merasa dia teman baikku, merasa dekat, hingga aku merasa tidak masalah menceritakan masalahku kepadanya. Iya, masalahku yang juga tentu ada aib-aibku di dalamnya, ia ceritakan kembali ke orang lain, tentu sudah dengan cerita yang dilebihkan, yang di karang agar hanya aku yang nampaknya sangat hina, sedangkan ia tetap berhati mulia, dengan dalih menasihati.
Dan tau, apa yang lebih membuatku sakit hati? Ketika mereka menyangsikan orang tuaku. Bagaimana mungkin, mereka yang tidak pernah mendidiku, merawatku, memberiku makan, mengatakan, "Aku ga ngerti kenapa orang tuanya Nabila setuju". Aku tidak habis pikir. Sudah berlagak seperti panitia surga, tapi kunci masuk surga tidak dipegangya.
Bagimana mungkin ia mengatakan seperti itu, menyangsikan doa kedua orang tuaku yang selalu minta yang terbaik untuk anaknya, bukankah doa ibu menembus langit tapi ada batas antar keduanya?
Berlagak menelusur siapa guru ngajiku, di mana aku ngaji. Halah. Jika menghormati orang tua saja tidak bisa, kenapa harus berlagak suci?
Deretan hal menyakitkan lain masih banyak sekali. Dia menasihatiku, tapi dia sendiri melakukannya. Dia sudah dibantu, tapi dia membuang kotoran ke muka orang yang membantunya.
Memaafkan? Iya aku sudah memaafkan. Tapi melupakan tidak semudah itu. Apa yang aku lakukan merugikan kalian? Aah, kalian selalu merasa memiliki kewajiban menasihatiku, karena kata kalian aku adalah teman, aih teman macam apa aku untuk kalian? Teman yang bisa saling kalian bicarakan keburukannya? Atau teman yang bisa kalian sebarkan keburukannya hingga orang-orang merasa kalau kalian memang baik.
Jika bisa, aku sangat tidak ingin pernah mengenal kalian.
Yogyakarta, 11 Desember 2020
Azifah Najwa