Ilmu = Udara
10:24 AM
oleh
Nabila Faradina Iskandar
Juara 2 Lomba Menulis Cerkak Se Provinsi Jawa Tengah
2012
Tak ada yang lebih indah dari waktu
pagi, di mana aku bisa merasakan betapa Rabbku teramat menyayangiku, lihatlah
Ia masih memberiku kesempatan untuk tetap bisa merasakan pagi. Ada satu hal
lagi yang aku suka dari pagi, mentari. Temanku selalu mengatakan, selama
mentari masih bersinar, berarti harapan itu masih ada, harapan untuk hidup
lebih baik dan yang jelas harapan untuk bisa menikmati nikmatnya belajar.
***
Aku
tidak tahu menahu mengenai latar belakang keluarganya, yang aku tahu dia satu-satunya
orang yang paling berkecukupan diantara kami bertiga. Aku, dia, dan Rizqi. Rizqi,
adalah seorang ahli ibadah, tilawahnya tak kurang dari tiga juz perhari, puasa
dan sholat sunnahnya tak pernah ia lalaikan dan Farhan, dia sangat berbeda dari
kami bertiga, dia selalu menentang dunia dalam setiap langkahnya.
Ketahuilah, sekarang statusku,
Rizqi, dan dia adalah mahasisiwa. Kami belajar disebuah universitas di mana
semua yang ada didalamnya adalah program komputer, mungkin hanya dia yang masih
bisa dikatakan manusia. Dan yang jelas dia sangat tergila-gila dengan kata
“belajar”.
Senin,14 September 1999, kelas; Dasar Dasar
Pemrogaman
Hari ini kami belajar tentang apa
itu pemrograman. Semua seksama memperhatikan penjelasan dosen, terlebih Rian.
Dialah satu-satunya program komputer yang paling sering di-update, komputer berjalan.
“Ada
yang bersedia menjelaskan apa itu program!”. Semua mengacungkan tangan dan
hanya dia yang tidak.
“Hei,
Kau,” seru dosen sambil mengacungkan jarinya ke orang yang duduk tepat
dibelakangku, Farhan.
Semua
tertegun. “Saya?,” ucapnya datar.
“Mengapa
Anda senyum-senyum?”
“Mmm,
begini, Pak, sejak kecil saya sangat bermimpi bisa belajar di universitas dan
sekarang saat saya duduk di sini, ini sungguh mengagumkan”.
“Tak
perlu heran. Jelaskan yang dimaksud program!.”
“Mmm,
program merupakan perangkat pada komputer dan merupakan inti dari fungsi komputer
itu sendiri”.
“Bisa
lebih Kau rincikan?”
“Saat
kita ingin mengubah foto ada program yang akan mengeditnya. Ketika kita akan
mendesain rumah ada program yang akan
mendesainnya. Saat kita…”.
“Saat
kita lapar ada program yang akan membuatkannya!.”
“Mmm…”
“Bolehkah
saya menjelaskannya, Pak? Program adalah serangkain instruksi yang ditulis
untuk melakukan fungsi spesifik pada komputer, %*^%!/?#^$^*&%.”
“You’re
right”. Mata kuliah ini milik manusia setengah komputer itu.
“Terima
kasih, Pak”.
“Tadi
Saya juga sudah menjelaskannya, Pak. Hanya dalam bahasa yang lebih sederhana.”
“Jika
Anda lebih menyukai bahasa yang sederhana, bukan di sini tempat Anda!”
“Tapi,
jika…”
“Dengan
bahasa yang sederhana, SILAKAN KELUAR!”
Ya,
dosen lebih sering menyuruh Farhan keluar kelas. Jika dia di usir dari sebuah
kelas, dia akan pergi ke kelas lain. Farhan selalu bilang, belajar bisa di
manapun. Selagi bisa raihlah.
Bagiku
dan Rizqi, enam bulan belajar menjadi manusia komputer sangat-sangatlah sulit.
Terlebih bagi Farhan yang lebih sering keluar kelas. Tapi sangat tidak terasa
sulit bagi manusia setengah komputer seperti Rian dan dari Rian aku paham satu
hal, ada dua cara menjadi juara dalam ujian, menaikkan nilai sendiri atau
menurunkan nilai teman. Malam sebelum ujian Rian membuat soal ujian palsu yang
disebarkan melalui sms, alhasil hanya materi yang sesuai dengan soal ujian
palsu itu yang teman-teman pelajari. Dunia ini kejam bukan?
Mengunggu
adalah saatnya memohon doa. Selama menunggu hasil ujian, terlebih Rizqi.
Mungkin, lebih dari 86.400 kali Allah disebutkan. Dan akhirnya hasil ujian
diumumkan.
“Malang, aku sebelum
terakhir.”
“Aku?”
“Kau paling bawah,
Feb.”
“Farhan?”
“Namanya tidak ada!”
Aku sedih. Bukan karena
aku yang terakhir, tapi karena temanku tidak lulus.
“Mengapa manusia
setengah komputer itu marah-marah?”
“Rian peringkat dua”.
“Konyol. Lalu, siapa
yang pertama?”
“Farhan”.
Dan hari ini aku
memahami lagi salah satu tingkah manusia, kita akan sedih jika teman kita gagal tapi kita akan lebih sedih
ketika teman kita berhasil. Tapi ada yang lebih sedih daripada kami, Rian.
“Kau aneh Febri, kau mencintai sastra tapi kau
menikahi komputer, hanya karena kau tak berani mengatakan kepada ayahmu yang
lebih mirip Hitler itu. Dan kau lebih aneh lagi Rizqi, kau hidup tapi hidupmu
hanya dipenuhi ketakutan, ingat ketakutan tak akan memperbesar masalah, hanya
dirimu yang mengerdil. Allah tak akan marah jika kau belajar sebelum ujian,
hanya berdo’a tapi tanpa disertai ikhtiar”.
“Tapi, kau lebih aneh
lagi Farhan”.
“Kau mencintai
pemrogaman tapi kau tak pernah menciptakan program! Haha, kau lebih buruk dari
kami Farhan.”
Entahlah
aku tak terlalu memperhatikan apa yang baru saja aku katakan, tapi seketika
itul aku melihat Farhan bukanlah seorang Farhan. Sempat ada rasa bersalah karena
telah mengatakan hal itu padanya.
Kini
ujian akhir tiba, manusia setengah komputer itu kian menjadi dalam mengacaukan
konsentrasi kami.
Hasil
ujian diumumkan, Farhan selalu menjadi yang pertama dan selalu, selama delapan
kali pengumumn ujian, Rian selalu menjadi yang paling sedih diantara kami. Dan
saat itulah, terakhir kali kami melihat Farhan.
***
Hingga
24 jam lalu aku masih menjadi warga negara yang baik, tapi karena Farhan aku hampir
saja membuat geger seluruh dunia. Aku hampir menembak kepala seorang pengusaha
komputer terbesar di Indonesia. Tapi justru karena itulah kami tahu siapa
Farhan sebenarnya.
“Dia
adalah anak tukang kebun keluarga kami. Namanya Farhan Thani, sama denganku
hanya berbeda nama belakang. Semenjak ayah dan ibunya meninggal ayahku
membawanya kemari. Dia melakukan hampir seluruh pekerjaan rumah, setiap hari.
Dia sangat meyukai belajar, dia selalu mengenakan seragamku untuk pergi ke
sekolah. Dia akan masuk dan belajar di kelas manapun yang ia sukai. Ayah merasa
sangat iba dan ayah pun berinisiatif untuk menyekolahkannya. Siang setelah
kelulusan itu ia pulang dan memberikan ijazah ini kepada ayahku, dia mengatakan
dia tak menginginkan ijazah ini. Dia tahu ayah sedang membutuhkan ijazahnya,
kalian tentu tahu, aku tak sepintar dia, tapi ayah hanya ingin setelah
kematiannya perusahaan yang ayah rintis bersama temannya bisa menjadi milikku,
akan tetapi aku tak punya bukti bahwa aku mampu akan hal itu.”
“Pergilah
ke tempat di balik bukit sana, kalian akan menemukan tempat di mana Artav
tinggal.”
“Artav??”
***
“Farhan!!”
“Hei Febri, apa aku sekarang sudah bisa sama dengan kalian? Kau dengan karya-karya best seller-mu dan kau Rizqi pegawai dengan segudang prestasi”.
“Hei Febri, apa aku sekarang sudah bisa sama dengan kalian? Kau dengan karya-karya best seller-mu dan kau Rizqi pegawai dengan segudang prestasi”.
Artav,
perusahaan programmer terbesar di Indonesia dengan 300 hak paten adalah milik
Farhan. Seorang programmer yang pernah aku pertanyakan statusnya.
Bapak
Socrates berpesan, jika kamu menginginkan ilmu dan kebijaksanaan sebesar kamu
menginginkan udara, kamu tidak harus meminta seseorang memberikannya padamu, ilmu
seperti udara, kau bisa mendapatkannya di manapun dan kapanpun.
0 komentar