Karya: Nabila Faradina Iskandar
Cinta berjalan
dihadapan kita dengan mengenakkan gaun kelembutan. Tetapi sebagian kita lari
darinya dalam ketakuta, atau bersembunyi dalam kegelapan. Dan sebagian lain
mengikutinya untuk melakukan kejahatan atas nama cinta (Khalil Ghibran).
Tampaknya diri itu tengah berpatri
dengan sebuah kata. Sebuah kata kerja yang akhir-akhir ini begitu sering
menghiasi hatinya; cinta. Dan agaknya cinta merupakan kata dominan dalam setiap
jiwa, yang karenanya pula keakraban menjadi mudah tercipta. Tapi, dengan titik
tekan bahwa cinta adalah fitrah dan alangkah indah jika dia dan kita sukses
menjadi tuannya cinta. Tuan yang dengan gagah mampu mengendalikannya dan
mengarahkannya sehingga tak menjadi ekspresi syahwati[1]
sebelum Sang Maha Cinta menghalalkannya.
Satu
hal lagi, intensitas yang ditawarkan kepada setiap individu pun berbeda, yang imbasnya bagaimana ia menjadi
tuan cinta itu sendiri. Dan cinta datang kepada siapa saja dan di mana saja.
Tidak memandang status, derajat, usia, pekerjaan, pelajar biasa, pelajar luar
biasa, atau bahkan aktivis organisasi sekalipun.
Ya,
aktivis organisasi. Mereka yang berdiri dibalik suksesnya acara-acara di
sekolah, yang waktunya bisa dikatakan habis untuk urusan organisasi,
organisasi, dan sekolah. Senin untuk rapat OSIS, Selasa KIR, Rabu Pramuka,dan
lain sebagainya. Dengan bahasa yang sedikit kasar, hidupnya hanya di sekolah. Tiara
Najwa Salsabila contohnya, bagi kalian yang sekolah di SMA Insan Cendikia, nama
itu pasti tak asing lagi, baik untuk kalian yang akrab dengan dunia organisasi
ataupun tidak. Bendahara umum OSIS, dewan Pramuka, dan pelbagai jabatan elite
di sekolahnya ia jabati.
Kembali
lagi ke topik utama, mengenal “kata kerja itu” bukan hal yang sulit bagi aktivis
seperti Tiara, bahkan ia yang mencari dan memperdalam maknanya. Ia sangat takut
jika cintanya tak tertempatkan di tempat yang semestinya. Karena ia tahu,
ketika jiwa takluk pada cinta, maka semua tubuh akan bersenandung, berdansa
bersama dawai yang sebenarnya kian payah mengeluarkan nada melankolik. Gunung
tiba-tiba akan terasa mudah didaki. Bahkan,
jiwa yang perkasa pun akan merasa payah jika harus berhadapan dengan
jiwa yang telah takluk pada cinta dan akhir dari cinta yang tak pada tempatnya
tak ubahnya seperti kata babi gendut di film Kera Sakti, Ti Pat Kai, dari
dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir.
***
Pagi
ini mentari dengan gagahnya kembali bersinar, membawa serta harapan-harapan
baru di setiap sorot cahaya yang mampu dipelangikan embun untuk para penghuni
bumi.
Seperti biasa, pagi ini bersama
sepeda yang telah dua tahun menemaninya menuntut ilmu ia kembali memulai
pengembaraannya. Mengajak roda-rodanya berputar sambil bersenandung ria katanya
agar rodanya tak sakit saat harus menghantam kerikil tajam, lalu membawanya
menerobos bilik rerimbunan bambu, dan sebentar-sebentar ia menyeka keringat
yang mulai menganak sungai di keningnya. Ketika semakin dekat dengan kota, ia
kayuh lebih kencang lagi, mengalahkan gerum desau roda-roda kehidupan yang
lain. Ia tak ingin ada yang menandinginya. Ketika yang lain ingin menjadi yang
terdepan, ia harus bisa menjadi yang lebih terdepan, itu motto hidupnya.
Jam yang sama, waktu yang sama, dan
senyum yang sama dari pak satpam.
“Langsung parkirkan di belakang ya,
Mbak.”
“Siap, Pak,” jawabnya singkat,
tentu sambil memberikan seulas senyum. Lalu mengantarkan sepedanya ke kandang,
jam yang sama, tempat yang sama, namun ada yang berbeda. Tahukah kalian apa
yang membuatnya berbeda? Keberadaan makhluk Tuhan yang akhir-akhir ini membuat
“kata kerja itu” sering sekali mampir di beranda hatinya. Makhluk yang
entah bagaimana asalnya membuat “kata
kerja itu” berani mengusik hatinya. Tampan? Bagi Tiara tampan atau ganteng tak
ayal seperti seonggok daging yang Tuhan tata rapi lalu diberi-Nya nyawa,
ini lebih dari pengertian tampan, ganteng, cool, tapi ini lebih
kepada kata bersahaja dan bijaksana, lebih kepada kata mampu dijadikan imam,
lebih kepada kata makhuk-Nya itu paham agama.
“Eh, Tiara, baru berangkat, Ra?”
Jantungnya berdegup begitu kencang,
hatinya sebal, bagaimana mungkin makhluk-Nya itu berani bertanya demikian disaat
dirinya tengah kepayahan mengatur irama detak jantungnya yang semakin tak
karuan!
“Eh, iya nih.” Sebagai orang yang
sedang merasakan cinta, Tiara mungkin akan melakukan hal yang ia rasa akan
membuatnya terbebas dari kesimpulan sementara oleh orang yang melihatnya bahwa
ia sedang jatuh cinta, kali ini tali sepatunya yang menjadi korban.
“Ya udah, aku ke kelas duluan ya.”
“Eh, iya, Fan.”
Nama makhluk yang akhir-akhir ini
berani menyuruh “kata kerja itu” sering sekali mampir di beranda hatinya
adalah Affan. Zaid Affan Ubaidillah, makhluk sejenis dengan Tiara, aktivis
organisasi sekaligus ketua kelasnya. Ya, Tiara sekelas dengan makhluk-Nya itu,
hal itu pulalah yang membuat Tiara harus memutar otak ketika di kelas harus
bertemu dengannya, memilih tempat duduk yang jauh dari guru dan papan tulis, karena
di sanalah Affan biasa duduk, walau sebenarnya baik Affan atau Tiara sama-sama
lebih sering meninggalkan kelas. Atau memilih menghabiskan waktu istirahat di
perpustakaan atau mushola dan berbagai pilihan-pilihan lain yang memaksanya
melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan, seperti tadi pagi, di mana
Tiara menali tali sepatu yang sudah tertali rapi . Mungkin, bagi kalian yang
tidak tahu gejolak di hatinya, kalian akan berpikiran mengapa orang secerdas
Tiara melakukan hal sebodoh itu? Cinta memang terkadang membuat “gila”, tentulah kalian tahu kisah Romeo dan Juliet
atau Laela-Majnun, mereka semua “gila” karena cinta bukan?
Lalu bagaimana jika dia dan
makhluk-Nya harus bekerja dalam satu tim yang didalamnya hanya ada mereka
berdua? Untuk hal ini mungkin Tiara akan merasa bahagia atau protes kepada bu
guru karena telah membuatnya sekelompak dengan makhluk-Nya itu lalu meminta bu
guru untuk mengganti struktur kelompoknya. Tapi, semua itu tak ia lakukan.
Jika kalian berada di posisi Tiara apa yang hendak kalian
lakukan? Memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk PDKT (pendekatan.red)
bahasa sederhananya, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan atau kalian akan
sepikiran dan melakukan hal yang sama dengan yang Tiara lakukan? Tahukah,
menegurnya untuk bertanya apa-apa saja yang harus ia persiapkan saja ia tak
berani, ia lebih memilih kehilangan rupiah untuk mengirimkan pesan singkat
kepada makhluk-Nya itu daripada menahan gejolak seperti di parkiran tadi. Dan
tahukah kalian? Bagi Tiara, menunggu balasan pesan singkat darinya ternyata
lebih bergejolak dari peristiwa di parkiran tadi.
From: 0852********
Ini Affan, Ra, maaf
baru sempet bales. Biasa pulsa habis.he
Km bawa bahannya aja, nanti alat-alatnya aq yg nyiapin. Tp kl ada bahan yg km ga ada, nanti aq yg bawa. :)
Eh, ini no.nya
bapakku. Terserah mau disave atau dihapus.
|
***
Seiring berjalannya waktu mereka
mulai berani besua, untuk sekedar bertegur sapa, atau bertanya kabar, walaupun hanya
lewat pesan singkat atau beranda maya. Dan “kata kerja itu” masih saja ada di
hatinya, entah sampai kapan ia belum berani memustuskan. Menyimpannya rapi
dalam bilik yang hanya dia dan Sang Maha Cinta saja yang mempunyai kuncinya.
Dan yang jelas dia tidak tahu,
entah tidak ingin atau belum ingin tahu tentang keberadaan “kata kerja itu”
pula di hati makhluk-Nya itu. Tiara sedang belajar, belajar menjadi tuannya
cinta yang mampu mengarahkan sebelum Sang Maha Cinta menghalalkannya. Bagi
Tiara, jarak hanyalah perbedaan koordinat ruang dan waktu dan cukuplah ia
dengan menunggu, menunggu keputusan Sang Maha Cinta. Dan untuk sekarang biarlah
ia belajar menjadi tuannya cinta.