Koordinat Rindu

3:39 PM



 Karya: Nabila Faradina Iskandar

Cinta berjalan dihadapan kita dengan mengenakkan gaun kelembutan. Tetapi sebagian kita lari darinya dalam ketakuta, atau bersembunyi dalam kegelapan. Dan sebagian lain mengikutinya untuk melakukan kejahatan atas nama cinta (Khalil Ghibran).
Tampaknya diri itu tengah berpatri dengan sebuah kata. Sebuah kata kerja yang akhir-akhir ini begitu sering menghiasi hatinya; cinta. Dan agaknya cinta merupakan kata dominan dalam setiap jiwa, yang karenanya pula keakraban menjadi mudah tercipta. Tapi, dengan titik tekan bahwa cinta adalah fitrah dan alangkah indah jika dia dan kita sukses menjadi tuannya cinta. Tuan yang dengan gagah mampu mengendalikannya dan mengarahkannya sehingga tak menjadi ekspresi syahwati[1] sebelum Sang Maha Cinta menghalalkannya.
            Satu hal lagi, intensitas yang ditawarkan kepada setiap individu pun  berbeda, yang imbasnya bagaimana ia menjadi tuan cinta itu sendiri. Dan cinta datang kepada siapa saja dan di mana saja. Tidak memandang status, derajat, usia, pekerjaan, pelajar biasa, pelajar luar biasa, atau bahkan aktivis organisasi sekalipun.
            Ya, aktivis organisasi. Mereka yang berdiri dibalik suksesnya acara-acara di sekolah, yang waktunya bisa dikatakan habis untuk urusan organisasi, organisasi, dan sekolah. Senin untuk rapat OSIS, Selasa KIR, Rabu Pramuka,dan lain sebagainya. Dengan bahasa yang sedikit kasar, hidupnya hanya di sekolah. Tiara Najwa Salsabila contohnya, bagi kalian yang sekolah di SMA Insan Cendikia, nama itu pasti tak asing lagi, baik untuk kalian yang akrab dengan dunia organisasi ataupun tidak. Bendahara umum OSIS, dewan Pramuka, dan pelbagai jabatan elite di sekolahnya ia jabati.
            Kembali lagi ke topik utama, mengenal “kata kerja itu” bukan hal yang sulit bagi aktivis seperti Tiara, bahkan ia yang mencari dan memperdalam maknanya. Ia sangat takut jika cintanya tak tertempatkan di tempat yang semestinya. Karena ia tahu, ketika jiwa takluk pada cinta, maka semua tubuh akan bersenandung, berdansa bersama dawai yang sebenarnya kian payah mengeluarkan nada melankolik. Gunung tiba-tiba akan terasa mudah didaki. Bahkan,  jiwa yang perkasa pun akan merasa payah jika harus berhadapan dengan jiwa yang telah takluk pada cinta dan akhir dari cinta yang tak pada tempatnya tak ubahnya seperti kata babi gendut di film Kera Sakti, Ti Pat Kai, dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir.
***
            Pagi ini mentari dengan gagahnya kembali bersinar, membawa serta harapan-harapan baru di setiap sorot cahaya yang mampu dipelangikan embun untuk para penghuni bumi.
Seperti biasa, pagi ini bersama sepeda yang telah dua tahun menemaninya menuntut ilmu ia kembali memulai pengembaraannya. Mengajak roda-rodanya berputar sambil bersenandung ria katanya agar rodanya tak sakit saat harus menghantam kerikil tajam, lalu membawanya menerobos bilik rerimbunan bambu, dan sebentar-sebentar ia menyeka keringat yang mulai menganak sungai di keningnya. Ketika semakin dekat dengan kota, ia kayuh lebih kencang lagi, mengalahkan gerum desau roda-roda kehidupan yang lain. Ia tak ingin ada yang menandinginya. Ketika yang lain ingin menjadi yang terdepan, ia harus bisa menjadi yang lebih terdepan, itu motto hidupnya.
Jam yang sama, waktu yang sama, dan senyum yang sama dari pak satpam.
“Langsung parkirkan di belakang ya, Mbak.”
“Siap, Pak,” jawabnya singkat, tentu sambil memberikan seulas senyum. Lalu mengantarkan sepedanya ke kandang, jam yang sama, tempat yang sama, namun ada yang berbeda. Tahukah kalian apa yang membuatnya berbeda? Keberadaan makhluk Tuhan yang akhir-akhir ini membuat “kata kerja itu” sering sekali mampir di beranda hatinya. Makhluk yang entah bagaimana asalnya  membuat “kata kerja itu” berani mengusik hatinya. Tampan? Bagi Tiara tampan atau ganteng tak ayal seperti seonggok daging yang Tuhan tata rapi lalu diberi-Nya nyawa, ini lebih dari pengertian tampan, ganteng, cool, tapi ini lebih kepada kata bersahaja dan bijaksana, lebih kepada kata mampu dijadikan imam, lebih kepada kata makhuk-Nya itu paham agama.  
“Eh, Tiara, baru berangkat, Ra?”
Jantungnya berdegup begitu kencang, hatinya sebal, bagaimana mungkin makhluk-Nya itu berani bertanya demikian disaat dirinya tengah kepayahan mengatur irama detak jantungnya yang semakin tak karuan!
“Eh, iya nih.” Sebagai orang yang sedang merasakan cinta, Tiara mungkin akan melakukan hal yang ia rasa akan membuatnya terbebas dari kesimpulan sementara oleh orang yang melihatnya bahwa ia sedang jatuh cinta, kali ini tali sepatunya yang menjadi korban.
“Ya udah, aku ke kelas duluan ya.”
“Eh, iya, Fan.”
Nama makhluk yang akhir-akhir ini berani menyuruh “kata kerja itu” sering sekali mampir di beranda hatinya adalah Affan. Zaid Affan Ubaidillah, makhluk sejenis dengan Tiara, aktivis organisasi sekaligus ketua kelasnya. Ya, Tiara sekelas dengan makhluk-Nya itu, hal itu pulalah yang membuat Tiara harus memutar otak ketika di kelas harus bertemu dengannya, memilih tempat duduk yang jauh dari guru dan papan tulis, karena di sanalah Affan biasa duduk, walau sebenarnya baik Affan atau Tiara sama-sama lebih sering meninggalkan kelas. Atau memilih menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan atau mushola dan berbagai pilihan-pilihan lain yang memaksanya melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan, seperti tadi pagi, di mana Tiara menali tali sepatu yang sudah tertali rapi . Mungkin, bagi kalian yang tidak tahu gejolak di hatinya, kalian akan berpikiran mengapa orang secerdas Tiara melakukan hal sebodoh itu? Cinta memang terkadang membuat “gila”,  tentulah kalian tahu kisah Romeo dan Juliet atau Laela-Majnun, mereka semua “gila” karena cinta bukan?
Lalu bagaimana jika dia dan makhluk-Nya harus bekerja dalam satu tim yang didalamnya hanya ada mereka berdua? Untuk hal ini mungkin Tiara akan merasa bahagia atau protes kepada bu guru karena telah membuatnya sekelompak dengan makhluk-Nya itu lalu meminta bu guru untuk mengganti struktur kelompoknya. Tapi, semua itu tak ia lakukan.
Jika kalian berada di posisi Tiara apa yang hendak kalian lakukan? Memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk PDKT (pendekatan.red) bahasa sederhananya, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan atau kalian akan sepikiran dan melakukan hal yang sama dengan yang Tiara lakukan? Tahukah, menegurnya untuk bertanya apa-apa saja yang harus ia persiapkan saja ia tak berani, ia lebih memilih kehilangan rupiah untuk mengirimkan pesan singkat kepada makhluk-Nya itu daripada menahan gejolak seperti di parkiran tadi. Dan tahukah kalian? Bagi Tiara, menunggu balasan pesan singkat darinya ternyata lebih bergejolak dari peristiwa di parkiran tadi.


From: 0852********
Ini Affan, Ra, maaf baru sempet bales. Biasa pulsa habis.he
Km bawa bahannya aja, nanti alat-alatnya aq yg nyiapin. Tp kl ada bahan yg km ga ada, nanti aq yg bawa.
:)
Eh, ini no.nya bapakku. Terserah mau disave atau dihapus.
 





***
Seiring berjalannya waktu mereka mulai berani besua, untuk sekedar bertegur sapa, atau bertanya kabar, walaupun hanya lewat pesan singkat atau beranda maya. Dan “kata kerja itu” masih saja ada di hatinya, entah sampai kapan ia belum berani memustuskan. Menyimpannya rapi dalam bilik yang hanya dia dan Sang Maha Cinta saja yang mempunyai kuncinya.
Dan yang jelas dia tidak tahu, entah tidak ingin atau belum ingin tahu tentang keberadaan “kata kerja itu” pula di hati makhluk-Nya itu. Tiara sedang belajar, belajar menjadi tuannya cinta yang mampu mengarahkan sebelum Sang Maha Cinta menghalalkannya. Bagi Tiara, jarak hanyalah perbedaan koordinat ruang dan waktu dan cukuplah ia dengan menunggu, menunggu keputusan Sang Maha Cinta. Dan untuk sekarang biarlah ia belajar menjadi tuannya cinta.
           


[1] Syahwat: nafsu

You Might Also Like

0 komentar