SMANSA dan Sebuah Warisan
11:59 PM
SMANSA adalah satu dari
2 sekolah di mana saat aku diterima di dalamnya aku menangis. Iya, aku
menangis, tentu bukan karena diterima di sekolah yang akreditasinya buruk,
bukan juga karena diterima di sekolah yang –katanya- paling baik di
kabupatenku. Tapi aku menangis karena saat itu mimpiku tidak tercapai. Tapi
apakah kesuksesaan ditentukan dari tempat kita “bersekolah”? Aku jawab, tidak.
Lalu apakah suksesnya sekolah saat mampu mengantarkan siswa-siswanya di PT
favorit, aku jawab lagi, tidak. Lalu apa tolak ukur suksesnya sebuah sekolah? “Ilmu”.
Aku tidak mengatakan sekolah lain memiliki standar pengajaran yang lebih rendah
dibanding smansa. Setiap sekolah mewarisi “ilmu” masing-masing, yang berbeda,
yang menjadi ciri khas siswa-siswanya. Sebenarnya saya belum pernah melakukan
riset yang sangat berarti akan hipotesis tersebut. Ini hanya opini yang saya
simpulkan dari menganalisis fakta di lapangan. Misalnya, salah satu sekolah di
Kebumen bagian timur didaulat sebagai sekolah adiwiyata, tentu murid-murid yang
dihasilkan lebih banyak memilih jurusan kuliah seperti kehutanan atau
pertanian, karena mereka sudah terbiasa akrab dengan berbagai hal yang berbau
tanaman.
Lalu apa yang SMANSA
wariskan? Budaya kompetisi dan berani mengakui kekalahan. Iya, itu adalah warisan
SMANSA yang akan selalu dikenang oleh setiap yang pernah duduk dan menimba ilmu
di dalamnya. Tidak semua guru di SMANSA adalah guru terbaik di Kebumen,
meskipun hampir tiap tahunnya SMANSA selalu menjadi juara setiap kali ada
kompetisi guru favorit. Warisan itu tidak serta merta di wariskan oleh
guru-guru kami, karena faktanya kami mempelajari sendiri warisan itu. Budaya
kompetisi. Dan warisan itu lalu diperhalus dengan sikap berani mengakui
kekalahan, sungguh perpaduan yang ciamik saya rasa. Bayangkan, kami sama-sama
harus mendapatkan nilai standar minimal (KKM) 80 untuk setiap mata pelajaran,
tidak peduli siapa yang semalaman belajar lebih banyak atau lebih sedikit tapi
pemahaman yang kami miliki haruslah sama. Kisah lain, saya tidak tahu bagaimana
seleksi peserta OSN untuk tiap-tiap sekolah, tapi bagi saya SMANSA sangat fair. Guru tidak menunjuk siapa yang
paling pandai, tapi kami memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi perwakilan
SMANSA, bisa jadi perwakilan Kebumen, tak jarang menjadi perwakilan Jawa
Tengah, atau bahkan menjadi perwakilan Indonesia. Tidak hanya yang paling
pandai tapi juga yang pandai bisa menjadi bagian dari OSN. Tidak hanya yang
paling pandai yang bisa lolos tapi yang paling banyak berusaha dan berdo’a yang
berhak menjadi bagian dari OSN. Lalu yang paling pandai? Mereka mengakui bahwa
menjadi paling pandai saja tidak cukup.
Sesedarhana itu SMANSA
mewariskan budaya itu pada siswa-siswanya, tidak pernah ada yang mengajarkan,
tapi tumbuh dan hidup di dalam hati kecil para siswanya, yang membuat mereka
rindu dengan SMANSA kapan pun dan di mana pun, yang membuat mereka ingin
kembali duduk di SMANSA. Itulah alasannya mengapa menikah dengan anak SMANSA
selain untuk mempertahankan clan cerdas,
kita juga bisa saling berkompetisi lalu saling mengakui kehebatan pasangan
kita, loh, wkwkwkw
Kebumen, 1 Juli 2017
Azifah Najwa
0 komentar