Telah cukup lama aku membiarkan kakiku bermain bersama angin di sini. Telah cukup lama pula aku menatap gumpalan mega putih itu, berjalan berarak-arakan yang membentuk formasi huruf U. Mmm, formasi huruf V. Ah, apalah itu terserah. Dan, selalu aku tak berpaling sekejap pun untuk menatap awan itu, mencari cara agar aku bisa menyentuhnya, saat mereka mulai menjauh, aku akan turun dan mengejarnya hingga nafasku tersengal-sengal, dan akhirnya mereka pergi meninggalkanku. Dengan langkah gontai, aku pun kembali ke tempat tadi, di atas pohon. Memanjat pohon itu, duduk di salah satu cabangnya membiarkan angin menggoda kakiku, menatap awan, memikirkan cara untuk bisa menyentuhnya, turun, lalu mengejarnya lagi. Sebuah rutinitas yang telah aku lakukan sejak aku berusia 7 tahun bersama Fara.
Fara. Sebuah kata yang menurutku sangat erat dengan keceriaan. Seperti artinya, kebahagiaan. Di mana keberadaannya sekarang ya? Bagaimana kabar kanvas-kanvasnya? Kuasnya? Masihkah ia menunggu kuas bekas membuat kue di toko Bu Muslimah untuk melukis? Satu pertanyaanku untuknya, sudahkah ia bisa menyentuh awan-awan itu? Seperti janji kita sebelum perpisahan dulu, di kursi ini.
“Permisi. Bu Rara, ya?”.
Suara itu mengacaukan bayanganku akan sosok Fara. “Iya. Ada perlu apa ya?.”
Kaca mataku yang jatuh di bawah batang hidung, membuat bayangan wajahnya tidak tepat jatuh di retina mataku, bayangannya kabur. Namun, gendang telingaku seperti tak asing menerima getaran yang ditimbulkan suara itu.
“Silahkan duduk. Silahkan.”
“Iya, Bu. Terima kasih. Maaf sudah merepotkan, Bu.”
“Oh, tidak merepotkan, Bu. Sebelumnya ada perlu apa ya, Bu?,” sekarang saat kaca mataku sudah bertengger di batang hidungku, benar dia.
“Bu Rara masih ingat dengan saya?,” mengambil nafas sejenak. “Para jurnalis dan wartawan di luar sana kini tengah mencari keberadaan Bu Rara. Di kantor kini tengah ada PHK besar-besaran, Bu. Saya termasuk karyawan yang akan mendapat PHK itu,” kembali mengambil nafas. “Kami diberi waktu selama satu minggu untuk memberikan bukti bahwa kami masih memiliki tekad untuk bekerja di sana, Bu. Tentu Ibu tahu benar maksud kedatangan saya kemari. Sebelum Ibu menjawab, tolong jangan kaitkan kedatangan saya kemari dengan serbet itu, Bu.”
Aku tersenyum. Ternyata Bu Ana masih ingat juga dengan serbet itu. Serbet yang mengantarkannya kemari untuk sebuah alasan yang sebenarnya disebabkan olehnya.
“Iya, Bu Ana saya mengerti benar bagaimana posisi Ibu sekarang. Oh ya, sebelumnya tolong jangan panggil saya Ibu, saya masih terlalu muda untuk menerima panggilan itu.” Sebuah lelucon yang pernah Fara praktikan saat merawatku dulu. Ah, Bu Dokter Fara.
Aku melihat senyum kecil tersungging di bibir mungilnya. Setidaknya cukup untuk megurangi ketegangan di antara kami. Namun, tentang serbet itu. Sungguh aku tak menyangka jika Bu Ana masih ingat dengan serbet itu.
§
Tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Pagi ini, sebelum matahari benar-benar bangun dari peraduannya. Dengan baju biru panjang, celana lapangan hitam, dan topi yang bertengger di atas kerudungku, aku telah siap memulai hariku sebagai pecinta kebersihan lingkungan. Sebut saja Office Girl.
Aku telah menekuni pekerjaan ini kira-kira sebulan semenjak aku dinyatakan lolos dari masa putih abu-abu. Sebenarnya, bukan tidak ingin aku melanjutkan sekolahku hingga perguruan tinggi. Namun, keterbatasan biayalah yang membuatku harus memendam mimpi-mimpiku itu sejenak. Boleh jadi Allah tengah mengajakku untuk berpikir dengan cara-Nya. Sungguh, semua skenario Allah adalah indah.
“Rara berangkat kerja dulu, Pak. Semoga semuanya berkah ya, Pak.”
“Iya, Nduk. Hati-hati ya.”
Seperti biasa, dengan sepeda Phoenix merah keluaran tahun 1998 aku memulai hariku dengan Basmallah. Seperti yang selalu bapak ajarkan padaku dan adik-adikku. Awali dengan Basmallah dan akhiri dengan Hamdallah.
Jarak dari rumah dan tempat kerjaku tidak begitu jauh, sekitar 5 km. Jika ditempuh dengan kecepatan 166,67 m/s , kira-kira aku hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk tiba di tempatku bekerja.
Kala ini, 30 menit di atas sepeda akan aku gunakan untuk mengingat Fara. Masih melekat benar di ingatanku 23 Maret 2001 pukul 08.00, Fara pergi meninggalkanku ke pulau seberang, Irian. Masih ingat pula bagaimana Fara mengajariku memancing, saat Fara mengajariku memanjat, padahal saat itu ia pun masih kesulitan turun dari pohon. Namun, sekarang mungkin ia telah menjadi pemanjat pohon yang hebat, mengalahkan monyet milik Umi. Satu janji kita yang kau katakan sebelum kau benar-benar meninggalkanku hingga saat ini, yaitu untuk memegang awan.
“Suatu hari nanti, jika kita dipertemukan kembali kita harus sudah bisa memegang awan impian kita ya, Ra. Kamu janji ya.”
Karena pesan itulah setiap hari semenjak kepergiannya, aku selalu berusaha untuk memanjat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Aku berpikir, semakin tinggi aku memanjat pohon ini, maka peluangku untuk bisa menyentuh awan itu semakin besar. Aku ingin menemui Fara, kelak saat aku telah mampu menyentuh awan itu.
Memarkirkan sepeda lalu segera pergi ke pantry. Di sana, nampak Pak Joko, Pak Tri, Bu Mudah, dan Bu Fatimah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Rara,” nada dan ketukannya begitu pas, laksana regu paduan suara yang telah terlatih selama dua tahun,
“Tinggal ruangan Bu Ana yang belum dibersihkan, Ra.”
“Kenapa harus ruangan Bu Ana terus, Bu? Ya, Bu Mudah, Bu Fatimah.”
“Karena di ruangan Bu Analah kamu sepantasnya berada, Nduk” kata bu Fatimah.
Ruangan bu Ana selalu membuatku kagum, bukan karena fasilitas yang mewah karena jabatan beliau sebagi jurnalis utama di kantor ini. Aku membayangkan jika yang duduk di kursi itu dan menatap laptop dengan jari yang tak pernah berhenti mengetik adalah aku.
Pekerjaan pertamaku adalah menyapu lantai dan membersihkan kaca-kacanya dari debu. Setelah itu, aku harus segera mengepel lantai ini dan merangkai bunga agar ruangan ini senantiasa harum.
Aku menatap ruangan yang berukuran 3 m x 4 m ini, dalam hati aku bergumam. “Semoga Bu Ana nyaman di ruangan ini. Namun, jika ibu sudah merasa tidak nyaman, aku siap menggantikannya, Bu. Hehe.”
Aku kembali ke pantry dengan bahagia. Hariku adalah hari ini.
Sesampainya di pantry, tampak seorang yang begitu anggun mengenakkan jas hitam dengan hem putih. Rambutnya yang lembut jatuh di pundaknya saat ia menolehkan kepalanya. Bu Ana.
“Kamu, bisa tolong buatkan saya teh hijau?,” pinta bu Ana kepadaku.
“Baik, Bu.”
Setelah menerima perintah dari bu Ana, aku segera mencuci tanganku. Aku tak ingin idolaku sakit karena tangan kotorku dan saat aku hendak mengeringkan tanganku dengan serbet tiba-tiba bu Ana menyeru, “Serbet itu hanya untuk para jurnalis.”
Deg. Sungguh. Serbet itu hanya untuk para jurnalis. Berarti seorang Office Girl sepreti aku tak sepatutnya mengelap tanganku dengan serbet ini? Hariku adalah hari ini, kata-kata itu adalah kata-kata hari ini.
Sore ini, aku pulang dengan langkah yang cukup gontai. Aku membutuhkan Fara. Sesampainya di kamarku, aku berdiri di depan kaca, kaca yang bapak tempelkan di dinding kamarku sekitar 11 tahun yang lalu. Oleh karena itu, wajahku tampak tak jelas karenanya. Aku menatap tubuhku. Aku bertanya pada diriku sendiri. Masih mengenai serbet tadi. Mungkinkah hanya jurnalis saja yang boleh mengelap tangannya dengan serbet tadi? Apakah karena dari tangan mereka dapat lahir karya yang besar? Lalu, apa bedanya dengan tanganku? Aku bisa.
Semakin lama aku menatap diriku, semakin aku tak mengerti pula dengan serbet itu. Namun, satu hal lagi di hari ini, aku harus bisa mengelapkan tanganku di serbet itu, serbet para jurnalis. Harus!
§
Hariku berlalu. Aku kini tak lagi bekerja sebagai Office Girl semenjak aku berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negeriku. Aku mendapat beasiswa dari Gerakan Nasional Orang Tua Asuh untuk masuk di perguruan ini.
Kecintaanku pada serbet itu yang membuatku terus berjuang untuk tetap mempertahankan IP cumuladeku. Kini, saat skripsi yang berjudul “Menapaki Hidup dengan Sastra” berhasil aku rampungkan, aku diizinkan untuk memakai toga kehormatan. Berfoto bersama dengan bapak dan ibuku.
Hal itu tak lantas membuat kecintaanku kepada serbet itu berkurang. Kecintaanku pada dunia sastra pun membuatku membuka mata akan sajak Empat Seuntai atau Kwatrin yang muncul di zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar, aku ingin menghadirkannya kembali untuk Indonesia.
§
Alasan itulah yang membuat bu Ana kemari menemuiku.
“Aku masih seperti dulu, Bu. Rara yang selalu ingin duduk di ruangan Ibu.”
“Sungguhkah? Bukankah kamu kini telah menjadi Guru Besar Fakultas Sastra di universitasmu dulu? Apa yang membuatmu ingin duduk di kursiku?.”
“Kursi itu adalah awan yang selalu aku kejar, Bu. Di mana aku telah berjanji kepada Fara sahabatku untuk dapat menyentuh awan itu. Aku ingin segera menyentuh awan itu dan bertemu dengan Fara. Bolehkah, Bu?.”
Sebuah senyum sederhana terlukis di bibir mungilnya.
*Alhamdulillah..