Bapak dan Indonesia
10:02 PM
Bapak dan Indonesia
Nabila Faradina Iskandar
Finalis Ceris 2010
Nabila Faradina Iskandar
Finalis Ceris 2010
Bagian Satu
Dulu
Kala usiaku masih terpaut jauh dari arti hidup yang sesungguhnya
Kala raga ini belum mampu memijakan kaki ini ke jalan hidupku
Kala usiaku masih terpaut jauh dari arti hidup yang sesungguhnya
Kala raga ini belum mampu memijakan kaki ini ke jalan hidupku
Di tempat ini
Bersama cahaya redup bohlam berdaya kecil itu
Ditemani meja kayu rapuh
Ku pijaki larik demi larik kalimah panjang titihan cita-citaku
Denting waktu bagai nanyian merdu pelipur lara hatiku
Dan peluh bagai bagian yang tak boleh luput dari perjalanan panjang citaku
Tak lekang waktu
tak lapuk termakan musim
Bersama cahaya redup bohlam berdaya kecil itu
Ditemani meja kayu rapuh
Ku pijaki larik demi larik kalimah panjang titihan cita-citaku
Denting waktu bagai nanyian merdu pelipur lara hatiku
Dan peluh bagai bagian yang tak boleh luput dari perjalanan panjang citaku
Tak lekang waktu
tak lapuk termakan musim
Selama mentari masih bersinar
Aku yakin
Harapan itu masih ada
“Teet,,teet..teet”
Suara itu membuat aku kaget bukan kepalang. Pena yang sedari tadi menari-nari di atas lembaran putih di hadapanku, ku lemparkan begitu saja. Namun, naas kali ini Pak Agus guru yang terkenal dengan kedisiplinan tingkat dewa di sekolahku yang menjadi korbannya. Beruntung, hari ini nampaknya hati beliau sedang berbunga-bunga sehingga kasusku tak harus sampai di meja BK.
Ini mungkin adalah kali ketiga aku melakukan hal yang sama. Entahlah. Bukannya aku tak ikhlas mengikuti mata pelajaran beliau. Namun, entah mengapa saat aku menatap beliau berjuta kubik lahar inspirasi mengalir jernih di otakku. Mungkin, otakku perlu diseting ulang untuk hal ini.
Pak Agus telah meninggalkan ruangan dengan tenang. Saat yang tepat untuk mengakhiri perburuan ilmuku hari ini. Aku segera berkemas. Memastikan lokerku bersih dari berbagai jenis benda-benda pribadi, menatanya ke dalam ransel. Aku mencoba mengangkatnya dengan satu tangan. Ternyata cukup berat. Lalu, aku mengangkatnya dengan dua tangan. Masih terasa cukup berat juga. Kemudian, aku letakkan gagang tas itu di pundakku dan dalam hitungan detik aku segera melesat meninggalkan hiruk pikuk kelasku.
“Han… Raihan”.
Ada yang memanggilku. Namun, aku mengabaikannnya. Aku terus berjalan dengan cepat. Berlari kecil lebih tepatnya. Aku pacu kecepatan maksimalku. Aku semakin jauh meninggalkan hiruk pikuk kelasku. Meninggalkan hiruk pikuk sekolah tercintaku. Aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari dengan suasana yang berbeda. Suasana Ramadhan. Suasana kebahagiaan setiap insan muslim. Termasuk aku.
Aku keluar meninggalkan gerbang sekolahku. Semakin menjauhi gerbang sekolahku. Baru beberapa meter aku meninggalkan gerbang sekolahku, di tengah sabil yang kulalui, hidungku yang pesek tiba-tiba menemukan aroma yang mencucuk, bahkan sangat mecucuk hidungku yang tengah terserang flu ini. Menebarkan aroma khas makanan kesukaanku. Aku semakin yakin tentu ini makanan itu. Makanan dengan rasa ketan manis. Martabak. Aku berhenti sejenak. Bukan aku berniat membeli, melainkan aku hanya ingin mencium aromanya saja. Walaupun hal itu membuat air liurku menuntut untuk segera keluar. Tentu, aku bukan sombong tak ingin membeli martabak yang dijajankan di pinggir jalan seperti ini. Tetapi, keadaan sakuku yang sedang mengalami depresi menuntut aku melakukan hal itu. Cukup tersiksa memang, dengan keadaan ekonomiku saat ini aku memang harus mampu berhemat karena aku tak seharusnya meminta uang saku lagi kepada ke dua orang tua ku. Mencium saja sudah cukup untuk mengobati laparku, gumamku dalam hati.
Dengan berat hati, aku harus meninggalkan deretan martabak berbagai rasa tanpa menjamahnya secuil pun. Setiap martabak memiliki nilai plus tersendiri di hatiku. Tentunya meninggalkan martabak merupakan sebuah hal terkeji yang pernah aku lakukan. Asaku untuk menyantapnya kali ini harus aku pendam dalam-dalam di palung hatiku. Aku segera bergegas melanjutkan perjalananku dengan langkah yang agak gontai karena asaku hanya mampu kuasakan, tak mampu aku wujudkan.
Kulanjutkan perjalanan pulangku. Kiranya, kali ini jalan yang kulalui sengaja mengejekku. Angin yang berhembus menyapu jalan yang kulalui, debu-debu yang beterbangan sembari membawa aroma makanan khas daerahku yang dijajankan di sepanjang jalan. Aromanya sungguh menggoyang lidah, menertawakan air liur yang sedari tadi menuntut untuk dikeluarkan. Aku merasa jengkel. Namun, aku tak sepantasnya jengkel. Jajanan itu mungkin sedang berpromosi untuk menawarkan kenikmatannya kepada para pengguna jalan. Termasuk aku. Jalan yang kulalui semakin terasa berat.
Kali ini, kiranya aku terlambat seper-enampuluh sekon untuk sampai di terminal. Mungkin ini karena aku terlalu lama menikmati aroma martabak tadi. Terpaksa aku harus berlari dan mengerahkan seluruh sisa tenagaku untuk mengejar angkutan favoritku.
“Alhamdulillah”.
Aku seperti baru saja memenangkan pertandingan melawan satria baja hitam, aku masuk mobil Mitsubishi berplat nomer AA 2141 PM, setiap tarikan nafasku bagaikan api. Keringat yang bercucuran membasahi wajahku disertai aroma yang, hmm cukup merobek hidung. Aku berdiri terengah-engah beberapa saat, menunggu rasa nyeri di perutku hilang. Ternyata, di dalam mobil tua itu sudah cukup banyak penumpang. Terpaksa aku duduk di bangku paling belakang. Penumpang di sebelahku menatapku dengan tatap yang melukiskan sebuah keheranan, dan mungkin sambil bergumam. Bau sekali anak ini. Namun, kepercayaan diri yang tumbuh di dalam jiwaku membuatku tetap kokoh duduk di sebelahnya tanpa bergeming sedikit pun.
Bangku paling menyedihkan menurutku karena setiap penumpang yang duduk di bangku belakang harus merasakan betapa sulitnya turun dari angkutan yang tentunya semakin jauh angkutan ini berjalan semakin banyak penduduk Indonesia yang memanfaatkan jasanya, semakin sesak angutan yang tanpa AC ini dengan penduduk Indonesia yang terkenal banyaknya dan ketika mobil tua yang aku naikki berlenggak-lenggok di atas aspal demi menghindari lubang yang mengangah di sepanjang jalan Kebumen – Prembun aku harus dengan rela menahan mual di perutku. Terlebih aroma asap dari pembakaran yang tidak sempurna berjajar di sepanjang kanvas biru membuat aku harus semakin kuat menahan mual yang sangat menyiksaku.
Perjalan yang aku tempuh dengan mobil tua ini cukup panjang. 3600 detik. Aku melongokkan wajahku ke luar, dan membiarkan udara sore yang penuh dengan massa debu menerpa wajahku. Membua aku batuk dan kantuk menyerangku. Menuntut bulu-bulu mata lentikku untuk segera menarik kelopak matakku agar terkatup dan akhirnya aku benar-benar terbuai oleh angin sepoi-sepoi yang berhembus. Aku tertidur, tertidur sangat pulas tanpa mempedulikan penumpang di sekelilingku yang terheran-heran melihat aksi tidurku.
“Prembun… “
Suara itu masuk ke lubang telingaku dan menggetarkan gendang telingaku. Menyampaikan respon ke otakku dan dengan segera otakku menyampaikan ke saraf yang terhubung dengan kelopak mataku agar segera terbuka. Dalam keadaan tertekan. Aku terbangun seketika. Sinyal dari gendang telingaku begitu cepat direspon oleh kelopak mataku. Belum selesai, otakku masih harus menyampaikan perintah ke pita suaraku sehingga aku pun berteriak.
“Tunggu Pak, saya turun di sini”.
Namun, tugas otakku tak sebatas itu saja. Otakku masih harus memerintahkan saraf-saraf di tanganku untuk mengambil sebongkah uang receh di sakuku dan menghitung jumlah nominalnya tanpa memperhatikan nilai intrinsik yang terkandung dari setiap keping uang logam yang terambil dari sakuku dan kemudian memberikannya kepada kondektur angkot. Setelah itu, otakku masih harus mencari celah agar O2 dapat masuk tanpa ada ikut campur CO di tengah-tengah limpahan gas dari sisa pembakaran yang tidak sempurna yang menyelimuti udara sehingga aku mampu meraih kesadaranku kembali.
Tiba-tiba otakku merespon saraf perutku dan menimbulkan rasa lapar menyerangku. Aku berniat untuk segera menyelesaikan perjalanan panjang ini. Dengan begitu aku dapat dengan segera menyantap masakan ibuku. Mengingat masakan ibuku membuat air liurku kembali menuntut untuk segera dikeluarkan.
Asaku kian menderu-deru ketika beradu dengan pedal sepedaku. Semangat ‘45ku membumbung jauh ke angkasa. Perjalanan menuju istanaku setidaknya harus aku lalui di bawah sinar angkuh matahari. Banyak zona yang harus mampu aku taklukan.
Pertama, aku harus mampu menaklukan hembusan angin di padang Oryza sativa yang terhampar hampir sejauh 1 km. Aku picingkan mataku ketika kilauan kuning padang Oryza sativa bertemu dengan sorotan cahaya matahari yang berusaha mengahalau pandanganku. Dan ketika angin yang sepoi-sepoi berhembus dari udara yang bertekanan sangat maksimum ke udara yang bertekanan sangat minimum, gemuruh segera hadir karena angin sepoi-sepoi itu menyapu apapun yang dilewatinya. Bahkan pohon yang tinggi menjulang lewat karenanya dan tentunya aku pun tak luput karenanya. Hal itu membuat aku harus mampu menggenjot pedalku lebih kuat di setiap 1 m jalan yang ku lalui dan hal tersebut berlaku untuk kelipatannya. Hal tersebut membuatku loyo. Aku semakin lemah karena aku butuh pasokan energi. Terpaksa, aku giring sepedaku, melewati hamparan Oryza sativa.
Akhirnya kembali kukayuh pedal sepedaku, baru beberapa kali aku kayuh, tiba-tiba rantainya pun lepas dari tempatnya. Aku terpaksa turun dan menuntunnya, menempatkan rantai yang lepas ke tempatnya semula, dan kukayuh lagi sepedaku. Namun, lagi-lagi rantainya kembali lepas dan kutempatkan lagi di tempatnya dan lepas lagi begitu seterusnya untuk beberapa kali hingga aku putuskan untuk menutunnya saja. Bukan aku putus asa, melainkan tanganku telah kotor oleh oli yang melicinkan jalannya rantai sepedaku.
Lambat laun zona itu telah berhasil aku lalui. Namun, setidaknya masih ada dua zona yang harus aku lalui. Zona selanjutnya adalah zona Lumpur Hidup. Meskipun sejatinya di zona ini tak ada satu pun kubangan lumpur hidup. Namun, karena rintangannya yang diam-diam menghanyutkan, aku lalu menamai zona ini zona Lumpur Hidup. Seperti yang telah aku jelaskan, sesaat saat aku melintasi zona ini tak menemukan rintangan yang berarti. Namun, semakin jauh aku melintasi zona ini, rintangan yang sesungguhnya akan terlihat. Moto GP. Ya, zona ini seperti sirkuit Moto GP Indiana Polis di Amerika yang sering aku tonton malam-malam di rumah pakdheku bersama bapak, ibu, Ismail, pakdhe, sepupu-sepupuku, dan tak lupa pula kami selalu ditemani dengan camilan sriping pisang buatan ibuku.
Namun, ada yang aku sesalkan karena hampir semua pengguna jalan ini menggunakannya dengan seenaknya sendiri tanpa mempedulikan nasib pengayuh sepeda seperti aku. Mereka memotong jalan sesuka mereka. Maka dari itu, tak jarang hampir setiap minggu selalu saja ada tumbal atas tidak senonohan mereka menggunakan jalan ini. Aku pun pernah menjadi korbannya. Beruntung aku hanya harus mengganti kuku ibu jariku.
Di sepanjang jalan yang melintang sejauh hampir 500 m itu, aku tak berhenti sekedip mata pun untuk memanjatkan doa kepada-Nya. Jika memang hari ini kali terakhirku melihat fananya dunia, setidaknya aku dalam keadaan mengingat Allah. Sepeda yang aku kemudikan berlenggak-lenggok melalui celah-celah jalan yang masih dapat aku lewati. Turun saat aku merasa jiwaku terancam dan tak jarang aku harus ikhlas, jika pengguna jalan di belakangkku entah dengan tanpa sengaja atau dengan sengaja menabrakkan kendaraan yang dikemudikannya ke ban belakang sepedaku hingga aku jatuh tersungkur. Namun, sepertinya aku telah mahir dan tahu benar trik-trik jitu untuk dapat selamat dari jeratan zona ini. Dan untunglah, hari ini Allah masih memberiku kesempatan untuk memperbaikki ibadahku, dan tentunya Allah masih mengizinkanku untuk tetap dapat menikmati kefanaan dunia.
Ini tantangan terakhir sekaligus terberat meurutku. Di sini selain kekuatan mengayuh sepeda dan kemampuan memainkan trik-trik jitu yang sangat di pertanyakan untuk melewati zona ini, kekuatan fisik dan mental juga komponen utama yang mendasari keberanian seseorang untuk melewati zona ini, bagiku melewati zona ini bukan karena tertantang melainkan karena zona ini satu-satunya alternatif untuk menuju ke rumahku. Jikalau ada zona lain yang aku rasa lebih nyaman. Aku mungkin akan memilihnya.
Waktu yang kian beranjak siang menjadi pertimbangan bagiku. Sholat di mushola apa sholat di rumah. Namun, hasratku untuk segera menikmati hidangan yang disediakan ibuku amatlah besar. Dan hal itu mampu mengalahkan imanku. Akhirnya, aku putuskan untuk sholat di rumah saja. Ku lirik jam yang menggantung di mushola, jarum jam yang panjang menunjuk pada angka 7 dan yang pendek menunjukkan angka 1. Aku pikir masih ada cukup waktu jika aku mengerjakan sholat di rumah.
Benar apa yang aku katakan, baru beberapa meter saja aku memasuki zona Sahara ini, rantai sepedaku lepas dari tempatnya. Aku pun harus menempatkan rantai tersebut di tempatnya semula karena jika aku menggiring sepedaku itu berarti aku membiarkan diriku semakin kurus dan membiarkan kulitku yang hitam semakin hitam legam, aku bukan keturunan Kaukasoid yang bangga dengan kulit hitamku, rasku sebagian besar sangat menggilai kulit putih dan tentunya tak dapat dipungkiri, aku pun demikian halnya. Angin yang berhembus di zona Sahara ini sangatlah tak sebanding jika harus bertanding dengan badanku yang kurus dan kering seperti kekurangan gizi ini.
Di sepanjang perjalanan yang aku lalui hanya hamparan padang yang luas yang tandus dan kering keronta yang menjadi pemandanganku. Hanya debu-debu yang beterbangan yang menghiasi pemandangan di sekelilingku, bagi pengguna jalan sepertiku, debu tersebut sangatlah mengganggu. Tambahan pula, temperatur udara yang semakin cepat waktu berputar semakin naik temperaturnya. Tentu hal itu membuat keringat membanjiri badanku dan kembali mengeluarkan aroma yang mencucuk hidung, untunglah hanya aku saja yang menikmati aroma ini.
Temperatur udara dan kencangnya angin yang berhembus membuat banyak orang yang menggunakan zona ini ingin segera melewatinya. Dengan memacu kecepatan tinggi tanpa mempedulikan keadaan sekitar adalah hal yang sangat menenggelamkan etika berkendara yang sepatutnya diperhatikan demi menjaga keselamtan.
Debu-debu yang beterbangan semakin beterbangan karena angin yang berhembus sangat kencang. Hal tersebut sangat menghalau penglihatan para pengendara, termasuk aku yang selalu menjadi objek penderita. Tentunya trik-trik jitu yang bapak ajarkan untuk melalui zona ini senantiasa membantuku.
Kayuhan pedalku semakin ku percepat, di sinilah kemampuan fisik dan mentalku di pertanyakan. Kemampuan fisik untuk mampu menggenjot pedal melawan arus angin dan kemampuan mata melihat pandangan yang terhalang debu-debu. Dan kemampuan mental menahan emosi yang karena kelakuan pengguna jalan yang lain.
Semakin jauh aku melalui zona ini, asaku untuk segera menyantap hidangan ibuku semakin besar karena ini adalah zona terakhir untuk sampai di rumahku. Meskipun tak sepenuhnya setelah aku sampai di zona ini aku akan segera sampai di pelataran rumahku. Namun, setidaknya bayangan rumahku seakan terletak 5 cm di hadapanku.
Bagian Dua
Akhirnya, sampailah aku di pelataran rumahku. Rumahku terletak jauh dari keramaian kota. Bahkan mungkin sangat jauh dari keramaian kota. Di sebrang jalan ujung desa inilah rumah sederhana berdinding bambu dengan alas lantai dari semen berdiri kokoh di atas tanah seluas 9m X 9m. Itu pun sudah termasuk halaman dan kandang, ya kandang untuk sapi-sapi gembalaanku. Sejauh mata memandang. tak ada taman amggrek atau pun mawar yang menghiasi rumahku. Hanya bunga sangga langit yang tinggi menjulang yang menghiasi pelataran rumahku.
Di permukaan tanah pelataran rumahku yang terdiri dari butir-butir halus, nampak goresan bekas permainan gobag sodor adikku dan jejak-jejak kaki kecil yang begitu jelas kentara semakin memperjelas bahwa adikku baru saja selesai bermain.
“Assalamu’alaikum,” aku berteriak sambil menggiring sepedaku masuk ke kandangnya. Di sebelahnya telah berdiri kokoh sepeda bapakku. Keduanya nampak gagah. Segagah pemiliknya.
“Wa’alaikumsalam,” ibu menjawab salamku. “Ganti baju dan sholat dulu Han, setelah itu baru makan.”
“Nggih bu.” Iya.
Aku masuk ke kamarku. Kamarku adalah ruangan yang terletak paling timur berjejer dengan kamar tamu. Di dindingnya, banyak hasil gambarku yang aku kumpulkan semenjak aku duduk di bangku kelas 3 SD. Ada dua bilik jendela yang menjadi tempat masuknya sinar matahari sekaligus sebagai fentilasi udara dan jendela itu menjadi satu-satunya bagian yang paling aku suka. Aku senang berdiri di hadapannya, memutar tanaman cabai yang terletak di meja sebelah jendela agar mendapat pasokan cahaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fotosintesisnya, mengelusnya dengan kasih sayang, kemudian menyiramkan air segar yang aku ambil dari sumur, air yang menetes dari daunnya bagaikan rintik hujan yang turun setiap hujan turun di sebelah jendela kamarku. Aku sangat menyukainya. Menyukai pohon cabaiku dan menyukai hujan.
Aku buka jendela lebar-lebar karena aku belum sempat membukanya saat aku berangkat sekolah tadi. Udara khas desa segera masuk mengusir udara yang telah bernaung di kamarku sejak kemarin. Meskipun matahari sudah condong ke barat, udara desa tetaplah segar. Aku menatap ke luar. Nampak segerombolan teman-temanku menggiring sapinya, aku tahu tujuan mereka. Padang rumput di tepi sungai. Sejatinya aku pun sangat ingin mengikuti jejak mereka.
Dari buku yang pernah aku baca, besar di kampung sangat erat kaitannya dengan sawah, sungai, lumpur, dan tanah. Aku rasa pun demikian. Mereka seakan menjadi elemen penting yang tak dapat terpisahkan dari kehidupanku. Kehidupan anak kampung tulen. Tambahan pula, mengusik kebahagiaan cacing, mengurangi populasi ikan di sawah, dan berkubang di lumpur sejatinya adalah aktivitas rutin yang wajib dilakukan oleh seorang anak kampung tulen.
Namun, rotan bapak sangat mengekang aktivitas yang seharusnya menjadi rutinitas anak kampung tulen. Bapak. Kata itu seakan erat kaitannya dengan sosok yang garang, tegas, dan disiplin. Terkadang kedisiplinannya aku artikan sebagai kejam. Terlebih ketika rotan yang digenggam di tangannya yang besar dan kuat mendarat di punggungku. Ah, aku merasa sangat sakit.
Teringat ketika aku sedang belajar membaca Al-Qur’an dan malam mulai larut, seakan tanpa dikomando, bulu-bulu mata lentikku dibantu oleh setan mulai ingin menarik kelopak mataku untuk segera terkatup. Dengan sigap sebuah raungan rotan mengudara,. Mengalirkan daya 100 watt ke setiap saraf yang terhubung ke mataku.
Ya, begitulah seklumit tentang lukisan kehidupan anak kampung tulen dengan bapak seorang gladiator. Bukan gladiator, itu terlalu kejam. Mungkin, dengan bapak yang sangat sangat menjunjung tinggi nilai kedisiplinan. Ya, Disiplin. Bagi anak kampung tulen sepertiku, antara rotan dan lumpur seakan berbanding lurus. Jika ingin lumpur, seorang anak kampung sepertiku harus dengan ikhlas menerima takdir bahwa rotan sang gladiator akan dengan semangat menari di punggungnya. Begitu juga sebaliknya.
§
Namun, asaku akan hal itu segera mungkin aku tepis, aku ingat aku bahwa aku belum memenuhi kewajibanku kepada sang Khalik dan memenuhi kewajibanku kepada cacing-cacing penghuni ususku. Aku harus memberi mereka makan siang terlebih dahulu. Kulirik jam dinding yang tergantung pada paku di atas pintu masuk kamarku. Rabun-rabun aku melihatnya. Namun, pandanganku masih nampak begitu jelas, waktu menunjukkan pukul 13.55. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit kamarku. Mengamati beberapa cicak yang mungkin tengah mencari nyamuk. Mungkin. Mereka berlari, berkejar-kejaranan satu sama lain. Aku marah melihat mereka membuat kegaduhan di kamarku. Aku usir mereka, aku lempari mereka dengan pensilku. Mereka pergi. Aku kembali merebahkan tubuhku. Menatap langit-langit atap kamarku. Sayup-sayup angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela kamrku membuatku terlena. Mataku terpejam. Melupakan waktu yang tertunkuk pada jam yang menggantung itu. Dentingannya seakan membangunkanku. Namun, pikiranku telah melayang entah kemana.
§
Bagian Tiga
Siang ini matahari bersinar begitu angkuh. Meskipun manusia-manusia bumi telah bermandikan peluh, ia tetap bersemangat memancarkan energinya. Aku membuka mataku ketika sebuah bayangan melintas dan menutupi sinar matahari yang terpancar ke tubuhku. Aku mengucek-ngucek mataku. Aku mencari di mana jam yang menggantung di atas pintu kamarku, mencari jendela kamarku, tentunya mencari pohon cabaiku. Namun, sejauh mata memandang hanya hamparan tanah tandus tanpa ada seonggok pohon pun yang tumbuh. Hanya beberapa rumput kerdil yang semakin kerdil karena terinjak-injak banyak orang yang melintasinya.
Aku mencoba berdiri. Namun, semua orang nampak tertegun saat melihatku. Mereka menatapku dengan penuh tanya.
“Siapakah Anda,?” seorang pemuda dengan jenggot yang menutupi sebagian besar permukaan wajahnya, hidung mancung, tubuhnya yang tegap dan tinggi membuatku minder, dan dilehernya terdapat sorban lusuh yang menggantung dengan kendur karena lehernya yang begitu kecil. Ia bertanya padaku dengan bahasa Inggris. “Where are you come from?”. Dari mana asalmu. Logat bahasa Inggrisnya nampak seperti logat orang Arab.
“My name is Raihan”. Namaku Raihan.
Ia menatapku dengan penuh keheranan.
“Aku berasal dari Indonesia. K – E – B – U – M– E – N,” aku berusaha mengejanya.
Ia tersenyum. Nampaknya ia mengenal daerahku.
“Dari mana juga asalmu,?” aku balik bertanya.
“Hemm,” dia mendehem. “Maaf aku tak dapat mengatakannya padamu,” aku melihat guratan di wajahnya, ia nampak merasa bersalah, mungkin karena ia tak mampu menjawab pertanyaanku dengan lengkap. Sesuai yang aku tanyakan.
Aku berdehem dan tersenyum. Aku harap ia mengerti bahwa hal itu tidak bermasalah bagiku.
“Apa kamu seorang muslim?”.
Aku mengangguk. Aku merasa ada keraguan di hatiku. Aku mengaku sebagi seorang muslim. Namun, dalam kenyataanya aku nampak tak seperti seorang muslim. Aku sering melalaikan perintah-Nya. Malahan terkadang aku tak mengerjakan perintah-Nya. Astaghfirullah.
Aku menundukan kepala. Tiba-tiba sebuah butir bening menetes menuruni lereng pipiku. Aku menangis. Bayangan siksa api neraka di hadapanku. Bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Aku yang sering lalai akan perintah-Nya, aku yang takabur di atas bumi-Nya, dan aku yang sering lupa bersyukur akan nikmat langit cinta kasih-Nya. Gambaran api neraka seakan membakar jiwaku. Aku meraung dan minta tolong. Namun, tak ada yang mampu menolongku. Bapak dan ibuku menangis melihatku. Imanku masih di play group, padahal di tengah kehidupan di zaman akhir ini, seharusnya aku memiliki iman yang kuat, iman yang dapat menopangku menjauhi kefuturan, yang dapat menjadi benteng untuk mempertahankan akidahku dari terpaan godaan di zaman akhir ini karena akidahku sejatinya adalah cerminan kepribadianku. Aku selalu berusaha mencoba. Kadang aku merasa berhasil mempertahankan keimananku. Namun, aku kadang sering pula merasakan futur. Imanku lemah, bahkan sangat lemah. Saat itu, aku merasa dipermainkan oleh dunia yang fana ini. Semakin di permainkan. Astagfirullahal’adzim.
Kini, bukan lagi bayangan api neraka yang ada di hadapanku, aku seakan melihat bayangan bapak dan ibuku. Aku melihat mereka menatapku dalam-dalam dengan sejuta harapan. Harapan agar aku bisa menjadi orang yag berguna bagi agama, nusa, dan bangsaku. Ibuku menatapku dengan senyum terhangatnya. Mengelus kepalaku dengan cinta kasih terdalamnya. Bapak menepuk-nepuk bahuku dengan tepukan yang mantap. Mereka sangat berharap demikian. Aku tak mampu menatap mata bapak dan ibuku, aku merasa sangat bersalah kepada mereka. Cinta kasih yang telah mereka berikan belum mampu aku kembalikan. Aku belum mampu membuat orang tuaku bahagia. Padahla kini aku bukan lah kanak-kanak lagi. Usiaku telah 10 tahun. Namun, di usia yang sekarang ini aku belum mampu membuat orang tuaku bahagia. Prestasi. Bahkan prestasi di sekolahku pun kini kian tidak menentu. Hanya satu hal yang saat ini baru mampu aku kuasai. Menggambar. Menjadi pemenang di salah satu ajang menggambar menurut ibuku merupakan prestasi yang mampu membuat bapak dan ibuku bangga. Namun, itu pun aku rasa belum seberapa jika dibanding dengan rasa banggaku atas keikhlasa bapak dan ibu mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Air mataku kian deras. Sebagian jatuh membasahi tanganku dan sebagian lagi jatuh ke tanganku. Aku kembali menundukan kepala.
Orang itu menyentuh pundakku. Mengangkatnya dan mendongakkan kepalaku kepadanya. Ia menatapku lalu ia tersenyum. Lesung pipitnya begitu kentara meskipun telah tertutup jenggot lebat yang tumbuh di sekitar wajahnya. Ia membawaku ke rumahnya. Bukan, nampaknya bukan rumahnya, ini lebih pantas disebut barak pengungsian tenimbang rumah. Namun, ia menyebut ini rumahnya. Tempat teraman di negaranya. Aku bingung dengan apa yang ia katakan. Belum sempat aku memahaminya ia telah pergi meninggalkanku. Entah ke mana ia pergi. Sebelum pergi ia menyuruhku untuk tetap duduk manis menanti kepulangannya. Aku pun menurutinya. Aku pandangi sekelilingku. Ini sangat tak pantas disebut rumah, gumamku dalam hati.
Aku diam sejenak. Hiruk pikuk yang di sini lebih ramai dari hiruk pikuk di kelasku saat guru mata pelajaran PKn terlambat masuk. Hal ini dimanfaatkan teman-temanku untuk berangkat lebih siang. Ya, setidaknya mereka tiba di gerbang sekolah bersamaan dengan bel berbunyi. Di sana-sini terdengar tangisan bayi yang kelaparan, anak kecil yang berkelahi dengan kakak lelakinya, dan orang lansia yang pikun yang menyusahkan anak cucunya. Gambaran siklus hidup manusia terlukis jelas di sini. Di bilik ini. Dari saat manusia baru mengenal air susu ibu, sampai manusia berusia lanjut. Semua ada di tempat ini. Tempat yang sangat tidak aku kenal.
Dari ujung jalan sana, aku melihat pemuda tadi. Pemuda yang belum sempat aku kenal namanya. Ia membawa kantong plastik hitam. Entah apa yang ada di dalam kantong plastik itu.
“Afwan Akhi”. Maaf akhi –panggilan untuk pemuda dalam bahasa Arab-. Nafasnya nampak tersengal-sengal. Di atas hidungnya aku melihat titk peluh, di keningnya pun demikian halnya, kemudian sorban lusuhnya dilapkan ke hidung dan dahinya. “Ada sedikit Ubi rebus untuk mengganjal perutmu,” ia menyodorkannya kepadaku. Masih hangat.
“Syukron Akhi,”. Terima kasih.
“Waiyyaki,”. Sama-sama.
Sepertinya ia
Tanpa dikomando aku segera mengambil Ubi itu. Aku langsung melahapnya, dalam hitungan menit saja Ubi rebus itu telah masuk ke dalam perutku. Menjadi rebutan cacing-cacing yang mendiami ususku. Menimbulkan harmoni yang syahdu.
“Maaf, bolehkah aku tahu namamu. Itu pun jika kau tak keberatan!”.
“Oh, tentu. Kau adalah muslim. Setiap muslim adalah saudara. Jadi kita bersaudara dan selama dalam naungan syahadat yang sama kita akan tetap bersudara. Namaku Ibrahim bin Ismail,” lesung pipitnya selalu tak pernah terlupa olehnya.
Dia mengambil sesuatu lagi dari kantong plastik yang di bawanya. Apa ini kantong ajaib Doraemon.
Dari kantong itu sepertinya hampir semua barang yang dibutuhkan selalu ada. Kantong ini mengingatkanku dengan kartun kesukaanku saat aku masih kecil dulu. Kartun dari negeri Matahari Terbit. Jepang. Aku masih ingat benar, waktu itu aku masih berumur 6 tahun, aku dan adikku sangat terobsesi untuk memiliki kantong ajaib seperti milik Doraemon. Asa yang begitu menggebu dalam kalbu kami seakan menuntut kami untuk melakukan hal apapun demi mendapatkan kantong ajaib harapan kami.
Akhirnya kami putuskan untuk membuatnya saja. Selain mudah, biayanya pun sepertinya tidak cukup banyak. Kita hanya membutuhkan jarum dan benang untuk mengaitakan kantong tersebut ke baju kami. Usul punya usul. Kami putuskan untuk mengambil busa yang ada di lengan baju ibu kami. Menyobek bagian atasnya dan mengambil busanya, lalu menjahitnya di depan baju kami. Aku membantu adikku menjahitnya pada bajunya karena adikku belum bisa. Kami memakainya dengan sangat bangga. Walaupun, kantong tersebut bukanalah kantong ajaib. Dan saat ibu kami mengetahui bajunya rusak karena kami, ibu marah. Ibu menghukum kami dengan tidak memberikan kami uang jajan selama 3 hari. Adikku nampak kesal. Namun, adikku mengerti saat aku menasihatinya. Ini merupakan kebahagiaan bagi aku dan adikku.
Ibrahim kemudian menyodorkan setelan baju sepanjang lutut, celana, dan sorban ke padaku. Ia memintaku untuk mengganti pakainku karena menurutnya pakaianku akan mengundang perhatian para ninok-ninok Belanda. Belanda. Kolonial Belanda. Kata itu pernah aku dengar saat aku mengikuti mata pelajaran PKn 3 pekan silam.
Aku memakainya. Baju ini menggantung di pundakku, hampir jatuh ke bawah pundakku. Lengan bajunya pun lebih panjang dari lenganku, sehingga jatuh di bawah jariku. Atas saran Ibrahim lengan baju yang jatuh kira-kira 5 cm di bawah jariku aku tekuk, kemudian aku kalungkan sorbanku seperti Ibrahim mengalungkan sorbannya. Namun, kali ini kalungan sorbanku terlihat lebih luwes tenimbang kalungan sorban Ibrahim. Mungkin karena leherku tak sekecil leher Ibrahim. Ibrahim pun meminjamkan sendalnya padaku. Sendalnya mungkin berukuran lebih dari 40 karena kakiku pun sampai tak cukup ketika mengenakannya. Terlalu besar.
§
“Assalamu’alaikum,” suara menggelegar itu mengheningkan hiruk pikuk kelasku.
“Wa’alaikumsalam,” kami menjawab salam yang ternyata di lontarkan oleh kepala suku kami. Alan.
“Hari masih pagi Bung,” seperti biasa Rakhmadi tak pernah absen menanggapi kedatangan Alan.
Alan hanya tersenyum menanggapi perkataan yang dilontarkan Rakhmadi. Kemudian berjalan meyeret ranselnya yang tampak sangat berat untuk diletakkan di punggungnya. Seperti biasa Alan duduk berdampingan dengan Ali karena mereka berdua adalah maskot telat kelasku. Dan hiruk pikuk pun kembali terjadi. Di bangku belakang nampak Asiah dan Nanda yang tengah menyantap sarapan pagi mereka. Yuyun, Diyah, Mariyani, dan Bella yang tengah disibukkan dengan tugas mereka yang belum sempat terjamah tadi malam. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing dan aku. Aku hanya bertugas mengamati teman-temanku.
Tiba-tiba suara bergemuruh datang memecah hiruk pikuk kami. Wildan dan Taufiq yang baru saja kembali setelah bertandang dari kantin mengabarkan bahwa Bu Endah guru PKn kami telah di ambang pintu. Benar apa yang dikatakannya.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi anak-anak”.
“Wa’alikumsalam, pagi Bu”.
“Mari kita berdo’a terlebih dahulu”.
Hening. Kita semua larut dalam do’a kami masing-masing yang kami panjatkan kepada sang Khalik.
Dari materi yang bu Endah sampaikan waktu itu, hanya sedikit yang aku dapat terima tentang kolonialisme Belanda. Belanda menguasi Indonesia selama kurang lebih 3,5 abad. Belanda memberlakukan kerja rodi. Orang Indonesia dipaksa bekerja untuk membangun berbagai fasilitas yang Belanda butuhkan tanpa memberinya gaji sedikit pun. Salah satunya mereka harus membangun jalan yang panjangnya membentang dari Anyer – Panarukan.
Hanya itu yang dapat aku pahami tentang pemerintahan pada masa kolonialisme Belanda. Namun, garis besar yang aku tahu pemerintahan kolonialisme Belanda bengis, kejam. Bahkan sangat bengis dan kejam.
§
“Ibrahim, sebenarnya di manakah aku sekarang menginjakkan kaki,?” aku mengambil nafas sejenak. Membiarkan udara panas menyengat kulitku yang kian legam ini. “Mengapa di sini aku merasakan sesuatu yang berbeda?”. Aku menunjukkan jariku pada hamparan tenda-tenda pengungsian yang terletak di sebelah kananku “Kau mengatakan padaku bahwa tempat itu adalah rumahmu. Namun, maaf aku rasa tempat itu tak layak disebut rumah. Di setiap tenda kecil itu dihuni oleh sekitar 10 orang. Bagaimana mungkin kamu dan mereka semua merasa nyaman?”.
Ia tidak langsung mejawab pertanyaanku segera. Ia menatap langit, menatap kakinya yang kotor di sini kaki kotor merupakan hal yang biasa, bukan mereka tak mau mencuci kaki mereka. Namun, di sini air bersih merupakan salah satu komoditi yang cukup langka. Ia menendang batu kecil di hadapannya. Kemudian ia menatapku. Ia menatapku seperti tatapan bapakku ketika aku pertama kali belajar membaca Al-Qur’an. Bapak menatapku sangat dalam. Seakan tatapan matanya dapat mentransferkan ilmunya kepadaku.
“Aku sangat bahagia tinggal di sini Raihan. Di tempat inilah aku menemukan kehidupanku. Di tempatku yang dulu, aku merasa tertekan. Aku selalu dibayang-bayangi dengan kematian dan pembantaian. Walaupun terkadang, orang yang dibantai lebih beruntung dari pada orang yang hidup seperti aku ini. Dan walaupun di sini begitu pula halnya. Namun, aku merasa nyaman di sini”. Dia berhenti sejenak. Menghirup nafasnya dalam-dalam, menendang batu lagi dan kembali menatapku lalu meneruskan menjawab pertanyaanku.
“Di sini aku berjuang untuk mempertahankan kehidupan Raihan, bukan kehidupanku saja melainkan kehidupan mereka,” Ibrahim menunjuk kepada segerombolan anak-anak yang tengah bermain di sebelah tanker tua. Entah milik siapa tanker itu dan apa maksud pemiliknya membuang tanker itu di sembarang tempat. Meskipun tanker itu bisa dijadikan arena bermain untuk anak-anak kecil itu. Namun, jika tanker itu diletakkan di museum, tak hanya anak-anak itu saja yang dapat menikmati tanker itu, melainkan seluruh anak di Indonesia atau bahkan seluruh anak di dunia sekali pun.
“Meskipun darahku tak menetes di sini saat aku terlahir. Aku tak akan pernah meninggalkannya Raihan. Aku sangat mencintai tempatku berada sekarang. Tentunya sama dengan kau mencintai daerahmu. Kebumen”. Ia tersenyum menatapku.
Aku membalas senyumannya. Aku merasa bersalaha bertanya demikian padanya. Aku semakin diherankan dengan jawaban Ibrahim. Ia mengatakan bahwa terkadang orang yang mati dibantai lebih beruntung dari pada dirinya, dari pada orang yang masih hidup.
“Well, aku tahu banyak pernyataan-pernyataanku yang berkecamuk di pikiranmu. Menvari celah agar mampu mengerti apa maksud yang aku katakan tadi,” ia meneruskan menjawab pertanyaanku dan ia seakan mampu membaca isi pikiranku. “Mari ikut aku,” ia menarik lenganku. Menuntutku untuk mengikuti langkahnya.
Cukup jauh jalan yang ku lalui. Di sepanjang perjalanan Ibrahim tak megeluarkan kata sedikit pun. Semakin jauh aku membawa kakiku mengikuti kaki Ibrahim, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatku takut. Di sepanjang jalan yang kita lalui aku selalu melihat mayat. Aku ingin mengatakan kegundahan dalam hatiku. Namun, aku merasa minder, haruskah sebagai seorang laki-laki aku takut akan hal ini. Sangat tidak pantas.
Ia berhenti. Aku pun mengikutinya. Aku tertegun melihat apa yang ada di hadapanku. Kubangan darah. Darah manusia tentunya karena di sampingnya aku melihat ada potongan jari kelingking. Sungguh miris.
“Ini akan menjawab segalanya yang berkecamuk di pikiranmu”.
Aku tak mampu berkata-kata. Sarafku seakan tak bekerja.
“Kau sekarang berada di daerah jajahan kolonial Belanda. Di daerah yang sangat membenci orang-orang Indonesia sepertiku dan tentunya sepertimu juga Raihan,” ia mejauhi kubangan darah di hadapannya. Berjalan menyusuri tempat-tempat yang sepertinya baru saja terkena gempa bumi. Di negara Indonesia, gempa bumi bukanlah hal yang baru. Bahkan balita di negaraku sudah dikenalkan dengan istilah gempa bumi. Terletak di jalur sirkum Mediterania dan sirkum Pasifik menyebabkan Indonesia kaya akan gunung berapi aktif. Letaknya di daerah pertemuan tiga lempeng membuat Indonesia sangat solid dengan gempa.
Pemandangan ini pernah aku lihat dari layar televisi hitam-putih milik pakdheku saat gempa berkekuatan 8,9 SR dan tsunami melanda Nanggro Aceh Darussalam pada Minggu, dua6 Desember dua004 silam. Bangunan-bangunan di sana rata dengan tanah. Hanya tertinggal 1 masjid yang masih mampu berdiri kokoh di kota Serambi Mekkah itu.
“Sekarang kau berada di Barat Wonosari, Gunung Kidul. Sebelah Selatan, adalah Bantul”. Bantul, aku seakan sering mendengar kata itu. Dan gambaran kata itu adalah tempat yang rata dengan tanah. Bangunan roboh, mayat-mayat yang terlantar di jalanan. Pakdheku. Di sana pakdheku pernah tinggal di sana aku pernah mengukir namaku dan nama adikku, di pohon belakang rumah pakdhe.
“Utara sana adalah Sleman. Kemudian di barat sana ada Wates, Kulon Progo,” ia menjelaskannya padaku sembari mengacungkan jarinya ke arah yang ia tuju. Aku hanya mengangguk karena sejatinya aku masih takut dengan kubangan darah dan potongan tubuh manusia yang aku temui di perjalanan kami tadi.
“Aku belum begitu paham di mana aku berada Ibrahim”. Aku merasa sering mendengar daerah-deaerah yang Ibrahim katakan. Namun, aku sangat sulit untuk mengenalnya, untuk tahu di mana tempat itu berada.
Ia mengambil nafas. Lalu menarik lengan bajuku yang kebesaran. Aku membuntutinya di belakang.
“Lihat gunung yang tinggi menjulang itu,” Ibrahim menunjukkannya dengan jari tengahnya karena jari telunjukknya telah menjadi korban kebengisan Belanda.
Aku mengangguk.
”Penduduk di dunia pasti mengenal kedahsyatan gunung itu?”.
Aku termenung memandangi gunung yang puncaknya tak pernah absen diselimui asap.
“Apakah gunung itu gunung Krakatau?”. Gunung Krakatau. Ya, gunung itu merupakan gunung yang memiliki letusan terdahsyat sepanjang sejarah kehidupan manusia. Gunung yang terletak di tengah-tengah selat Sunda itu meletus pada dua6 Agustus 1883. Letusannya telah menghancurkan ratusan kota dan ribuan desa, 36 ribu jiwa menjadi korbannya. Dampaknnya tak kala besar bagi kelangsungan hidup manusia, dua6 juta ton belerang yang di lepas ke atmosfer mnyebabkan suhu global hingga abad ke-dua0. Krakatau itu sendiri pun nyaris tak tersisa, ia telah memuntahkan seluruh isi perutnya. Batu keras 1dua mil persegi telah lenyap ke udara dalam waktu 40 jam. Begitulah informasi yang aku ingat tentang letusan gunung Krakatau dari sebuah film.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya mengeleng.
“Lalu, di mana Aku sekarang? Tolong jelaskan padaku!”.
“Merapi. Gunung yang tinggi menjulang itu adalah Merapi. M-E-R-A-P-I”.
Ia mengeja kata itu. Aku tak menjawab sedikitpun. Aku tersentak mendengar kata Merapi. Aku hanya mengangguk pelan, dan berharap bahwa tempat ini bukanlah tempat yang ia katakan tadi.
“Well, tempat di mana kau memijakkan kaki ini adalah Yogyakarta”.
Aku ingat, Yogyakarta yang terkenal dengan kota budaya, kota pelajar. Kota dengan berbagai macam kenangan. Monjali, Malioboro, Kasongan. Namun, mengapa Ibrahim tak menjelaskan padaku tempat-tempat itu. Bukankah itu merupakan tempat yang tak asing lagi bagi warga domestik bahkan mancanegara. Mungkin Ibrahim lupa, aku tak mau bersu’udzon kepadanya.
Ia menjelaskan panjag lebar tentang Yogyakarta. Namun, tak banyak yang aku tahu dan yang dapat aku pahami adalah bahwa aku saat ini berdiri di atas tanah Yogyakarta. Dari tayangan televisi hitam-putih yang aku tonton di rumah pakdheku, Yogyakarta merupakan daerah yang penuh dengan sejarah. Aku sangat senang dengan Yogyakarta. Namun, ini berbeda. Di Yogyakarta tak ada tenda-tenda pengungsian kecuali saat gunung Merapi meletus.
Aku pun harus ikhlas menerima takdirku yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz, bahwa saat ii aku memang ada du tengah-tengah penduduk Yogyakarta. Namun, di masa penjajahan Belanda.
Bagian Empat
Aku menatap hamparan kanvas biru di atasku. Ingin aku melukiskan kegundahan hatiku atas takdir Tuhan menempatkanku di tempat ini. Tempat yang menurutku sangat mengancam jiwaku. Aku takut. Aku ingin menangis. Namun, statusku sebagai seorang laki-laki membuatku harus berpikir dua kali untuk melakukan hal itu. Dalam adat keluargaku, sangat tidak etis jika seorang laki-laki menangis. Walaupun sejatinya aku sering menangis saat rotan bapak mendarat di tubuhku. Ya, aku benar-benar menangis saat itu.
Aku menangkupkan tanganku, menggosok-gosokkan telapak tangan kananku dengan telapak tangan kiriku. Aku membutuhkan kehangatan. Kenyataan ini membuatku takut dan aku merasa kedinginan padahal matahari tak menyurutkan pasokan energi kepada bumi.
Sepertinya Ibrahim mengerti ketakutanku. Ia meletakkan tangannya di pundakku. Menatapku dengan penuh kasih. Aku meletakkan kepalaku di pundaknya. Dalam hitungan menit aku tertidur. Ya, aku layaknya anak kecil yang biasa mengatasi ketakutannnya dengan tidur dan menangis. Aku benar-benar takut.
§
“Qum ya Akhi. Sholat Dzuhur dahulu”. Bangun.
Di ujung koridor ini aku tertidur. Bukan, tapi di ujung koridor ini Ibrahim menidurkanku. Aku bangun dan mencoba megumpulkan kesadaranku. Rasa takut yang sedari tadi menerpaku berangsur sirna. Walau pun belum benar-benar sirna dari pikiranku.
“Syukron Ibrahim. Afwan Akhi”. Maaf.
“Maaf? Untuk apa? Aku tak merasa kau berbuat salah kepadaku”.
“Maaf karena aku membuatmu repot”.Ia tak menjawabnya. Ia hanya tersenyum, aku mengerti apa maksudnya.
Ibrahim lalu meminjamkan sarungnya. Sarung yang lusuh. Selusuh sorban yang dikenakannya dan yang di pinjamkannya padaku. Kami berjalan menuju ke masjid. Aku tak tahu apa nama masjid ini. Di sepanjang perjalanan Ibrahim bercerita banyak tentang ulah kolonial Belanda terhadap penduduknya. Mereka menghancurkan bangunan-bangunan besar di Yogyakarta, memaksa kaum leleki bekerja sehingga kaum leleki menjadi komoditi yang cukup langka di sini, memperkosa kaum hawa hanya sebagai hasrat untuk memenuhi syahwatnya saja, menjadikan anak kecil yatim piatu. Semua sungguh jauh dari nilai-nilai agama bahkan sangat jauh dari nilai-nilai perikemanusiaan.
Menurut Ibrahim, warga muslim yang tinggal di Yogyakarta mempunyai kesempatan untuk sholat sehari 5 waktu saja mereka sangat bersyukur. Terlebih jika mereka mampu menunaikan sholat sunnah. Setiap hari besar Islam tiba, mereka tak dapat memperingatinya layaknya umat Muslim lain di penjuru dunia.
Semua yang ada di Yogyakarta tempo doeloe jauh berbeda dengan yang terjadi di daerahku sana saat ini. Mungkin juga berbeda dengan Yogyakarta saat ini. Di sana semua penduduknya bebas melakukan aktivitas agama tanpa harus takut terhadap ancaman apapun. Mereka bisa melakukan sholat sebanyak uang mereka mau. Mereka juga dapat sholat dengan lebih khusyuk, mereka dapat mengerjakan sholat sunnah sebanyak yang mereka inginkan, mereka bisa melakukan itu semua.
Aku sholat di sebelah anak kecil bernama Hassan. Ia Nampak khusyuk menjalankan sholatnya. Meskupun sesekali sebelum ia sholat ia tampak bersenda gurau dengan teman-temannya yang memancing kemarahan jama’ah lain, ia nampak antusias mengikuti sholat Dzuhur ini. Aku pun terbuai oleh senyumannya yang mengajakku bermain dengannya. Berbeda sekali dengan di daerah tempat aku tinggal.
Di sana masjid-masjid kosong seakan tiada penghuni. Ramai hanya saat malam tiba karena anak-anak kecil yang mengaji di sana. Jika malam mulai larut dan anak-anak telah pulang ke kasih bundanya, masjid itu tak lebih dari sebuah ruangan kosong yang gelap, yang hanya dihuni oleh angin malam dan cicak. Dan saat krannya menetes, tak ada yang mau menutupnya hingga pagi tiba dan air di bak untuk wudhu habis. Hingga akhirnya jama’ah yang tadinya berniat mengerjakan sholat berjama’ah mengurungkan niatnya. Mengambil sandal yang terparkir di pintu masuk masjid, mengarahkan langkahnya kembali ke rumah mereka masing-masing. Tampak ada guratan rasa kecewa di wajah mereka. Bagaimana tidak, mereka rela bangun lebih awal disaat masih banyak orang yang meringkuk di balik selimut tebalnya, menembus kedinginan malam dan meninggalkan keluarga mereka. Namun, yang mereka dapatkan adalah bak kosong tanpa air wudhu. Mereka sebenarnya lelah jika setiap hari harus menunggu ta’mir masjid mengisi air di bak. Menunggu air penuh dan waktu untuk sholat telah habis.
Saat bulan Ramadhan tiba, masjid mulai digunakan sebagaimana fungsinya, orang-orang berbondong-bondong ke masjid, memilih sholat di shaf paling belakang, dengan alasan menghormati orang yang lebih tua. Alasan klasik yang sampai sekarang tetap saja dipakai. Namun, masjid di bulan Ramadhan hanya berfungsi saat malam saja dan 4 waktu sholat lainnya diramaikan oleh anak kecil . Ya, anak kecil memang selalu saja bisa membuat kagum banyak orang dengan aksinya.
Sholat Dzuhur telah usai. Para jama’ah segera berhamburan ke luar masjid dan bergegas kembali ke rumah mereka. Eh, bukan rumah. Melainkan tenda pengungsian mereka.
Tiba-tiba di udara nampak segerombolan pesawat tempur Israel menggempur kota ini, kota tempat aku memijakkan kaki di bumi Allah. Pesawat tempur tersebut menyerang pemukiman warga dan masjid yang baru saja aku tempati untuk sholat.
“Ayo Raihan, lari… Lari Raihan. Sembunyi di bawah tanker itu,” Ibrahim menunjuk ke lorong di bawah tanker milik Belanda yang tidak digunakan lagi. Di tubuh tanker itu, terdapat lumut-lumut yang tumbuh subur. Hal itu menyebabkan tubuh tanker itu berkarat dan di beberapa bagiannya bahkan ada yang sudah berlubang. Di saat sore tanker itu ramai dikunjungi anak-anak kecil untuk bermain petak umpet atau sekedar naik di atasnya atau masuk ke dalamnya sambil berteriak “Akan aku kalahkan kau Belanda”. Setelah itu, suara seperti tembak-tembakan akan keluar dari mulut mereka.
“Kau mau ke mana Ibrahim. Aku mohon jangan tinggalkan aku seorang diri di sini,” kali ini aku tak dapat menepis ketakutanku.
“Tenanglah Raihan, percayalah padaku. Kau akan selamat. Ini menyangkut kehidupan penerus bangsaku. Anak-anak itu. Anak-anak yang bermain di masjid tadi bersamamu. Mereka sangat membutuhkanku”.
Aku hanya tertegun. Aku tak mampu menghalanginya. Aku tak mampu mncegahnya. Aku tak boleh egois. Akhirnya aku turuti apa yang Ibrahim perintahkan kepadaku. Aku sembunyi di balik tanker itu. Aku seperti tikus ketakutan. Bahkan bisa dibilang aku adalah tikus ketakutan. Di luar sana banyak orang yang tengah menyelamatkan saudara seimannya tanpa mempedulikan bahaya yang sejatinya sangat mengintai nyawa mereka kapan saja. Aku melihat pesawat tempur Israel melesakkan sejumlah bom ke arah masjid itu hingga rata dengan tanah. Selain itu satu rumah milik warga hingga hancur lebur. Selain itu, tentara Belanda juga menembakkan rudal di tengah kota yang padat penduduk di Yogyakarta.
Sungguh pemandangan yang sangat tragis. Lebih tragis lagi ketika yang menyaksikan pemandangan ini adalah anak berusia di bawah umur. Mereka baru mengerti tentang kasih sayang orang tua.
§
Bagian Lima
“Ya, sekarang kumpulkan tugas kalian dan sediakan satu lembar kertas. Semua buku masukkan ke dalam loker masing-masing,” Bu Ani tiba-tiba masuk dan memerintahkan kepada kami demikian.
“Ulangannya minggu depan Bu,” kami berusaha membela. Bagaimana tidak, malam tadi kami sudah menyelesaikan tugas Sejarah dan Bahasa Jepang yang kuotanya tiada terkira. Hal itu terbukti dari raut wajah dan mata teman-temanku. Wajah mereka begitu lusuh, kantong mata menghiasi setiap sudut mata mereka. Menandakan mereka baru saja menaklukan malam yang dingin di musim kemarau ini.
Bu Ani memandangi kami. Menatap kami dalam-dalam. Mungkin Bu Ani tengah mengingat-ngingat kebenaran ucapan kami. Di saat yang lain berusaha mengejar belajar. Intan nampak gusar. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos, Intan hampir saja membawa masalah sepele ini ke meja BK jika Alan sang kepala suku tak menenangkannya. Aku tahu sejatinya Alan pun nampak gusar. Namun, sebagai seorang ketua kelas ia dituntut untuk berwibawa di hadapan anggotanya.
Di antara kami hanya Aim yang terlihat paling tenang. Ia nampaknya telah mengantisipasi kemungkinan ini. Terlihat Aim dengan tenang membawa tugasnya ke depan. Berbeda dengan Intan, meskipun Dito termasuk dalam golongan ceplas-ceplos di kelasku. Namun, Dito tidak berniat membawa masalah ini ke meja BK. Ia hanya membawa maslah ini ke meja Bimo. Mencurahkan kegundahan hatinya. Terlihat Bimo hanya tersenyum tanpa memberikan komentar sedikit pun. Kasihan Dito. Walaupun Dito adalah pakar sejarah kelasku. Untuk masalah ulangan dadakan Dito sangatlah anti. Dan jauh di pojok sana, Putranto terlihat was-was jika Aziz akan membuat heboh seisi kelas dengan dan aksi pingsan dan kejang-kejangnya. Gara-gara ulangan dadakan.
Sesaat setelah Bu Ani menatap kegundahan kami. Bu Ani tersenyum dan mengatakan “Iya, Ibu lupa”.
“Hah? Ora sida ulangan Bu. Alhamdulillah,” celetuk Wulan dengan gaya ngapak khas Kebumen. Tidak jadi ulangan Bu.
“Ya ora kaya kue Wul,” Adit yang sedari tadi rona wajahnya terlihat pucat pasi kini mulai berangsur mengembalikan rona wajahnya.
Suasana kelas kembali tenang. Materi pelajaran kali ini adalah Masa Penjajahan Kolonial Belanda. Baru mendengar judul bab baru ini sja sebagian dari kami mulai menguap. Hanya beberapa anak yang matanya masih mampu menopang materi yang disampaikan bu Ani. Tetapi, ada yang berbeda dari biasanya. Didik. Ya, Didik si jago tidur itu kini justru terlihat paling antusias mengikuti bab ini. Beberapa kali ia terlihat menganggung-anggukkan kepalanya. Entahlah apa itu maksudnya, mungkin ia paham akan materi yan disampaikan oleh bu Ani, mungkin juga penyakit kantuknya mulai kambuh.
“Raihan, coba jelaskan sejarah kolonialisme Belanda,” suara itu menghilangkan kantuk yang menerpa teman-temanku. Aku pun kaget mendengarnya. Suara bu Ani begitu menggelegar, sempat terlintas di benakku bahwa mungkin dulunya bu Ani merupakan mantan pemimpin upacara.
“Sejarah Kolonialisme Belanda. Mmm… Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816, ” aku menghela nafas. “Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 18dua5-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan”.
“Ya, cukup. Laelatul tolong dilanjutkan!”.
Ela bisik-bisik kepadaku. Meminjam modul yang aku dapatkan dari internet.
“Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll,” Ela berhenti sejenak.. “Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870”.
“Sudah, sudah” bu Ani menghentikan. Melihat daftar absensi. “Wibowo silahkan dilanjutkan”.
“Hah? Apa?,” seperti biasa Bowo selalu saja tidak memperhatikan, dan seperti biasa pula Rakhmadi menjelaskannya kepada Bowo. Bowo nampak manggut-manggut. Dan meminjam modulku. “Oke Bu. Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek),” saat Bowo mengejanya kelas menjadi gaduh. “Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini”.
Teet..teet..teet
“Alhamdulillah”.
“Seperti biasa, Bowo diselamatkan oleh bunyi bel itu,” Sacana menimpalkan komentar yang cukup pedih. Walau pun sejatinya itu adalah kenyataan.
§
Cukup lama aku berada di belakang tanker itu. Aku merasa suasana semakin membaik. Aku keluar dari tanker itu. Menatap ke segala arah di hadapanku. Dari ujung sana nampak seorang lelaki seusia bapakku menggendong anak kecil dengan darah berlumuran di wajahnya. Di ujung jalan yang lainnya ambulan meraung-raung menambah gemuruh suasana. Nampak tentara Belanda tetap berjaga-jaga di hampir seluruh sudut kota tanpa mau membantu korban atas ulah brutalnya. Mereka begitu bengis. Aku berpikir untuk menepis rasa takutku dan membantu mereka. Membantu saudara-saudaraku seperti Ibrahim. Namun, hati kecilku masih menolaknya.
Cukup lama aku memikirkan hal itu.
“Raihan, kamu baik-baik saja bukan? Aku sangat mengkhawatirkanmu”.
Aku mengangguk. Ibrahim datang menanyakan keadaanku.
“Allah melindungimu lewat tanker itu,” matanya yang tanpa ekspresi sepertinya tak akan berkedip di saat genting seperti sekarang ini.
Pernyataan Ibrahim membuat bulu kudukku berdiri. Allah. Tanker. Aku mengingat Allah. Aku merasa malu. Mengapa sedari tadi aku tak berdo’a kepada-Nya, aku hanya berdiam diri. Ya Allah, maafkan hamba.
Tiba-tiba aku menggaet tangan Ibrahim. Membawanya lari ke tempat jatuhnya bom-bom tadi. Entah mengapa tiba-tiba rasa takut dalam hatiku hilang begitu saja. Mungkin ini aku lakukan untuk menebus semua dosa-dosaku kepada-Nya. Walaupun aku tahu, segala kebaikan yang aku lakukan tak akan pernah bisa menghapus dosa-dosaku kepada-Nya.
“Ya Rabb, dosaku menggunung tinggi. Namun, nikmatmu tak pernah sedikit pun berhenti mengalir untukku,” aku menggumamkannya pelan. Bahkan mungkin sangat pelan. Hanya aku yang mampu mendengarnya. Aku seorang.
Di gendonganku seorang anak kecil tak berdosa tengah meregang nyawa. Mungkin dia seumuran dengan Adam sepupuku. Tubuhnya kurus, kulitnya kering, dari kepalanya darah keluar seakan tak bisa berhenti. Kakinya telah hancur. Sungguh miris hatiku melihatnya. Ia tak menangis. Namun, ia masih mampu membuka matanya. Mungkin hal ini telah ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak ia masih di dalam kandungan. Saat ia masih terikat dengan plasenta.
Aku membopongnya menuju gerobak. Ternyata, di dalam gerobak itu sudah ada dua orang yang keadaannya tak jauh berbeda dengan anak kecil dalam gendonganku ini. Atas perintah petugas kesehatan, aku meletakkan anak itu berimpit dengan yang lain. Aku tak tega melihatnya. Namun, beginilah keadaannya. Gerobak itu melesat jauh meninggalkan hiruk pikuk warga yang tengah terluka parah karena hanya warga yang benar-benar menderita luka parah yang di bawa ke posko pengobatan. Untuk penderita luka ringan cukup petugas kesehatan saja yang mengobati mereka.
Aku hendak kembali ke tempat tadi jika seorang bapak paetugas kesehatan tidak mencegahku.
“Di sana keadaan belum aman Nak. Sementara waktu, urungkan niatmu”.
Aku tertegun melihat bapak itu. Sepertinya ia petugas kesehatan karena di bajunya yang dikenakannya aku melihat tanda bulan sabit merah. Di bagian baju yang lainnya aku melihat bordiran nama. Mungkin itu nama beliau. Aku mencoba membacanya dari kejauhan , M-U-S-A. Musa. Ya nama bapak itu Musa.
Benar apa yang bapak itu katakan. Tak beberapa lama setelah itu Ibrahim datang mengabarkan bahwa situasi di Yogyakarta sedang tidak aman. Belanda akan kembali membabi buta. Aku teringat sebuah peristiwa yang aku alami di malam itu. Palestina.
§
“Sekarang kau berada di pantai timur laut Mediterania. Di sebelah Selatan, Timur dan Utara sana adalah negara Israel. Ya, negara itu yang mengusik ketenangan kami. Kemudian di barat daya sana ada negara Mesir,” ia menjelaskannya padaku sembari mengacungkan jarinya ke arah yang ia tuju. Aku hanya mengangguk karena sejatinya aku masih takut dengan kubangan darah dan potongan tubuh manusia yang aku temui di sepanjang perjalanan kami.
“Aku belum begitu paham di mana aku berada Yusuf”.
Ia mengambil nafas. Lalu menarik lengan bajuku yang kebesaran. Aku membuntutinya di belakang.
“Beit Lahia dan Beit Hanoun terletak di sebelah timur laut kota ini. Penduduk di sini berjumlah sekitar 1,6 juta jiwa. Namun, 1 juta jiwa di antaranya merupakan pengungsi seperti aku ini. Kamu tentu sering mendengar kata G-A-Z-A bukan?,” ia mengeja kata itu. Aku tak menjawab sedikitpun. Aku hanya mengangguk pelan, dan berharap bahwa tempat ini bukanlah tempat yang ia katakan tadi. Semoga saja tempat ini bukan Gaza.
Ia menjelaskan panjag lebar tentang Gaza. Namun, tak banyak yang aku tahu dan yang dapat aku pahami adalah bahwa aku saat ini berdiri di atas tanah Gaza. Dari tayangan televisi hitam-putih yang aku tonton di rumah pakdheku, jalur Gaza merupakan jalur yang kurasa kurang aman. Perang Gaza yang seingatku terjadi pada dua008 silam telah menimbulkan banyak korban jiwa. Roket-roket yang diluncurkan Israel telah membuat banyak bangunan-bangunan di Palestina hancur. Sangat tidak imbang rasanya perang itu. Israel menderu-deru di udara lalu melemparkan roket di mana pun mereka inginkan. Sedangakan Palestina, hanya mempunyai bom yang terbuat dari bahan seadanya, yang tentunya daya ledak yang ditimbulkan tak sebanding dengan roket dan bom molotof yang dikeluarkan Israel untuk menghancurkan negara mereka. Menghancurkan sudaraku. Saudara muslimku.
Bagian Enam
Gemercik air di sungai yang masuk ke telingaku menarik perhatianku. Aku sangat menyukai sungai. Ternyata tak hanya aku saja yang menyukai sungai. Di bawah sana sudah ada anak-anak seusiaku yang tengah asyik dengan jalanya.
“Mriki mas. Dolanan sareng-sareng,” ia mengajakku tanpa meninggalkan konsentrasinya ke pada kail pancingnya yang sepertinya tak lama lagi aka disambar ikan. Ke sini mas. Bermain bersama.
Benar saja. Sebuah ikan Bethik jumbo mengepak-ngepak di kail pancingnya. Seketika, anak-anak lain yang tengah asyik dengan kesibukannya masing-masing segera mengrumuni, mengamati ikan kecil yang malang yang baru didapatkannya. Sepertinya, melihat ikan terperangkap kail merupakan komoditi yang langka bagi mereka.
“Nggih,”aku turun dan ikut mengerumuni ikan malang itu.
Aku duduk di sebelahnya. Bertanya banyak hal kepadanya. Tentang sekolahnya.
“Kamu sekolah di mana,” aku memulai pembicaraan ini.
Ia menatapku. Di matanya tampak ada guratan rasa kecewa dan sedih. Namun, aku tak mampu menafsirkannya.
“Kula boten sekolah, Mas. Boten kenging”.Saya tidak sekolah. Tidak boleh.
Aku tersentak. Bukankah semua anak wajib mengenyam bangku sekolah. Tidak boleh?. Siapa yang melarang.
“Kenapa tidak boleh?”
“Mereka,” ia menunjuk pada segerombolan tentara Belanda yang tengah mengawasi warga bekerja. “Mereka tidak mengizinkan kami untuk merasakan nikmatnya mengenakkan seragam sekolah Mas. Hanya keturunan bangsawan saja yang diperbolehkan untuk merasakan hal itu”.
Aku diam. Aku lupa bahwa aku sekarang berada di masa penjajahan Belanda. Ah, ada apa ini sebenarnya. Namun, dari mereka aku belajar sebuah rasa syukur atas nikmat dan hidbapak-Nya. Mereka mengingatkanku dengan saat-saat itu. Saat aku bersama mereka yang di sana. Di sana? Entahlah.
§
Masih aku ingat benar kenangan masa itu. Kala itu kalau tidak salah ingat aku mengenakkan celana putih berstelan dengan baju putih dengan aksen mobil-mobilan pada bagian kiri serta sedikit sentuhan sablon bertuliskan “F1” pada bagian punggung. Sepatu hitam legam serta kaos kaki putih dengan gambar mobil menimbulkan pandangan tegas. Tak lupa pula tas bergambar Power Ranger dan gantungan kunci bergambarkan Dipsy yang aku letakkan di punggungku menambah kesan khas anak Taman Kanak-Kanak. Aku melangkah dengan langkah tegap khas tentara-tentara Indonesia yang kerap aku tonton di televisi.
Saat aku masuk ke ruang kelas banyak teman-temanku yang sedari tadi telah duduk manis sembari ditemani orang tua mereka. Mungkin diantara mereka hanya aku yang berangkat ke sekolah seorang diri. Jarak dari rumah menuju sekolahku yang hanya 3 m menjadikan aku tidak mempunyai alasan konkret untuk meminta orang tuaku menemaniku ke sekolah. Saat-saat aku menjadi siswa taman kanak-kanak 5 tahun silam.
Aku sangat menikmati masa-masa itu. Saat aku pertama berkenalan dengan seorang temanku. Namanya Fikri. Aku kemudian duduk semeja dengannya. Namun, setelah 1 minggu sekolah, Fikri keluar. Tak banyak yang aku ingat dari masa-masa itu. Aku hanya ingat bahwa aku mengenyam bangku Taman Kanak- Kanak selama dua tahun. Hal itu tentu bukan karena aku malas belajar sehingga aku tidak naik kelas. Namun, karena bapakku belum mengizinkanku. Bapak masih meragukan kemampuanku.
Mengetahui anaknya telah mampu menjadi siwa sekolah dasar atau mungkin bapak kasihan melihatku terus-terusan menjadi siswa taman kanak-kanak, akhirnya bapak mengizinkanku untuk mengenakkan seragam merah hati itu. Hari-hariku di Sekolah Dasar begitu indah. Jarak rumah dari sekolahku sekarang tak sedekat jarak TK dengan rumahku. Membutuhkan sepeda sebagai alat transpotrasi untuk sampai di sana. Walaupun sebenarnya ada angkutan umum yang dapat aku tungganggi, Tapi, mengingat perekonomian negaraku yang kian memburuk bersepeda adalah pilihan yang tepat karena selain aku bisa menghemat omset uang saku Rp dua000 per harinya, tubuhku juga akan menjadi kekar dan sehat.
Lelah yang terasa setelah pulang sekolah hilang seketika ketika aku bertemu dengan sawah, sungai, dan lumpur. Setiap kali setelah aku meletakkan tas sekolah, menggantung baju sekolahku, sholat, dan makan, mereka adalah tempat peraduanku hingga adzan Ashar bergema, dengan ditemani sapi kesayanganku aku siap memulai peraduan dengan sejuta senyuman, mengusik ketentraman cacing adalah kebahagiaanku, mengurangi populasi ikan hampir ku lakukakan setiap hari sebelum aku berangkat ke TPQ, terkadang kala jiwa malas ala anak-anak muncul aku baru beranjak ketika matahari mulai tergelincir. Dan TPQ bayangannya hilang karena kujadikan umpan pancingku.
Namun, lambat laun aku sadar bahwa aku harus memikirkan masa depanku. Ketika do’a, ikhtiar, dan ambisi berpacu dengan waktu akan menghasilkan sesuatu yang indah. Hukum Rheiyn yang sangat membantu untuk menumbuhkan motivasiku. Hingga akhirnya di semester-semester akhir aku sekolah aku mampu mempersembahkan peringkat 1 untuk ibuku. Aku sangat bahagia kala itu.
§
“Raihan… Raihan… Raihan”.
“Iya”. Dari kejauhan nampak Ibrahim tengah kebingungan mencariku. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat.
“Untunglah kau di sini, Aku sangat mengkhawatirkanmu,” dia mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih., jarinya yang tinggal 4 membuatku terasa aneh ketika ia mengelus-elus kepalaku. Namun, kasih yang disampaikan tak aku ragukan sedikitpin.
“Maaf Ibrahim. Aku telah membuatmu khawatir”.
Ia tak menjawabnya. Ia hanya mengangguk dan berkedip. Mungkin, sekarang matanya telah dapat menemukan ekspresi.
Ibrahim mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota Budaya ini. Di sepanjang perjalanan Ibrahim selalu menjelaskan apa pun yang aku belum tahu. Semuanya, dan aku selalu kagum dengan hal-hal yang baru aku lihat.
Aku tertegun pada sebua tempat. Pusat kerajinan dan aneka makanan khas Jogja. Geplak –makanan dari Jogjakarta yang terbuat dari serutan kelapa dengan gula-. Malioboro.
§
Cicak. Lagi-lagi cicak itu membuatku terbangun. Memicingkan mataku, memiringkan badanku beberapa derajat, mendongakan mataku. Namun, aku tak jua menemukannya. Hanya bulatan putih dngn frame hitam yg terlihat, itu pun terlihat samar-samar. Tak ada jalan lain. Kusambar kaca mataku di meja, ku terapkan di mataku, terasa pas, aku lirik bulatan putih yg menggntung di atas pintu kamarku. Jarum yang panjang menunjuk pada angka 6 dan yang pendek menunjuk pada angka 1. Masih pagi. Mungkin aku masih bisa meneruskan peraduan mimpiku.
Aku berguling dari satu sisi kasur ke satu sisi kasur lainnya. Mencari celah jika-jika ada bagian yang dinginnya tidak menembus pori-pori kulitku dan siapa tahu aku bisa melanjutkan peraduan mimpiku. Namun, naas tidak ada 10 cmdua bagian pun dari 3 mdua luas kasur ini yang terdapat celah itu. Akhirnya pagi ini aku mengakhiri peraduanku ke dunia mimpi lebih awal dari biasanya.
Dan sepertinya ibu pun telah menunggu putra sulungnya segera mengakhiri peraduan mimpinya. “Han, bangun!”.
“Nggih Bu”.
Sembari menunggu kesadaranku terkumpul penuh, aku mencari arah datangya sinar jam sembari membalutkan selimut ke tubuhku. Pagi ini udara sangat dingin, hal ini sangat mengganggu untuk anak berkulit tropis sepertiku. Jika menuruti kata hati, aku akan tetap membalutkan selimut ini ke tubuhku, merebahkan kepalaku ke bantal, memejamkan mata, dan melanjutkan peraduanku di dunia mimpi yang baru saja aku bangun. Namun, kiranya aku harus mengurungkan niatku tersebut karena hari ini aku akan pergi study toer bersama teman-temanku. Study toer yang mungkin menjadi study toer pertama dan terakhirku. Sejatinya, bapak sama sekali tak mengizinkan aku mengikuti study toer ini. Biaya menjadi alasan yang sangat signifikan dalam hal ini. Namun, setelah ibu membujuk bapak, akhirnya bapak mengizinkanku mengikuti study toer ini. Entah bagaimana ibu membujuk bapak. Hanya ibu yag mampu meluluhkan hati bapak. Ya, hanya ibu seorang.
Aku segera bergegas mengambil air wudhu. Aku tarik tutup yang melekat pada pancuran. Jari kelingkingku menyentuh air itu dengan segera sensasi dingin menyebar hampir ke seluruh tubuhku. Aku semakin menggigil, gigi-gigiku saling beradu dan menghasilkan harmoni yang syahdu. Namun, harmoni yang syahdu itu kiranya membuat ibuku terhentak. Ibu keluar dari dapur dengan jaket tebal yang membalut tubuhnya. Nampak ibu pun kedinginan pula. Ibu menatapku dengan penuh cinta kasih. Aku semakin mempercepat langkah, aku tidak tahan lagi dengan udara yang kini menyelimuti rumahku.
Pagi ini aku pun tak berlama-lama memandang kilauan bintang di langit. Selain aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku ini, nampaknya bintang pun merasakan dingin yang aku rasa. Hanya ada beberapa butir bintang saja yang masih bertugas menyinari malam ini. Aku pun segera bergegas kembali ke kamar. Kugaet sarung di dalam almari. Aku gelar sajadahku dan mulailah aku bersembahyang.
Setelah bacaan salam yang terakhir, aku tak bergeming sedikit pun dari tempat ku duduk. Posisi dudukku pu tak ku ubah. Aku menundukan kepala. Sebentar-sebentar bacaan tasbih aku baca. Jari-jariku memegangi ruas jari-jariku, menghitung berapa bacaan tasbih yang telah aku baca. Aku lipat kembali sarung yang baru saja aku gunakkan untuk sholat.
“Raihan, ayo bantu Ibu”.
“Iya Bu”.
Seperti biasa, aku mempunyai kewajiban mutlak yang harus aku kerjakan setiap hari, yaitu membantu ibuku. Mempunyai dua anak laki-laki membuat ibuku tak ada yang membantu pekerjaan rumah. Namun, sebagai anak sulung aku seakan dituntut untuk menjadi contoh bagi adikku. Maka dari itu, sejak kecil bapak sudah melatihku melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Walaupun, aku baru bisa membantu ibu mencuci piring dan menyapu.
Pagi ini bukit gerabah yang kotor akibat sisa makanan telah siap menunggu sentuhan tangaku untuk membersihkannya. Aku duduk dengan kursi kecil buatan bapakku. Aku masih ingat waktu itu bapak membuatnya dari kayu sisa untuk membangun rumah nenekku. Dulu, kursi ini begitu berat, mengangkatnya saja aku harus mengerahkan seluruh tenagaku. Namun, lambat laun bobotnya semakin berkurang, mungkin karena terlalu sering terkena air. Lumut-lumut yang tumbuh di sekeliling tubuhnya juga dapat menjadi alasan yang signifikan mengapa bobotnya berkurang.
Udara yang dingin membuat gigi-gigiku semakin menciptakan harmoni yang syahdu. Aku mulai pekerjaanku hari ini dengan bacaan Basmallah terlebih dahulu. Seperti yang bapak ajarkan kepadaku.
Udara dingin belum juga berkurang saat aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah itu. Semua piring yang tadi menggunung kini tidak ada lagi. Aku membersihkan sisa-sisa sabun yang ada di lantai. Dinginnya air seperti tak terasa lagi olehku.
“Han, mandi. Setelah itu makan. Sudah siang”.
“Nggih Bu,” aku menjawab perintah ibuku sambil berlari menyambar handuk yang tergantung di jemuran baju. Aku sangat bersemangat menyambut hari ini. Study toer bersama teman-teman.
Semua yang akan aku bawa telah aku persiapkan sejak semalam. Tentunya bukan aku yang mempersiapkannya sendiri, melainkan dengan bantuan ibuku, bahkan lebih tepatnya ibuku yang mengemasi semua barang-barangku. Di dapur, ibu pun tengah mempersiapkan bekal untuk aku bawa. Sejatinya kata pak guru di sana pun ada banyak penjual makanan yang siap sedia melayani pembeli, dan tentunya itu tidaklah gratis. Harus ada balas jasa sebagai imbalan atas masakan yang telah dimasaknya. Namun, tak banyak lembaran rupiah yang ada dikantongku, ibu hanya membekaliku dengan satu lembar uang berwarna hijau. Itu pun, 1 lembar warna merah harus wajib ada dikantongku saat aku pulang nanti.
Aku telah rapi dengan baju merah dan celana putih sebagai seragam identitas sekolahku. Sabuk hitam yang kini tak lagi berwarna hitam melingkar di pinggulku. Tas lusuhku pun tak lupa pula aku bawa. Ia nampak gagah bertengger di punggungku. Rambutku telah ku sisir rapi.
“Ibu, bekal yang di bawa Raihan mana Bu?,” aku kembali melakukan hal yang aku rasa sangat tidak sopan. Namun, aku tetap saja melakukannya.
“Iya Han, sebentar”.
Tak lama berselang ibu pun datang dengan membawa tempat nasi yang tentunya di dalamnya telah berisi makanan yang akan aku antap siang nanti. Aku mengeceknya.Aromanya begitu menggoda. Telur dadar, mie goreng, dan satu lagi kesukaanku. Kecap. Sendok pun telah berada di dalamnya. Satu botol penuh air putih telah siap melayaniku saat dahaga menyerang kerongkonganku. Aku memasukkan itu semua ke dalam tas lusuhku. Tas ini sudah berumur hampir 6 tahun, jadi tak heran jika hanya tersisa 1 resleting yang masih mampu menutup dengan baik.
Aku ambil sepatuku di pojok ruang tamu. Aku duduk dan mengenakannya. Saat aku memasukan kakiku ke dalam sepatu, ibu jariku tampak menyebul dari ujungnya. Menandakan bahwa sepatu ini sudah tak mampu lagi menampung ukuran kakiku. Nampak sangat lusuh sekali sepatuku. Sudah lama aku tak mencucinya karena aku takut jika aku mencucinya lem-lem yang telah mengelupas di beberapa bagian septuku akan mengelupas semua dari sepatuku. Aku membersihkan sepatu itu dengan tanganku. Memang tak bersih. Namun, cukup lumayan jika di bandingkan dengan keadaanya tadi. Setidaknya warna hitamnya sedikit tampak.
Aku segera bergegas ke sekolah. Seperti biasa sebelum berangakat, aku selalu berpamitan kepada bapak dan ibu, tak lupa pula aku mencium tangan mereka. Aku meminta do’a restu kepada mereka agar aku diberi kemudahan dalam menerima pelajaran. Ibu selalu tersenyum. Bapak pun demikian. Namun, senyum ibu terasa lebih manis dari pada senyum bapak. Ismail pun tak lupa ikut bersalaman dan mencium tanganku.
“Hati-hati ya Mas,” sambil mencium tanganku, ia berbisik kepadaku demikian.
Aku membalasnya dengan senyuman.
Setelah berpamitan, aku segera bergegas ke sekolah. Menunggangi sepedaku menuju ke tempat di mana aku hendak naik angkot dan bersiap menembus keramain untuk segera bertemu dengan teman-temanku.
Sesampainya aku di sekolah, sebagian teman-temanku telah datang. Sama seperti aku, mereka pun telah siap dengan bekal yang cukup. Kami berbincang-bincang tentang apa yang kami bawa, tentang apa yang nanti akan kami beli di sana sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Tentang apa yang akan mereka ceritakan kepada kedua orang tua mereka di rumah saat pulang nanti. Aku ikut mengutarakan pendapat dalam perbincangan itu. Tentang bekal apa yang aku bawa. Tentang apa yang akan aku ceritakan kepada kedua orang tuaku dan saat aku sampai di rumah nanti. Namun, ketika mereka membicarakan tentang apa yang nanti akan kita beli di sana sebagai oleh-oleh untuk bapak, ibu, adik, dan keluarga, aku tak ikut membicarakannya. Aku lebih memilih diam. Aku merasa lebih baik jika aku diam.
Setelah beberapa lama kami berbincang-bincang, bis yang akan membawa kami akhirnya tiba. Pak guru pun segera menyuruh kami masuk ke dalam bis. Setelah semuanya berada di dalam bis, bis pun segera melaju. Menembus keramaian kota. Seperti biasa, baru beberapa km bis berjalan, kantuk menyerangku dan aku pun terlelap.
Aku merasa nyaman dengan tidur ini karena dengan tidur ini, aku tak perlu mengeluarkan makanan camilan selama perjalanan. Bukan aku pelit, tetapi aku tidak membawanya.
Mataku terbuka ketika sorotan mentari mengenai mataku. Aku melihat-lihat suasana di sekelilingku. Hening. Sebagian besar teman-temanku tertidur. Termasuk Fikri yang duduk di sebelahku. Aku mengamati jalan yang kami lalui. Di sebelah utaraku, mungkin utaraku karena aku tak tahu ke arah mana bis ini melaju. Namun, aku merasa bis ini berjalan ke arah timur. Aku melihat sebuah gunung yang tinggi menjulang, di puncaknya tampak hamparan kabut atau mungkin asap yang membumbung tinggi ke udara. Subhanallah.
Aku melihat jam yang menggantung di depan. Dari arah jarum yang ditunjukkan, menunjukkan pukul 09.00.
“Ya, anak-anak sekarang tolong bangun. Sebentar lagi kita akan sampai di objek wisata Cangkringan,” suara pak guru menggema. Membuka berpuluh pasang mata yang telah terlelap cukup lama.
Sebagian dari mereka telah mampu mengumpulkan hampir lima-puluh persen kesadarannya. Namun, ada pula yang masih mengucek-ngucek matanya. Bahkan, ada pula yang belum bangun. Beruntung, aku masuk dalam bagian yang telah bangun dari tadi.
Aku melihat dengan dekat sebuah gunung yang selama ini menjadi bahan pembicaraan banyak orang di dunia karena kelakuan nakalnya saat akan memuntahkan isi perutnya. Puncaknya pun tak pernah absen dari kepulan asap yang membumbung tinggi di angkasa. Aku takujub melihatnya. Subhanallah.
Sementara kami terkagum-kagum dengan keindahan Merapi, di luar pak guru nampak gusar ketika tengah berbincang-bincang dengan bapak tua itu. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku pun tak tahu siapa bapak tua itu.
Cukup lama pak guru bercakap-cakap di luar. Entah apa yang mereka perbincangkan hingga akhirnya pak guru mengabarkan bahwa kami harus meninggalkan Cangkringan. Meninggalkan Cangkringan tanpa menginjakkan kaki sedetik pun di atas bumi Cangkringan. Itu lah, anak kecil selalu saja dilarang melakukan hal-hal orang dewasa.
Gurat kekecewaan jelas tergambar di wajah kami. Terutama Fikri, ia nampak gusar karena ia telah jauh-jauh hari mempersiapkan hal-hal yang akan dilakukan di atas bumi Cangkringan. Setahuku, ketika ia sampai di Cangkringan, ia akan mengambil debu vulkanik di Cangkringan dan mencari tahu di mana rumah mbah Maridjan.
Bis melaju dengan cepat meninggalkan Cangkringan saat keskecewaan tak dapat kami bendung. Kami masih ingin melihat Cangkringan. Setidaknya itu kata hatiku. Mungkin juga kata hati teman-temanku.
Kembali. Seperti biasa, aku selalu saja tertidur saat melihat pohon-pohon berjalan mengiringi perjalanan kami. Dan sepertinya teman-temanku pun ikut merasakan hal yang sama. Dan kami pun tidur.
“Anak-anak ayo bangun,” ya, suara pak guru selalu saja membangunkan kami. Kali ini aku termasuk dalam kumpulan yang mengucek-kucek matanya.
Pak guru menyuruh kami untu segera turun dari bis. Tepat di pelataran sebuah kebun binatang. Kami berbaris terlebih dahulu sebelum memasukki kebun binatang itu. Setelah semuanya siap, pak guru menyuruh kami masuk dengan tertib.
Di dalam, kami melihat berbagai macam binatang. Aku terkagum-kagum dengan yang aku lihat. Biasanya, di rumah hanya sapi yang selalu aku lihat. Sepertinya, bagiku tiada hari tanpa sapi. Namun, aku menyukainya.
Cukup lama kami berkalan-jalan dan melihat berbagai macam satwa di kebun binatang ini. Sekarang waktunya Sholat Dzuhur. Kami kemudian mencari mushola dan sholat berjama’ah. Setelah selesai sholat kami disuruh masuk ke dalam bis dan melanjutkan ke tujuan terakhir.
“Ya, anak-anak sekarang kalian bisa makan bekal yang telah kalian bawa dari rumah tadi,” pak guru mempersilahkan kami makan siang.
“Baik Pak guru”.
“Namun, sebelum makan jangan lupa berdo’a ya,” bu Salamah guru agamaku menambahkan.
“Baik Bu”.
Acara makan siang pun di mulai. Aku mengambil bekal yang telah disiapkan ibuku untukku tadi pagi. Aku membukanya. Di tutup tempat makan nampak butiran-butiran seperti embun. Aku melihat ada nasi goring dan telur dadar kesukaanku. Aku sangat menyukainya. Aku menikmati makan siangku dengan penuh hikmat.
Pas. Setelah kami selesai makan, kami tiba di pusat perbelanjaan yang sangat terkenal. Malioboro.
“Ya, sekarang kalian boleh membeli apa pun yang kalian inginkan. Namun, kalian harus tetap bersama rombongan kalian,” pak guru menjelaskan mekanismenya.
Kami semua mengangguk. Lalu, pak guru membagi kami menjadi 4 kelompok. Aku masuk dalam kelompok satu dan bu Salamah sebagai penanggung jawab kami dan mulailah kami berbelanja. Berbelanja? Itu kebiasaan kaum hawa.
Tak banyak yang ingin aku beli, ya tentu karena tak banyak pula uang yang mendiami sakuku. Aku ingin membeli makanan yang kira-kira harganya murah , enak, dan jumlahnya banyak.
“Mas, geplak mas”.
Mataku tertuju pada setumpukkan gula-gula berwarna-warni. Geplak. “Berapa harganya Pak?”.
“Mau beli berapa kilo Mas?.
Kilo? Tak terpikirkan di benakku jumlah kilo geplak yang akan aku beli. “5.000 boleh Pak?,” aku berharap agar aku bisa membelinya.
“Oh boleh Mas. Sebentar saya bungkuskan”.
§
Bagian Tujuh
Ibrahim mengajakku ke sebuah posko pengobatan. Di sana aku melihat banyak orang yang telah datang. Di sana tidak ada bangunan megah tempat mereka bernaung dari terik matahari atau pun untuk menghindari dinginnya malam. Mereka hanya dilindungi oleh kain yang ujung-ujungnya tertambat pada patok kayu yang ditanamkan di dalam tanah. Di sana juga tak ada peralatan canggih untuk membantu mereka, tak ada dokter ahli di sana. Mungkin, hanya alat suntik alat tercanggih di sana.
Pada umumnya, sebagian dari mereka mengalami luka akibat kebengisan para ninok-ninok Belanda. Ada yang kepalanya bocor, kakinya robek, dan satu lagi yang membuatku terus memegangi ibu jari kananku, yaitu anak kecil berkaos merah itu, aku melihat betapa ia menahan sakit. Sakit yang pernah aku rasakan.
§
“Ya, Ibu rasa persiapan untuk pementasan drama sabtu depan sudah sepenuhnya siap. Kita hanya perlu mempersiapkan fisik dan mental agar penampilan kita sabtu depan dapat memukau semua hadirin,” bu Tri mengakhiri latihan drama Jum’at sore ini.
“Aamiin,” kami serentak menimpalinya sambil mengusapkan kedua telapak tangan kami ke muka.
Aku melirik jam yang menggantung di kelasku. Pukul 14.00. Aku ingin segera pulang. Namun, sebelum pulang aku sempatkan diriku untuk ke toko mainan di ujung pasar sana. Besok adalah hari ulang tahun adikku. Aku berniat ingin menghadiahkan sebuah mobil-mobilan untuk adiku. Aku membelinya dari uang jajanku yang memang sengaja aku kumpulkan sejak 3 bulan lalu. Aku tahu adikku sangat menginginkannya.
Adikku memang tak mengatakannya secara langsung kepadaku dan juga tidak ada bukti otentik yang menyatakan bahwa adikku menginginkan mobil-mobilan itu. Namun, saat adikku melihat Ulil temannya memainkan mobil-mobilan barunya, dari matanya jelas kentara keinginan untuk memilikinya. Keadaan ekononomi keluargaku kiranya menjadi alasan yang konkret mengapa adikku tidak mengutarakan keinginannya kepada ibu dan bapak kami.
Jarak toko itu dari sekolahku tidak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu 5 menit aku sudah sampai di pelataran tokoh itu. Baru masuk saja aku sudah disapa dengan senyuman manis milik pak satpam. Dari bajunya bapak itu bernama Luth. Ya, seperti nama Nabi Allah.
“Mari Mas, ada yang bisa Kami bantu,” seorang pelayan dengan ramah menyapaku dan menayakan maksud kedatanganku.
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya tersenyum. Seperti biasa, aku selalu kagum dengan hal yang baru aku lihat. Aku ingat saat aku pergi ke swalayan bersama Fikri kala itu.
“Ah, payah kamu Han, kaya orang ndeso,” pernyataan itu yang sering Fikri timpalkan saat berpergian denganku.
Dengan santai aku pun menjawab, “Ya wong pancen Aku wong ndeso”. Fikri hanya terkekeh mendengarnya. Memang aku orang desa.
Aku berjalan menyusuri koridor-koridor tokoh itu. Mencari-cari mungkin ada mainan yang sesuai dengan hati dan harganya pun sesuai dengan kantongku. Cukup lama aku memilih, menimang, dan mencari. Di ujung koridor itu, di dalam bungkusan plastik yang nampak sangat kumal, di bagian paling bawah tumpukan mainan itu, akhirnya aku menemukannya. Mobil-mobilan seperti milik Ulil.
“Untukmu Ihsan, hanya untukmu,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku menatap mainan itu dengan penuh hikmat. Menimbang-nimbang kisaran uang yang harus aku keluarkan untuk membayarnya. Aku berharap uang tabunganku masih sisa untuk membelinya, sejatinya aku mengumpulkan uang itu untuk biaya masuk SMP tahun depan, itu pun jika aku dapat mengerjakan soal ujian dengan baik. Dan aku selalu berharap aku dapat naik kelas.
“Mbak, bisa tolong ambilkan mainan itu,” pintaku pada seorang pelayan tokoh sambil menunjuk pada tempat mainan itu bertengger.
“Iya Mas, sebentar”.
Aku mengangguk pelan. Aku mengamati mainan-mainan yang ada di sini. Naluri seoarang anak kecil akan mainan sangatlah besar. Andaikan aku mampu membeli ini atau pun jika aku dipinjami mainan seperti ini, hatiku sangatlah bahagia. Namun, asaku rasanya asa yang tak mungkin untuk ku angankan. Ya, seperti yang telah ku jelaskan tadi, keadaan ekonomi keluargaku menuntutku untuk memendam asa itu.
“Maaf Mas menunggu lama,” sapaan pelayan itu membuatku kaget. “Mainan yang ini Mas?.
“Iya Mbak,” aku menganggung pelan.
Aku menerima mainan itu. Berat. Debu-debu yang beterbangan membuatku bersin. Kemudian pelayan itu membawa kemoceng dan membersihkannya. Dalam hati aku bergumam. Wah tampak begitu megah.
Aku minder. Aku semakin merasa bahwa aku tak mampu membelinya. Benar saja.
“Ini, sekitar 150.000 Mas”.
Deg … deg, jantungku berdegup begitu kencang, kemampuan memompa darah ke suluruh bagian tubuhku seakan lepas kendali, hingga mungkin banyak darah yang terbuang. Seperti saat aku mengisi penuh emberku saat aku hendak mandi, sebagian ada yang tumpah, tetapi ini kiranya banyak sekali darahku yang tumpah. Wajahku pucat pasi.
Dengan berat hati aku mengatkan, “Oh, ya sudah Mbak, terima kasih”. Lalu aku pergi tanpa mengantongi mobil-mobilan itu.
Aku menatap matahari yang kian condong ke barat. Namun, aku belum juga mengantongi mobil-mobilan untuk Ismailku tersayang. Akhirnya, aku putuskan untuk membeli di pasar saja. Sebenarnya, aku tak ingin membeli di pasar karena barangnya tak sebagus di toko. Namun, di toko harganya tak sebagus di pasar untuk kalangan sepertiku.
Kakiku melangkah dengan pelan. Membayang-bayangkan mainan tadi. Membayangkan wajah Ismail berbinar-binar setelah menerima mainan tadi. Membayangkan Ismail tertawa memainkannya. Mendekapnya saat ia tidur. Membersihkannya jika ada bagian yang kotor. Aku membayangkan semua itu terjadi. Namun, entahlah.
Cukup lama aku berjalan mengelilingi pasar ini. Perhatianku tertuju pada segerombolan anak seusia Ismail tengah mengerubungi sebuah toko. Aku pikir ini sebuah toko mainan. Ya, memang benar ini toko mainan. Di koridor-koridor tokoh ini banyak sekali mainan yang terpajang. Namun, tak ada mainan yang seperti di toko tadi. Meskipun, harganya pun sangat sesuai dengan kantongku.
Aku merasa puas berada di sini. Tiba-tiba, ada seonggok mainan yang membuatku tak mampu memalingkan mataku darinya. Aku jatuh hati padanya. Pada mainan itu. Sebuah mobil-mobil dengan panjang kira-kira dua0 cm dengan aksen api yang terletak pada pintu aku rasa cukup untuk menggantikan mobil-mobilan tadi. Dan satu lagi, mobil-mobilan ini bertenaga batrai, yang digerakkan dengan menggeser tombol on off dan mengikuti ke mana mobil ini pergi tidak seperti mobil-mobilan di toko tadi, hanya dengan menggerakkannya dengan remot control mobil-mobilan itu akan berjalan sesuai keinginan kita tanpa harus mengawalnya.
Aku ingin meminangnya. Aksi tawar-menawar pun di mulai. Beberapa praktik tawar-menwar yang aku dapatkan dari ibu saat menemani beliau ke pasar aku praktikan. Cukup lama perseteruan sengit itu berlangsung. Hingga akhirnya aku ditetapkan sebagai pemenangnya. Dan akhirnya pula perburuan kado untuk ulang tahun Ismail aku akhiri. Aku merasa puas.
Tak begitu jauh jarak pasar dengan terminal. Hanya butuh waktu untuk melangkahkan kaki selama kurang lebih 3,5 menit aku sudah tiba di terminal. Di sana, tampak beberapa angkutan yang mungkin telah menantiku. Aku memilih angkutan yang akan aku naiki untuk mengantarkanku sampai di rumah. Akhirnya, aku putuskan untuk naik angkutan warna biru. Warna kesukaanku. Bulu mata lentikku memayungi kelopak mataku yang hendak terkatup. Angin sepoi-sepoi selalu saja membuatku ingin tertidur. Dan akhirnya aku pun memang benar-benar tertidur.
Sepertinya kondektur angutan ini telah hafal benar denganku. Mungkin karena wajahku yang familier atau mungkin karena hobiku. Tidur di angkot. Kondektur itu dengan baik hati membangunkanku. Tentunya bukan karena tanpa alasan kondektur itu membangunkanku. Melainkan aku harus membayar biaya untu mengangkut tubuhku.
Aku menggiring sepedaku keluar dari tempat parkir, menyerahkan beberapa keping uang receh seratusan sebagai balas jasa kepada bapak tua atas kesediaanya menjaga sepeda bututku, lalu pergi dengan perasaan puas. Perjalanan pulang aku lalui dengan seyuman dan nyanyian yang hanya aku saja yang halal mendengarkannya. Nyanyian? Ya suaraku memang merdu (merusak dunia.red) jadi aku hanya mengizinkan aku saja yang boleh mendengarnya.
Semakin lama aku menyanyi semakin dekat pula aku dengan rumahku. Aku tetap menyanyi. Putaran roda sepedaku yang sedari tadi melaju dengan kencang entah mengapa sekarang menjadi pelan. Dari ujung sana aku melihat siswi SMA tengah asyik mengepak-kepakkan tangannya tanpa tahu bahaya yang mungkin akan terjadi. Dari arah yang sama, seorang siswa SMA mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Menabrak partikel-pertikel debu yang dilaluinya hingga bertebangan ke sana kemari. Dan apa yang aku takutkan kiranya akan terjadi. Sebuah kecelakaan. Kejadian tragis. Ah, untunglah tidak terjadi.
Namun, tiba-tiba kecelakaan itu, kejadian tragis itu.
“Astaghfirullah, Ibuuuuuuuuuuuu”.
Kejadian tragis, mengenaskan itu menimpaku. Aku. Ya, aku. Aku jadi pelaku utama dalam kecelakaan itu.
Aku hampir pingsan. Untung saja hampir. Melihat ibu jariku. Ibu jariku berdarah. Darahnya menetes di aspal. Aku melihat sebuah kejanggalan. Ibu jariku seperti tanpa kuku. Nampak putih. Aku takut. Takut membayangkan apa yang akan terjadi. Entahlah. Aku pejamkan mataku saja. Biarlah Ia yang mengatur.
“Wah, ini kayaknya kukunya terpaksa harus di buang Mas, tidak ada jalan lain”.
“Astaghfirullah,” aku tak kuasa menahan sakit ini.
“Beberapa bagiannya juga sobek Mas”.
Belum sempat aku menjawabnya. Tiba-tiba seorang perawat yang sepertinya tengah asyik mengotak-atik jempolku berbisik kepada temannya. “Tidak, kayaknya ini jempolnya lebih aman kalau diamputasi loh Mbak”.
Bagai tersambar petir. Saraf-sarafku seakan tak terhubung satu sama lain. Seketika itu bayanganku melayang kepada mobil-mobilan yang baru saja aku beli. Aku ingin membungkusnya dengan kertas koran yang telah aku siapkan sejak semalam, aku ingin menulis ucapan selamat ulang tahun dan aku ingin mengungkapkan harapan-harapanku kepada Ismail. Aku ingin menghadiahkannya kepada adikku malam ini, tepat pukul 00.00. Aku ingin melihat perubahan rona wajah adikku dari jengkel karena aku bangunkan tengah malam menjadi rasa penasaran dan bahagia. Senyum adikku. Ah, aku tak mampu membayangkannya.
Dan gambar-gambar yang bertengger dengan gagah di dinding kamarku. Yang setiap hari jumlahnya selalu aku tambah. Affandi idolaku. Lukisan-lukisanku di ruang guru. Cat air. Kanvas. Cat minyak dari guruku. Semua itu adalah sahabat-sahabatku. Lomba lukis itu. Aku sudah menunggunya selama hampir dua tahun. Selama itu aku berlatih demi menyambut kehadirannya, mengarapkan impianku dapat terwujud. Mengikutinya. Walaupun aku tak mendapatkan juara. Piagam itu. Hanya dengan piagam itu aku bisa membahagiakan ibuku, bapakku, Ismail, keluargaku. Ibu jariku, dia harus diamputasi. Benarkah?.
“Ah, ya Rabbi, jangan,” setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi aku pingsan. Mungkinkah aku bisa pingsan. Ya, kali ini aku memang benar-benar pingsan.
§
“Han, jangan melamun, ayo bantu,” Ibrahim mengagetkanku.
Aku mengangguk pelan. Aku membantu mengangkat korban yang terluka karena aksi brutal para penjajah itu. Terkadang aku juga membantu menjaga anak mereka yang menjadi korban atau pun yang sekedar berobat. Suasana di sana sungguh sangat memprihatinkan menurutku. Banyak darah yang berceceran di sana. Dan banyak pula mayat berserekan di sana. Aku tak sampai hati melihatnya.
“Maturnuwu sanget Mas,” ibu anak yang dititipkan kepadaku hendak mengambil anaknya dariku. Kiranya ia telah selesai berobat.
“Nggih Bu, sami-sami,”aku menjawab dengan senyuman termanisku.
Sejatinya aku hendak menanyakan mengapa ibu paruh baya itu berada di sini, di daerah yang sama sekali tidak menjamin keamanan, untuknya dan bayinya, di mana keberadaan suaminya, tega sekali menelantarkan anak dan istrinya di tengah-tengah suasana genting seperti ini. Apakah ia sudah tak menyayangi anak dan istrinya lagi. Ah, suami yang tidak bertanggung jawab pikirku.
“Andaikan Mas Broto masih hidup. Aku yakin ia tak menelantarkan aku dan bayi kami,”tatapan mata ibu itu begitu sangat sendu. Aku merasa bersalah telah berperasangka buruk kepada suaminya.
“Memangnya suami Ibu di mana?,” aku mencoba bertanya. Sejatinya aku merasa sangat malu karena telah berpikiran buruk kepada suami ibu itu. Walaupun ibu itu mungkin tidak mengetahuinya. Namun, Allah maha mendengar dan malaikat Atid sudah tentu telah mencatatnya. Ah.
Ibu itu menatapku. Menatapku seperti menatap anaknya. Begitu yang aku rasakan. Ibuku selalu menatapku demikian. “Andaikan anakku masih hidup. Mungkin sekarang sudah seusia denganmu”. Air matanya menetes. Bayi yang ada di dalam dekapannya melihatnya. Melihatnya menangis, ia mungkin berpikir mengapa ibunya menangis, bukankah yang diizinkan mendapat hak untuk menangis hanya dirinya saja? Sebuah pemikiran yang aneh menurutku. Menurut bocah kemarin sore yang tengah belajar memandang sebuah masalah dari kacamata orang dewasa.
Aku tak ingin bertanya lagi. Mungkin ibu itu akan bercerita sesuatu kepadaku. Mungkin tentang suaminya atau anaknya. Mungkin juga tentang suaminya, anaknya dan mungkin kehidupannya.
“Seingatku, pada saat itu hari Jum’at. Ya, aku masih ingat benar peristiwa itu. Seperti biasa aku bangun saat ayam berkokok. Aku yakin bahwa waktu Subuh telah tiba”.
Ayam berkokok? Waktu subuh? Aku tak mengerti. Ibu ini menyamakan bunyi kokok ayam dengan waktu subuh. Menurutku ini tidak akurat. Bukankah ada alat penunjuk waktu? Atau bunyi adzan mungkin? Seperti di desaku. Meskipun tidak ada yang melaksanakan sholat Subuh berjamaah di masjid. Tetapi, muadzin selalu mendendangkan adzan itu dengan merdu. Aku berdecak, bukan kagum melainkan heran. Namun, saat aku melihat para korban yang tengah merintih di tenda ini, aku segera mengingat bahwa sekarang aku di zaman kolonialisme Belanda. Zaman penjajahan. Mana mungkin ada alat penunjuk waktu atau adzan berkumandang di sini.
“Aku segera membangunkan suamiku dan mengajaknya sholat berjamaah. Waktu itu aku tengah mengandungnya,” Ibu itu menatap bayi mungil yang mungkin baru berusia 4 bulan di dekapannya. “Dan, Andi sengaja tak aku bangunkan karena aku melihat ia sangat lelah, iya sangat lelah. Mungkin ia juga tak ingin dibangunkan, mungkin juga ia memang tak ingin bangun lagi,” ia tersenyum menyebut nama itu. Andi. Kemudian mendesah. Sepertinya ia merasa lelah.
Lagi-lagi aku urungkan niatku untuk bertanya padanya. Entahlah.
“Seperti biasa, setelah sholat Subuh Mas Broto segera pergi ke sawah. Ah, kasihan kamu mas, kamu memang petani yang rajin dan handal” melihat anaknya menangis ia lalu menepuk-nepuk pantat anaknya. Dan bayi mungil itu pun diam. “Mas Broto tidak pernah merasakan sarapan setiap paginya, tak hanya suamiku tapi kami sekeluarga tidak pernah merasakan sarapan pagi karena memang aku tak memasak untuk itu. Bukannya aku malas tak mau memasak untuk suami. Namun, tak ada satu pun yang dapat aku masak. Satu biji beras pun hampir tak ada!”.
“Tapi, bukankah tadi Ibu bilang suami ibu pergi ke sawah? Di sawah tentu suami ibu menanam padi atau tanaman apa pun yang dapat dimasak bukan? Suami ibu juga merupakan petani yang rajin dan handal? Lalu mengapa ibu mengatakan tak ada satu biji padi pun yang dapat ibu masak untuk sarapan suami ibu? Untuk ibu dan anak ibu? Ckckck,” aku berdecak. Heran.
“Ya, suamiku memang petani yang rajin dan handal. Setiap musim panen hasil panenanya seperinya tak cukup jika disimpan di gubug reot milik kami. Namun, kenyataanya semua itu tak pernah dimasukkan ke gubug kami, bahkan dicoba dimasukkan pun tak pernah. Sekali pun. Semua hasil perasan keringat suamiku dirampas oleh mereka!,” ibu itu menunjuk pada segerombolan tentara Belanda yang nampak berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Dari raut wajahnya tampak ia begitu sangat membenci mereka.
“Mereka merampas semuanya tanpa menyisakan sedikit pun untuk kami”.
“Mengapa suami ibu merelakan itu begitu saja? Mengapa tidak mencegahnya? Bukankah itu hak Ibu dan suami ibu?,” kata-kata terakhir ibu itu tiba-tiba seakan meyulut emosiku.
“Jika kami bisa, kami pun akan lakukan itu Nak,” ibu itu pun sepertinya turut emosi dengan kata-kataku.
Aku merasa bersalah. “Maafkan saya Bu, saya tak bermaksud apa pun”.
Ibu yang belum aku ketahui namanya itu menghela nafas dalam-dalam dari hidungnya, lalu mengeluarkannya dari mulut. Begitu untuk beberapa kali. Entah berapa kali. Mungkin sampai ia merasa tenang.
“Ya, Ibu tahu. Maafkan Ibu juga Nak”.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Ia lalu membalas senyumku juga.
“Di sini, semua menjadi kekuasaan mereka. Semua wajib tunduk kepada peraturan mereka. Peraturan yang sungguh tidak rasional”.
Aku bingung mendengarnya. Pikiranku tak sampai jika aku terus mencoba memikirkannya.
“Kami dipaksa menanam padi atau rempah-rempah lainnya lalu mereka membelinya dengan harga yang sangat tidak sebanding dengan apa yang telah dikeluarkan. Keringat, tenaga, pikiran, dan ibu tidak memungkirinya, uang. Mereka tidak memikirkan semua itu. Bagi mereka semuanya harus diserahkan, semuanya, tak ada yang boleh disembunyikan satu biji pun dari mereka, jika memang besok pagi masih ingin melihat mentari terbit, jika tidak mereka dengan senang hati mempercepat jalannya mengahadap sang Khalik. Namun, terkadang kita masih memikirkan keluarga dan dosa-dosa kita yang belum sempat diperbaiki, anak kita yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Walaupun terkadang yang mati sejatinya terasa lebih beruntung dari pada kami yang masih hidup,” ibu itu menatap ke langit. Tatapnnya seperti tatapan tanpa harapan. Tatapan hampa. Tatapan kosong. Hanya air mata yang mengisi relung matanya.
“Sebegitunya kah Bu?”.
“Iya Nak. Mereka begitu bengis terhadap kami. Terhadap petani miskin seperti kami. Terhadap suamiku juga,” air mata yang membasahi relung matanya kian deras ketika ia menyebutkan kata suami.
“Benar apa yang aku pikirkan terhadap Andi. Ia memang tak ingin bangun lagi pada pagi itu dan untuk selamanya. Ia meninggal mungkin ia kelaparan karena dua hari sebelumnya hanya 1 gelas air putih yang dapat aku persembahkan untuk mengisi perutnya. Ia meninggal,” air matanya kian deras. “Naasnya, aku mengetahui hal itu ketika hari mulai beranjak siang. Mayatnya telah kaku dan membiru. Aku kasihan melihat mayatnya”.
Tiba-tiba air mataku pun ikut menetes. Aku teringat pada malam itu. Malam saat aku sakit. Waktu itu suhu tubuhku sangat tinggi. Sementara bapak tengah menunggu kakekku yang tengah skit keras di rumah sakit. Di rumah hanya ada ibu, aku, dan adikku yang kala itu baru berumur 6 bulan. Sepanjang malam ibu sangat mengkhawatirkanku karena aku tak dapat mengatakan sepatah kata pun saat ibu bertanya padaku. Tatapan mataku pun kosong. Sepanjang malam itu pun, ibu tak henti-hentinya mengompresku, mengelus-elus kepalaku dengan lembut, dan menjagaku sambil menenangkan adikku yang terus-menerus menangis. Saat malam kian larut, suhu badanku tak menunjukan penurunan yang signifikan, ibu semakin khawatir sehingga ia tak dapat tidur sepanjang malam itu. Ibu terus berdo’a di sebelahku, membisikkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di telingaku. Namun, aku belum juga dapat merespon itu semua. Aku tetap diam. Ibu menangis sambil terus berdo’a kepada Allah, tangannya yang lembut selalu membelai rambut dan tanganku. Ibu mengira aku telah tiada.
“Ah, Ibu dirimu memang tiada duanya,” aku mengatakkan itu dengan pelan, bahkan sangat pelan.
“Aku pun kemudian menyuruh tetanggaku untuk menjemput Mas Broto agar segera pulang. Kala itu sepertiya tak ada seonggok tulang pun yang menopang tubuhku. Aku sangat lemas. Aku tidak percaya,” ibu itu mengusap air matanya. “ Saat Mas Broto pulang, aku semakin tak kuasa menahan tangisku. Aku merasa sangat bersalah. Namun, Mas Broto selalu menenangkanku. Aku masih ingat nasihat terakhirnya ‘saat tiba waktunya, orang yang lagi jalan saja bisa mati’. Ah, nasihat itu masih begitu jelas terngiang di telingaku”.
“Dengan bantuan sanak saudara dan tetangga, ba’da Dzuhur jenazah Andi kami makamkan. Mas Broto sendiri yang menurunkannya ke liang lahat. Kata Mas Broto ini kewajiban terakhirnya sebagai bapak Andi, sejatinya kewajibannya adaklah melamarkan seorang wanita untuk Andi. Namun, kiranya Allah berkehendak lain,” ia mendesah.
“Pemakaman berjalan dengan hikmat. Namun, saat pembacaan do’a penutup. Tiba-tiba para nino-ninok Belanda dating dan mengatakan bahwa Andi tak sepantasnya dimakamkan di pemakaman ini. Menurut mereka ini pemakaman khusus untu para bangsawan seperi mereka,” nada bicaranya menampakkan kebencian saat menyebut kata ninok-ninok Belanda.
“Sebagai seorang bapak, Mas Broto sangatlah tidak tega dan rela jika jenazah anaknya yang belum genap satu jam dimakamkan haru dibongkar. Mas Broto mencoba membela. Namun, seperi yang telah aku katakan padamu, jika kami masih ingin melihat mentari terbit esok pagi, kami harus patuh kepada perintah mereka. Dan akhirnya Mas Broto harus ku ikhlaskan menyusul Andi. Sebuah peluru menembus dada kirinya,” tagisannya semakin pecah.
Aku begitu terharu mendengar cerita ibu itu. Suaminya. Bapak Andi. Aku rindu bapakku. Ah, apa bapak juga akan membelaku sedemikian rupa? Ya, bapakku hanyalah seorang petani. Seorang petani yang paling aku takuti karena rotannya. Di hadapanku bapak jarang sekali bercanda seperti sebagian anak-anak lainnya kepada bapaknya. Bapak. Ya, aku sangat nyaman memanggilnya. Namun, tampaknya bapak tak nyaman jika aku terus-menerus memanggilnya itu artinya aku anak yang manja. Ada satu hal yang tak akan pernah dapat aku lupakkan selamanya.
Bagian Delapan
Waktu itu, sekolahku hendak mengadakan persami. Dan aku dinobatkan sebagai salah satu pesertanya, peserta cadangan lebih tepatnya. Sejatinya aku tak ingin menceritakan hal itu kepada bapak. Aku hanya ingin menceritakkan hal itu kepada ibu. Namun, sepertinya ibu memberitahu bapak akan hal ini. Satu hari sebelum berangkat, pagi-pagi sekali bapak telah membangunkanku dan segera menyuruhku untuk mandi. Aku tak tahu apa yang tengah direncanakan bapak. Setelah selesai mandi, bapak kemudian meletakkan aku diboncengan sepedanya yang tengah usang. Dan mengajakku menembus dinginnya udara pagi. Aku menggigil mungkin karena aku tak memakai jaket. Gigi-gigiku pun bergemeletuk. Kemudian bapak turun dari sepedanya, tepat di depan sebuah kuburan. Dalam hati aku menduga bahwa bapak akan membuangku di sini, di kuburan ini? Ah, tidak.
Namun, kiranya dugaanku salah. Bapak turun lalu melepas jaket yang dikenakannya dan memakaikannya padaku. Aku tak bergeming melihat bapak memasukan tanganku ke lengan jaket itu lalu bapak menyuruhku memasukkan kedua tanganku ke sakunuya. Agar aku tidak kedinginan. Jaket itu nampak sangat besar saat aku kenakan. Lalu bapak melanjutkan mengayuh sepedanya.
“Untunglah, aku tak jadi dibuang di kuburan itu”.
“Kamu ngomong apa Han?,” suara bapak menggelegar menembus kesunyian pagi ini.
“Mmm… Mboten Pak,” aku menjawab pertanyaan bapak dengan tergopoh-gopoh. Tidak.
Ya Allah, ternyata bapak mendengar apa yanga aku katakan tadi. Bisa-bisa aku di buang di kuburan itu sugguhan. Oh, tidak. Semoga tidak.
Namun, tampaknya yang aku takutkan tidak akan terjadi, bapak semakin mempercepat mengayuh sepeda meninggalkan kuburan itu. Mungkin bapak tahu bahwa aku sangat takut dengan tempat pemakaman.
Jalanan terjal penuh batu yang bapak lewati sangatlah sepi. Hanya ada beberapa pengendara saja yang melewati jalan ini, itu pun pengendara sepeda seperti bapak juga. Udara terasa sangatlah dingin. Namun, berkat jaket bapak aku tak merasakannya lagi. Bapak. Ya bapak pasti kedinginan.
“Pak”.
“Iii… ya,” bapak menjawab pertanyaanku terpatah-patah. Nampaknya bapak kedinginan. Ah, kasihan bapak. Aku sayang bapak.
Cukup lama kami menempuh perjalanan ini. Lambat laun lampu-lampu rumah penduduk tak lagi menyinari perjalanan kami. Mataharai mulai bangun dari peraduannya. Sinarnya yang kemilau menghangatkan bumi menyerap udara dingin yang sedari tadi pagi mengganggu aku dan bapakku. Mungkin, lebih tepatnya mengganggu bapakku yang tidak mengenakkan jaket sepertiku.
Semakin jauh kami meninggalkan rumah. Jalan-jalan yang kami lalui pun semakin ramai. Matahari mulai tinggi. Namun, udara masih begitu dingin, kabut pun tampak enggan enyah dari tempatnya. Banyak orang membawa bakul dipunggungnya. Mereka seperi barisan semut yang membawa gula menuju ke sarangnya. Mereka ke sebuah tempat yang sepertinya bapak pun akan menuju ke sana. Tempat di mana ibu biasa membeli sayuran. Pasar. Namun, aku tak tahu apa nama pasar ini. Biasanya ibu pergi ke pasar Ngadan.
“Ayo Han, turun Bapak mau ke sana dulu,” kata bapak sembari menunjuk pada tempat parkir. Cukup lama bapak di sana, berbincang-bincang dengan penjaga parkirnya lalu bapak parkir itu memberikan sebuah kertas kepada bapak. Bapak terlihat tersenyum kepada bapak itu, bapak itu membalasnya lalu bapak pergi.
“Kita mau ke mana Pak?”.
Bapak tak menjawabnya. Bapak hanya menarik tanganku masuk ke dalam pasar, tubuhku membuntutinya dari belakang. Aku melihat-lihat sekeliling pasar. Pasar ini tampak lebih besar dari pasar Ngadan atau pasar tempat aku membeli mobil-mobilan untuk adikku sebagai kado ulang tahunnya.
Cukup lama aku membuntuti bapak berjalan. Akhirnya bapak berhenti juga. Bapak berhenti di sebuah lapak baju. Aku tak mengerti apa yang tengah bapak dan penjual itu perbincangkan, aku pun tengah sibuk mengamati sekeliling pasar ini.
“Sini Mas, dicoba bajunya,” pedagang baju di lapak itu memanggilku.
Aku mendekat lalu pedagang itu menempelkan baju pramuka di badanku. Aku melihat gambarku di cermin yang telah disediakan aku sepertinya tampak sangat gagah, dan baju ini pun sangat pas di badanku.
Aku tersenyum pada penjual itu. Ia lalu membalasnya dan membungkus baju coklat itu dengan kertas koran lalu memasukannya ke plastik kresek. Bapak mengambil uang dari dopet bututnya yang lusuh, reslitingnya pun sudah tidak berfungsi lagi. Lalu bapak memberikan sejumlah uang kepada penjual itu. Aku tak tahu berapa jumlahnya.
Aku kembali membuntuti bapak dari belakang. Aku agak kesusahan mengikuti bapak karena langkah kaki bapak yang sangat tidak sebanding dengan langkah kaki ku yang kecil, tak jarang aku pun harus berlari kecil untuk mengejar bapak.
Bapak lalu berhenti di sebuah toko tas. Ada berbagai macam tas baru yang digantung di setiap sudut toko itu. Toko di dalam pasar. Aku sangat menyukai tas bergambar Saras 008 itu.
“Mbak, coba tas itu,” pinta bapak kepada seorang pelayan toko itu sambil menunjuk pada tas yang ku maksud. Tas Saras 008. “Terima kasih Mbak”.
“Raihan, apa kamu menyukai tas ini?,” seperti biasa, suara menggelegar bapak membuatku takut.
Aku hanya mengangguk. Sejatinya aku ingin mengatakan aku sangat suka tas itu, dan aku ingin bapak membelikannya untukku. Namun, nyaliku tak sebesar anganku. Aku hanya mampu diam, dan mengangguk sebagai isyarat hatiku.
“Tolong dibungkus ya Mbak,” bapak tersentum mengatakan itu. Giginya napak bersih, aku suka melihat senyum bapak itu.
Seperti yang dilakukan penjual baju di lapak tadi. Namun, pelayan itu tidak membungkus tas bergambar Saras 008 dengan kertas koran, melainkan langsung memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam dan menyodorkannya ke bapak. Bapak menerimanya dan mengambil beberapa lembar uang lalu memberikannya kepada pelayan itu. Mengatakan terima kasih lalu pergi. Dan seperti biasa aku membuntuti bapak dari belakang, mengejarnya saat aku mulai tertinggal jauh. Tetapi, terkadang bapak menarik tanganku jika aku telah teringgal jauh.
Aku memandang bapak dari belakang. Tubuhnya nampak sangat tegap dan tinggi menjulang. Dari baju yang dikenakannya, aku melihat titik-titik keringat yang membasahi bajunya di bagian pundak. Nampaknya bapak sangat lelah. Aku ingat benar saat bapak mengajakku memancinh di sawah, waktu itu bagian belakang bajunya pun tampak seperti itu, ada keringat yang membasahi bagian pundaknya. Saat aku bertanya pada bapak, bapak mengatakan bahwa itu adalah keringat yang menandakan bahwa bapak lelah. Aku ingat benar waktu itu.
Belanjaan di genggaman bapak aku lihat sudah cukup banyak. Namun, kiranya bapak belum juga ingin mengakhiri perburuannya di pasar ini. Bapak terus saja melangkahkan kakinya. Terus berjalan, berjalan dengan cepat. Hal itu sangat membuat nafasku terengah-engah. Aku lelah sekali dan mungkin di bajuku bagian belakang pun sekarang tampak seperti yang terlihat di baju bapak. Lingakarn keringat di pundakku. Aku lelah.
“Raihan, apa kamu haus?,” bapak melongok ke belakang. Bapak melihatku terengah-engah.
“Ii… ya Pak”.
Tiba-tiba bapak jongkok di depanku. Bajunya yang basah sangat kentara begitu basah saat aku melihatnya dengan dekat. Aku bingung dengan apa yang bapak lakukan.
“Naiklah, Bapak akan menggendongmu”.
Tanpa menunggu waktu utuk bingung memikirkan mengapa bapak melakukan demikian, aku langsung saja naik ke punggung bapak dengan mantap. Punggung begitu empuk ketika ku naikki, aku merasa nyaman di atasnya. Tanganku ku kalungkan di leher bapak, dan bapak mengapit kedua kakiku di ketiaknya. Terasa hangat. Seingatku, aku terakhir menaikki punggung bapak sekitar 5 tahun yang lalu, saat itu banjir melanda desaku. Sehingga bapak menggendongku ke sekolah.
“Han, Bapak ingin bertanya. Jika besar nanti, kamu ingin menjadi apa?,” bapak bertanya tentang cita-citaku. Aku langsung mengartikan bahwa ini akan menjadi obrolan hangat antara seorang anak dan bapaknya.
“Aku ingin menjadi tentara pak,” aku menjawabnya dengan mantap. Semantap saat aku naik ke punggung bapak.
“Tentara? Mengapa demikian? Bukankah itu cukup beresiko Han? Mengapa kamu tidak ingin menjadi dokter atau guru saja Han?”.
Aku diam sejenak. Beresiko? Aku tak mengerti apa maksud beresiko. Mungkin berbahaya yang dimaksud bapak. “Bukankah itu pekerjaan yang mulia Pak? Raihan bisa melindungi negara pak? Bukankah Rasulullah juga mengajarkan agar kita membela negara kita Pak?”.
Bapak berdehem. “Iya Han, bapak tahu itu. Namun, dokter dan guru juga pekerjaan yang mulia bukan?,” nada bapak meninggi.
Aku tak mampu lagi menjawabnya jika nada bapak sudah meninggi seperti itu. Aku takut jika bapak akan marah kepadaku dan meninggalkanku di pasar ini. Jikalau pasar ini pasar Ngadan, aku masih bisa pulang ke rumah. Tapi, nama pasar ini pun aku tak tahu apalagi tempat kakiku ini berpijak. Bukan. Namun, tempat di mana kaki bapakku berpijak karena aku sedang digendong bapak.
“Ya, terserah kamu saja Han. Yang penting kamu niat,” bapak sepertinya mengerti benar ketakutan yang ada di dalam hatiku.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan kami dengan diam. Hanya transaksi jual-beli yang masuk ke telingaku dan mungkin juga masuk ke telinga bapakku. Hening.
Bapak terus membawaku di punggungnya. Bajunya semakin basah oleh keringatnya. Tiba-tiba, hidungku yang pesek ini menemukan sebuah aroma yang cukup meggoda. Aku mencoba mengingat-ingat aroma ini. Aku berharap martabak. Namun, ini bukan aroma martabak. Aromanya seperi hangus. Kecap. Sate. Ya, ini aroma sate. Sate ayam lebih tepatnya, dengan sambal kacang. Tanpa dikomando, cacing-cacing yang di perutku menari-nari setelah menerima berita dari saraf hidungku. Mereka sepertinya sedang berkaraoke karena aku mendengar bunyi yang berasal dari mereka. Harmoninya syahdu dan cukup keras. Bahkan mungkin sangat keras.
Seperti tahu apa yang aku inginkan. Bapak tiba-tiba mengehntikan langkahnya. “Raihan apa kamu lapar?”.
Pertanyaan itu membuat harmoni di perutku semakin keras bunyinya. Aku pun tak dapat mengelak lagi. “Iya Pak”.
“Bagus kalau begitu. Apa kamu mau ke sana?,” bapak menyeru sambil menunjuk pada warung sate tadi.
Aku mengangguk. Dan kami pun segera pergi ke sana.
Sampai di depan pintu warung itu, bapak menurunkanku. Aku menatap warung itu dengan senyuman puas dan mungkin cacing-cacing di perutku pun demikian halnya. Bapak lalu mengajakku duduk di satu-satunya meja yang tersisa dari semua meja yang telah disediakan.
0 komentar