Dandelion - Kristal
1:37 PM
-Alysa-
Mendung bergelayut di angkasa. Sedari tadi kota ini
masih dikepung hujan. Aku pun masih asyik mengamati air yang turun dari atap
bis ini, merapatkan tanganku ke jendela dan berharap aku bisa merengkuhnya. Dua
bulan yang lalu beasiswaku untuk melanjutkan studi ke negeri Doraemon berhasil
di acc. Aku sekarang resmi menjadi
mahasiswa Kyoto University. Kemarin aku juga sudah mengemas barang-barangku, mengajaknya ikut serta
meninggalkan kota ini. Dan minggu depan aku harus berkemas lagi, meninggalkan negara ini
hingga waktu yang belum bisa aku tentukan, mungkin tahun depan aku sudah bisa
kembali ke negeri ini, atau mungkin dua tahun lagi, tiga tahun lagi? Entahlah.
Aku tak berani berjanji kepada kalian kapan aku pulang, pun padanya.
***
-Raka-
Aku menghela napas panjang. Bertanya perlahan.
Berusaha memecah kebekuan 300 detik terakhir.
“Apa kau baik-baik saja?”
Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia hanya mengangguk
sembari memainkan sendok di gelas jus strawberry kesukaannya.
“Sudah kau kemasi semua barang-barangmu? Jam berapa
kau berangkat?”
“Jam 7 pagi, kalau jadi.”
Bulan purnama masih menggantung malas di antara ribuan
bulir hujan yang berebut turun. Senyap? Sebenarnya tidak juga. Rumah makan ini
cukup ramai untuk ukuran hari biasa. Beberapa pengunjung yang membawa serta
anak mereka semakin menambah gaduh suasana. Entah apa yang membuat pertemuan
ini tampak sepi. Ini pertemuan pertama –dan semoga bukan yang terakhir- kami.
“Keputusanmu sudah bulat?” aku menatap wajahnya
lamat-lamat. Hingga detik ini aku masih berharap surat yang diterimanya bukan
untuk dia. Berharap ada Nadia Alysa lain yang seharusnya menerima surat itu. Tapi mustahil, aku
melihat benar alamat yang tertera di surat itu. Itu benar-benar surat yang
ditujukkan untuk Nadia Alysa yang kini duduk tertunduk didepanku, si kutu buku, penyuka
jus strawberry, the headstone, orang
dewasa yang kekanak-kanakkan.
“Maafkan aku, Kak.”
Suasana kembali senyap.
Aku menghela napas panjang, “Pun dengan keputusanmu
seminggu yang lalu?” Pertanyaan yang merupakan inti dari pertemuan ini akhirnya
aku tanyakan juga. Satu minggu terakhir tak ada komunikasi sama sekali diantara
kami. Aku
marah padanya. Bagaimana tidak, tentang beasiswa ke Jepangnya, ia sama sekali
tidak bercerita kepadaku, pun jika saat itu aku tidak sengaja menemukan amplop
itu di buku kuliahnya, aku yakin hingga detik ini dia tidak akan bercerita apa
pun.
“Iya, Kak.”
Aku menarik napas panjang. Aku mengenalmu dengan cukup
baik. Tidak mungkin kau mengubah keputusanmu dengan tiba-tiba. “Kenapa?”
Dia tertunduk. “Aku sendiri tak yakin kapan aku bisa
kembali, bagaimana mungkin aku mengikatmu diantara ketidak yakinan itu…”
“Aku tidak pernah mempermasalahkannya, aku akan
menunggumu sampai kapan pun,” aku menarik napas panjang, mengatur emosiku. Aku
tak ingin kebekuan diantara kami berlanjut hingga entah kapan. Kita sama-sama
keras kepala, tidak akan pernah selesai masalah ini kalau kita hanya
menyelesaikannya dengan mulut yang saling terkunci. “Kau masih ragu, Al?” baru kali ini aku
memanggilnya dengan namanya.
Lagi-lagi dia hanya tertunduk. Tak ada jawaban ya atau
tidak dari mulutnya.
“Al…?” aku menarik napas panjang, mengatur kembali emosiku.
“Jika memang kau masih ragu, jawab saja. Maka saat ini juga aku akan berhenti
mengharapkanmu. Bukankah memang itu yang kau inginkan? Kau tidak ingin
mengikatku karena kau tidak ingin aku terlalu berharap padamu?”
Dia mulai terisak. Air matanya dipaksa untuk tidak
keluar. Menangis pun wajahnya tetap teduh.
“Maaf, Kak. Aku
tak berani menjanjikan apa pun.”
Dia beranjak. Meninggalkan jus strawberrynya yang
masih setengah. Di luar hujan masih mengepung kota ini. Aku yakin dia menahan
langkahnya, menunggu hujan reda. Ada yang masih ingin aku bicarakan lagi. Ada
yang ingin aku tegaskan. Tapi nampaknya prediksiku salah, dia benar-benar
menerobos hujan. Melesat, memacu motornya dengan kecepatan tinggi,
meninggalkanku yang selalu menghawatirkannya.
***
-Alysa-
Lima
menit lagi bis ini akan membawaku pergi meninggalkan kota ini –juga
kenangan-kenangannya-. Aku tahu benar betapa marahnya kak Raka padaku. Tambahan
pula pagi ini aku pulang tanpa memberinya kabar apa pun. Meskipun tidak bilang,
itu tetap cinta bukan? Tidak akan berkurang kadarnya. Ah, sudahlah, toh aku juga tidak akan bertemu
dengannya lagi –setidaknya untuk tiga tahun ini-.
-Semua hanya akan aku rasakan untuk hari
ini saja, lusa, aku yakin aku akan kembali lagi menjadi Alysa yang dulu-
***
-Raka-
Kau benar-benar sempurna membuat molekul rasionalitas
ini teroksidasi, menjadikan mereka tak mampu menjalankan fungsi penting untuk
melanjutkan hidup normal. Dan saat perasaan menjalankan fungsinya sebagai
pengikat dalam molekul-molekul itu, maka saat ada sebuah elektron yang hilang,
molekul-molekul rasionalitas itu terurai, menjadi molekul-molekul yang lebih
kecil, menjadi molekul-molekul irrasionalitas.
Tahukah kau bagaimana aku memendam rindu sejak hari
itu? Bagaimana aku menunggu –waktu- balasan pesan elektronik yang aku kirimkan.
Bukan apa-apa yang aku tanyakan. Bukan tentang komitmen yang –memang- tak
pernah kau janjikan. Hanya kabar. Hanya ingin tahu di mana kau sekarang. Hanya
dua pertanyaan itu. Marah? Tentu iya. Tapi aku bisa apa, hatiku tak pernah
mengizinkan untuk marah kepadamu. Dua tahun tanpa kabar. Membiarkan perasaan
ini hanyut tercerabut. Toh aku masih –dan akan tetap- menunggumu.
Entah apa yang menahan perasaan ini. Komitmen? Kau sendiri yang
telah membatalkannya. Perasaan yang sama? Siapa yang menjanjikan? Aku tak berani menyimpulkan bahwa perasaan itu pernah ada dihatimu. Kau begitu rapih menyimpannya. Mengemasnya
dalam kepura-puraan yang kau ciptakan sendiri.
***
-Alysa-
Di luar anak-anak masih asyik bermain di hamparan salju.
Meski syal-syal ini sudah
hampir mencekik leherku tapi molekul-molekul dalam tubuhku masih saja belum
mampu mengajaknya melakukan reaksi netralisasi,
padahal ini sudah kali ketiga aku merasakan musim salju di negeri matahari
terbit ini. Ya, tahun ketiga. Tahun terakhir. Aku ingin protes. Tahukah kau
bagaimana hari-hari pertamaku di sini? Perasaan ini tidak selesai hari itu juga.
Perasaan itu tak hilang meski aku telah meninggalkan kota itu, negeri itu.
Perasaan itu berlanjut hingga esoknya, esoknya lagi, esoknya lagi, dan esoknya
lagi hingga tiga tahun ini. Dengan menonaktifkan semua akun jejaring sosial,
aku berharap perasaan itu selesai juga. Tapi sialnya tidak. Perasaan itu tetap
hidup, bahkan semakin hidup setiap harinya.
“Bagaimana
kabarnya sekarang?”
Aku beranjak
dari jendela. Mengambil laptop dan membuka akun email yang tiga tahun ini mati
suri. Bersyukur aku hanya menggunakan satu password
untuk semua akunku. Aku buka pesan yang masuk ke inbox satu per satu, ada
hampir 500 surel yang tidak terbaca, berharap ada ada nama “Raka” diantara 500
surel itu. Aku terus menarik scroll ke bawah, ada beberapa surel yang dikirim teman-teman
kuliah, SMA, isinya rata-rata sama, mereka menanyakan kapan aku pulang, apakah
aku sudah bertemu dengan Doraemon, apa aku sudah menyampaikan salamnya ke
Conan, intinya mereka begitu merindukanku. Dan di surel ke-498 dari 500 surel
itu, ada sebuah surel dari pengirim bernama “Raka”, dikirim dua minggu sejak
keberangkatanku ke negeri ini.
Raka – April 13rd
2011
To: Alysa
Subjek: No Subjek
Assalamu’alaykum
Bagaimana kabarmu, dek? Udah ketemu sama Doraemon? J
Maaf ya, harusnya waktu itu aku
tidak membiarkanmu pulang sendiri di tengah hujan.. Kau tidak demam kan
setelahnya? Berharap tidak J
Hmmm, maaf ya, harusnya aku
cukup dewasa menyikapi masalah kemarin. Tidak seharusnya aku memintamu untuk
tidak mengambil beasiswa itu, yang aku sayangkan kenapa kamu tidak
memberitahuku perihal beasiswa itu. Aku juga kecewa kenapa kamu tidak bercerita
apa alasanmu mengambil beasiswa sesegara ini, tapi aku sudah tahu jawabannya.
Maaf tidak sempat menyapamu
saat di bandara. Sukses ya jadi ensteinnya J
Oh iya, kapan rencananya kamu
pulang? Jangan lama-lama di Jepang ya J
-Raka
Berulang kali aku membaca email yang dikirimnya tiga
tahun lalu. Email yang terlanjur mengerak. Apakah kak Raka masih menungguku
pulang? Hatiku ragu bertanya.
***
-Raka-
Negeri ini memang selalu menarik. Bukan hanya karena
teknologinya yang mutakhir. Tapi juga tentang jawaban dari begitu banyak alasan
yang tidak punya penjelasan.
***
-Alysa-
Aku masih tertegun membaca email itu saat seseorang
mengetuk pintu dormku. Pagi ini aku merasa belum memesan makan untuk sarapan. Tidak
berniat pergi ke mana pun dan bersama siapa pun juga. Aku pun beranjak,
meninggalkan email itu dengan begitu banyak pertanyaan.
“Doozo ohairi
kudasai..”
Rentetan pertanyaan seketika mengantre untuk ditanyakan
begitu tahu siapa orang yang mengetuk pintu dormku pagi ini. Namun, semuanya
buyar, ribuan pertanyaan itu mengkristal menjadi satu tanya, “Kak Raka?”
0 komentar