05.08 p.m

5:08 PM


Aku sedang asyik menyelesaikan tugas akhirku saat handphone-ku berdering. Sebuah panggilan masuk. Melihat nama yang tertera di layar 4 inch itu aku penasaran dan bergegas mengangkatnya.
“Hallo, Mba?,” kataku mengawali perbincangan kami.
“Hallo, Nay, Assalamu’alaykum,” balas suara wanita dibalik sana.
“Wa’alaykumsalam. Ada apa, Mba? Tumben telpon?,” kataku segera, seolah tidak sabaran.
“Naya sehat? Gimana skripsinya?,”
“Sehat, Mba, alhamdulillah lancar, masih revisi, do’akan akhir Mei ini semhas, Mba.”
“Aamiin, insya Allah. Target lulus kapan berarti?”
“Hmmm, September, Mba,” aku ragu-ragu menjawabnya, bukan tidak yakin September ini aku akan lulus.
“Naya jadi pulang ke Surabaya pertengahan Mei ini?”
Ah padahal aku baru saja mengabarkan pada ibu bahwa aku membatalkan jadwal kepulanganku agar bisa menyelesaikan skripsi segera, dan ibu tentu mengizinkan, “Hmmm ndak jadi, Mba, lagi dikejar deadline.”
“Ohh gitu,” dari nada bicaranya beliau nampaknya kecewa.
“Mba boleh minta alamat email Naya?”
“Boleh, Mba, Naya kirim lewat chat ya,” jawabku sambil mengirimkan alamat emailku. Sampai titik ini aku tidak curiga sedikitpun.
“Nay, sebenernya, Mba pingin ngobrol banyak sama Naya, pingin ketemu langsung biar ga salah persepsi, biar jelas gitu,” Mba Okta memotong pembicaraannya, aku hanya mendengarkan dibalik layar handphone.
“Ga apa-apa kalau disampaikan lewat telpon saja ya, Nay? Naya lagi di mana?”
“Iya mba, ga apa-apa, Naya lagi di kos juga kok, Mba.”
Perasaanku mulai tak karuan pada saat ini.
 “Gini, Nay, akhir bulan lalu, ada seorang ikhwan, insya Allah sholeh, insya Allah ia lebih mencintai Rabbnya dibanding apa pun, insya Allah niatnya mempersuntingmu pun juga murni untuk menyempurnakan separuh din-nya.
Napasku mulai naik turun, menahan agar tangisku tak lagi pecah seperti pagi itu.
“Naya mungkin ga kenal, tapi dia sebenarnya sudah mengenal Naya sejak SMA, bukan kenal, tahu lebih tepatnya. Ingat pernah bikin Ramadhan Camp, Nay? Nah, beliau adalah salah satu mahasiswa yang join dengan panitia itu.”
Aku mengingat-ngingat lagi siapa saja yang waktu itu menjadi paniti Ramadhan Camp. Ah, sial, dalam kondisi seperti ini aku tidak mampu mengingat apa pun, lebih lagi acara itu sudah berlalu enam tahun lalu.
“Mba dan Mas Aji sudah membaca proposalnya. Dia memang langsung mengutarakan niatnya mempersunting Naya Khalida. Visi, misi, kondisi ekonomi, dan semuanya jelas dituliskan di proposal, Nay, kriteria pendamping yang dia cari juga mirip kepribadianmu, padahal dia mengaku ga kenal kamu sama sekali dan selisih tiga tahun di atasmu, jadi memang ga pernah satu waktu di SMA. Mungkin benar jodohmu, Nay.
“Nay?”
“Hah, iya, Mba?” jawabku kaget.
“Wajar kok kalau kamu kaget, ga nangis kan tapi? Hehehe,” goda Mba Okta.
Aku hanya menjawab, “Hehe”.
“Proposalnya, Mba kirim ke kamu ya?”
“Hah? Jangan, Mba, jangan,” sergaku segera.
“Kenapa, Nay? Kamu belum siap?”
“Iya, Mba.”
“Nay, kita tidak akan pernah siap menikah, bahkan orang-orang yang sudah menikah pun merasa tidak siap saat mereka tengah menjalani pernikahan.”
“Bagaimana mungkin berangkat dengan tangan kosong, Mba?”
“Ah, tidak, mengenalmu hampir tujuh tahun, tidak mungkin kamu belum mempersiapkan apa pun untuk hal se sakral itu. Sudah berapa kisah sahabiyah di sirah yang kamu baca? Sudah berapa banyak buku psikologi yang kamu baca? Sudah seberapa jauh kamu berlatih memasak? Merawat diri? Merawat rumah?”
“Mba....”
“Naya, kalau kendalamu belum lulus, masih ada tiga bulan untuk mu menyelesaikan semuanya, kalau kendalamu orang tuamu, yang ada pada dirinya insya Allah tak membuat orang tuamu ragu atasnya.”
Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Tangisku pecah. Untuk kedua kalinya. Untuk persoalan yang sama. Dan Mba Okta tahu setiap kali hatiku tidak baik-baik saja.
“Naya pikir-pikir dulu, Mba.”
“Harus, konsultasikan ke murobbimu, dan jangan lupa konsultasikan ke Rabbmu ya, Nduk.”
“Iya, Mba. Proposalnya jangan dikirim dulu tapi ya.”
“Hahaha, iya, nanti kabari ya kalau udah ada jawabannya, libatkan Allah ya, ndak baik nolak laki-laki yang baik agamanya, takut fitnah. Dokter loh dia.”
Ndak baik nolak laki-laki yang baik agamanya, takut fitnah. Kata-kata itu menutup perbincanganku sore ini. Aku menelungkupkan wajah ke bantal, membenamkan tangisku ke dalamnya. Apa aku belum lulus dengan ujian sebelumnya? Apa ini ujian yang lain? Pertanyaan itu kubiarkan menggantung di langit-langit kamar.

You Might Also Like

0 komentar