Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home

    Aku tak pernah merasa kalah dalam permainan ini
    Aku hanya mulai merasa lelah
    Lelah yang teramat sangat

    Setelah mengungkung hatiku dalam penantian yang tiada berjawab
    Aku bagai sesusuk duri yang meninggalkan luka perih
    Menikmati sakit-sakitnya hingga tak terasa luka telah mengalirkan darah
    Hingga tak bisa kubedakan lagi mana tangis mana tawa

    Aku hanya bisa mengekor waktu
    Mencoba menyeret diriku menjauh
    Aku mungkin akan pergi
    Tapi aku tak pernah bisa berlari darimu


    RS Ananda, 14 Juni 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading



    Kebumen, 24 Mei 2019

    Setiap kembali ke sekolah ini rasanya pasti lain. Selalu ada cerita yang ditawarkan oleh setiap bagian tempat ini. Mereka dulu seakan merekamnya dan memutarkannya kembali untukku suatu ketika setiap kali kembali ke tempat ini. Semuanya masih tervisualkan dengan jelas. Termasuk perjumpaan-perjumaan kecil yang tak sengaja itu. Ini ceritaku kemarin, baru saja kemarin. Di sini, bersama dia, mereka, dan kau. Kau. Ya, kau yang tiba-tiba tak berkabar semenjak kelulusan enam tahun lalu. Tepat enam tahun lalu, di sini, 24 Mei 2013. Dan kau yang sedari dulu –tadi- duduk tiga ubin disebelahku. Lima menit berlalu. Tigaratus detik kita habiskan dengan mulut yang saling terkunci. Dan entah mengapa kita masih nyaman di sini. Seperti ada kekuatan lain yang memaksa kita untuk tetap bungkam. Dan aku “selalu” nyaman dengan sikapmu itu. Dingin.

    Aku masih belum tahu apa yang mengantarkanmu ke sini. Aku kah? Sepuluh menit berlalu. Lima belas menit masih kau habiskan dengan tatapan yang tak aku fahami, sesekali kau membaca sesuatu dari handphonemu, tersenyum, dan kembali diam. Tepat di menit ke dua puluh satu tampak seseorang datang menghampirimu. Sebentar. Aku tak asing dengan wajah ini. Tubuh semampai, kurus, dengan gaya jalan yang khas. AZKA! Ya tak salah lagi, dia Azka. Dengan dua orang yang mengahmpirimu lagi juga sepertinya aku kenal. Ternyata tak banyak yang berubah dari mereka, Aziz masih dengan “gaya” khasnya, aku ingin tahu bagaimana sakit asmanya, sudah sembukah. Dan Adi yang selalu membuat kaget disetiap kedatangannya, dulu aku yang selalu menjadi korbannya.

    “Lan udah lama ya? Jam 9 kan janjiannya.”
    “Iya jam 9. Aku yang sengaja datang lebih awal kok. Yang lain mana?”
    “Ini bakal datang semua kan?” Adi menimpal.
    “Emang kamu masih ada kontak semuanya, Lan?” Azka mencoba merobohkan harapan Adi.
    “Kita lihat saja.” Benar-benar tak ada yang berubah. Kau tetap dengan caramu. Aku dulu menyebutnya, mudah pergi, easy going.

    Kedatangan mereka membuat suasana tak berubah. Kau masih diam. Meskipun sesekali mereka mengajakmu ngobrol, kau tak bergeming dari handphone jadulmu. Beberapa kali kau menimpal percakapan mereka. Entah apa yang kau baca. Tapi tak mengapa, dengan begini aku jadi leluasa mengamatimu. Menyapa bongkahan-bongkahan kenangan yang masih aku ingat. Kita pernah menikmati hujan yang menahan kita di sini. Hidrokarbon. Syair. Apa lagi ya? Yang jelas, ke sini lah jika aku hendak bercakap denganmu. sebentar, lebih tepatnya di sinilah sekarang aku menetap. Kau senang memandang langit, jadi aku kira kita bisa bercakap melalui langit. Baru sadar jika ternyata perjumpaan itu mahal sekali. Dalam satu dimenasi selama hampir 365 hari ternyata tidak sepadan dengan pertemuan yang tak akan hampir setengah hari ini. Dan masih sama dengan dua puluh dua menit yang lalu. Kau masih diam. Kau memang selalu begitu. Tapi aku tak pernah banyak protes. Seperti kau yang tak pernah protes saat aku jadikan tokoh utama dalam setiap cerita-ceritaku
    ***

    Aku selalu nyaman duduk di tempat ini. Menikmati hujan yang pernah menahan kita. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Semenjak kelulusan itu aku memang sengaja menjauh darimu. Tentu bukan tanpa alasan. Seperti kau yang tak pernah mengabarkan keadaanmu kepadaku. Tentu bukan tanpa alasan. Tapi aku tak pernah protes. Seperti kau yang tak pernah protes saat gagal aku bawakan edelweiss.

    Lipoma. Sebuah kata yang membuat dimensi kita berbeda. Aku memang tak pernah sekalipun berkabar denganmu. Tapi aku tak berarti buta kabar akanmu. Kau memang benar-benar tangguh. Diam dalam lipatan bahasa tanda tanyamu.
    ***
    Bersambung....


    -Sebuah novel yang tidak akan pernah usai-


    Continue Reading


    Indigo
    Azifah Najwa
    Juara 3 Peksimida Universitas

    Seakan selalu ada cerita yang ditawarkan oleh setiap bagian kota ini. Mereka dulu seakan merekamnya dan berniat memutarkannya kembali untukku suatu ketika setiap kali aku kembali ke tempat ini. Ke negeri ini.
    Syal-syal ini hampir mencekik leherku, tapi molekul-molekul dalam tubuhku masih saja belum mampu mengajaknya melakukan reaksi netralisasi.  Aspal jalanan sekitar dorm[1] sejak semalam berubah menjadi putih, beberapa daun Momiji pun tampak gugur sebelum waktunya, untuk manusia tropis sepertiku udara pagi ini tak ubahnya pagi empat tahun lalu. Dingin. Teramat dingin malah. Aku ingin memutar jejak-jejakku sepanjang dua tahun di perjalanan 300 meter ini dan menunjukkannya pada kalian.
    ***
                Sakyo Ward, 18 Maret 2013
                -Sambil merapikan kaca mata- Aku masih tak habis pikir jika sekarang aku benar-benar berdiri di atas tempat yang selama ini gambarnya ada di dinding kamarku. Sebuah tempat yang sempat dan masih menjadi pusat budaya di negeri teknologi ini. 京都大学[2] di depan gerbang tempatku berdiri aku menatap tulisan kanji itu lamat-lamat. Aku rasa ada skenario penting dari Allah yang harus aku lakoni di sini. Tentang bagaimana skenario itu, kita akan memulainya dari sini.
                “Hajimemasithe, watashi wa Naomi desu. Yorosikhu onegai shimasu. Saya tinggal di sekitar sini, [3]” katanya memperkenalkan diri sembari ojigi[4].
                “Watashi wa Nabila desu. Indoneshia kara kimashita. Douzo yoroshiku,[5]” logat Jepang yang kaku. Belum lagi ojigi-ku, aku rasa gerakannya malah lebih mirip rukuk.
                “Kamu dari Indonesia? Saya dengar Indonesia kaya akan budayanya ya? Saya pernah ke Bali. Apkah Bali dekat dengan Indonesia?”
                Plak. Rasanya ada tamparan keras yang mendarat di pipiku. Apakah Bali dekat dengan Indonesia? “Hehe, ya begitulah. Dan Bali itu bagian dari Indoesia,” jelasku dengan mantap.
                “Waaah, lain kali ajak aku ke Indonesia ya. Saat di Bali aku rasanya tidak ingin pulang. Apalagi saat aku dan keluargaku melihat pelangi di sana. Rasanya tidak ada tempat terbaik di dunia ini selain Bali. Yoshiko senang sekali dengan pelangi.”
                Pelangi?
    “Nabila-san[6]!!”
    “Gomen nasai[7].”
    “Ada yang kamu pikirkan?”
    “Tonde mo arimasen[8].”
    “Hmmm, mau kah kau main ke rumahku? Aku ingin memperkenalkanmu dengan keluargaku,” naomi menghentikan kata-katanya. “Juga dengan adikku.”
    “Hai[9].” Aku rasa aku tak ada alasan untuk menolak ajakan Naoumi.
    “Kaerimasho[10].” Aku pun mengekornya di belakang.
    Naoumi bercerita tentang sekolah dan teman-temannya sepanjang perjalanan pulang, sesekali ia memintaku mengajarinya Bahasa Indonesia, aksen Jepangnya begitu kental, tidak hanya dari logat bahasanya tapi juga dari penampilannya. Rambutnya dibiarkannya tergerai, matanya sipit, hidungnya tak begitu mancung, dia lebih tinggi 10 cm dariku, dan aku baru tahu kalau Naomi mempunyai lesung pipit saat dia mendengar aku mengucapkan kata “krik”. Padahal aku biasa memakainya saat bercanda dengan teman-temanku di Indonesia.
                “Youkoso[11]! Ini rumahku,” dia membukakan pintu sambil mengajakku masuk.
                Ketika aku melihat rumahnya, bayangan yang terlintas adalah rumah Nobita di film Doraemon yang biasa aku lihat setiap minggu pagi. Di belakang pintu sebelah kiri ada guci untuk meletakkan payung. Persis dengan rumah Nobita.
                “Nabila, hati-hati!!”
                “Hehe,” aku tersenyum sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal. Ternyata kebiasaan jatuhku tak berubah walaupun aku sudah di Jepang. Agaknya aku lupa jika model rumah Jepang berbeda dengan rumahku, aku harus melepas sepatu dan naik saat hendak masuk.
                “Haha.. okerai nasai[12].”
                Aku masih sibuk mengamati setiap lekuk bagian rumah ini saat ibu Naomi masuk ke ruang tamu.
                “Oh kamu membawa teman rupanya. Siapa?” Ibu Naomi bingung melihatku. Jelaslah! Meskipun kami sama-sama dari Ras Mongolia, mataku yang lebar membuatku nampak sangat berbeda dengan mereka. Meski aku sudah mengamulfasekannya dengan kaca mata minus empatku.
                “Nabila, Bu. Dari Indonesia,” kataku sambil membungkukkan badan.
                “Youkoso.” Ternyata Naomi mewarisi lesung pipit ibunya.
                “Naomi mana adikmu?”
                Di sodorkannya kertas gambar kepadaku. Nampak seorang anak kecil, mata sipitnya bersembunyi di balik rambut mangkoknya. Ia sangat lucu.
    ***
                Sepanjang perjalanan pulang waktu itu aku selalu terngiang dengan Yoshiko. Lebih tepatnya dengan pelangi Yoshiko. Yoshiko punya cara berpikir yang berbeda dengan anak-anak seusianya. Tapi dia punya cara berpikir yang sama dengan orang-orang yang sama dengannya. Sebenarnya tidak ada yang diragukan, terlebih kemampuannya. Akan aku kenalkan kalian padanya agar kalian percaya.
    ***
                Semburat matahari senja sore ini menggodaku untuk membuka jendela. Di luar anak-anak nampak bahagia bermain dengan sisa salju. Mereka saling melempar bola salju. Ada pula yang membuat boneka salju. Ingin rasanya mengajak Yoshiko bermain di luar apalagi matahari senja sore ini sangat indah. Matahari? Ya, matahari.
                Aku segera berbenah. Membelitkan syal ke leherku, memasukukkan laptop ke tas, dan pergi ke perpustakaan. Bersyukurnya universitasku menyediakan fasilitas perpustakaan 24 jam. Aku tak perlu lagi disuir penjaga perpus.
                Setibanya di perpus aku langsung menunjukkan ID Card-ku pada petugas, baru dua minggu kuliah di sini, aku merasa sudah sangat hafal dengan setiap sudut perpustakaan ini. Bagaimana tidak, aku menghabiskan hampir sepertiga dari 24 jamku di sini.
                Setelah hampir tiga jam mengorek informasi di perpustakaan, aku segera berkemas. Pulang.
    ***
                “Nabila, maaf ya tadi aku mengatakan jika kau bisa membuat pelangi kepada Yoshiko. Dia autis. Dia berbeda dengan teman-teman seusianya yang mau bergabung dan menerima kehadiran orang asing. Yang dia tahu hanya aku, ibu, dan ayah.”
                Aku menghela napas panjang. Aku mengerti sekali bagaimana posisi Noumi. Ia pasti tidak ingin Yoshiko tiba-tiba mengamuk dan menyakitiku. Meskipun ia nampak lucu di balik rambut mangkoknya.
                “Dia sangat senang saat melihat pelangi. Dia selalu berpikir untuk bisa membuat pelangi abadi. Aku selalu mendukungnya, berjanji mencarikan orang yang dapat membuatkannya pelangi abadi.” Naomi tersenyum miris. Lagi-lagi lesung pipitnya membuat senyumnya semakin manis, bahkan senyum termirisnya barusan.
                “Jadi kau menjadikanku tumbal?” Aku membalas senyum mirisnya.
                Ia tersenyum. Dari matanya ia nampak mengakui bahwa dia memang menjadikanku tumbal. Walaupun ia tahu, ia telah membuat kebohongan besar. Kebohongan yang ia takut saat membayangkan akibatnya.
                Aku mengerti.
    ***
                Aku segera menyusun bahan-bahan yang telah aku siapkan. Memperkirakan besar dispersi cahaya yang dihasilkan dengan berbagai perbesaran. Poin terpenting di sini adalah sudut, air, dan cahaya. Aku mencoba dengan berbagai perbesaran dan dengan intensitas cahaya tertentu. Dan daebak[13]! Aku menemukan susuanan yang sesuai dengan yang aku harapkan. Segera aku menelpon Naomi. Anehnya setiap kali aku menelpon selalu tidak tersambungkan. Penasaran, aku pergi ke rumah Naomi. Setibanya di sana aku sama sekali tak menemukan rumah Naomi, tapi rasanya aku pernah masuk ke dalam rumah itu, bahkan aku merasa pernah menghitung jumlah paku di sana.
                “Di sini dari dulu hanya tanah kosong ini, tidak pernah ada rumah atau apa pun.”
                Bulu kudukku berdiri. Aku menatap tanah kosong itu dengan tatapan nanar.


    [1] Asrama
    [2] Kyoto Daigaku (Universitas Kyoto)
    [3] Perkenalkan. Nama saya Naomi. Senang berkenalan dengan Anda.
    [4] Membungkukkan badan, kebiasaan orang jepang.
    [5] Nama saya Nabila. Saya dari Indonesia. Senang berkenalan dengan Anda juga.
    [6] Sebutan di jepang, bisanya untuk teman.
    [7] Maaf, untuk sesama teman akrab
    [8] Ah, tidak.
    [9] Baiklah
    [10] Mari kita pulang
    [11] Selamat datang
    [12] Ibu, aku pulang
    [13] Hebat
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ▼  2021 (10)
      • ▼  November (1)
        • Jogja
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ►  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ►  September (15)
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • Pertemuan
      Seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada pertemuan yang tanpa sengaja pun yang sengaja untuk tidak disengaja atau tidak sengaja untuk mencoba...
    • 08.17 p.m.
      Cinta adalah ibu yang setiap hari memasakan makanan untuk kami, dan tak sabar melihat anak dan suaminya tak beranjak dari meja makan karena ...
    • Do'a-Do'a
      Apa yang ada di benak kita, apa yang terus kita khawatirkan adalah do'a-do'a yang tanpa sengaja terus kita dengungkan Iya, do'...
    • Dandelion - Perbedaan
      Aku suka saat kita memperdebatkan hal-hal kecil. Aku suka saat kau memarahiku karena sesuatu yang aku anggap benar tapi salah bagimu, begad...
    • Dandelion, Done!
      Sebelum menutup kisah ini, boleh aku bertanya kepadamu? Tentang kapan Waktu yang diperbolehkan untukku berhenti menghitung cinta yang ka...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top