Pemakaman Edelweiss
11:20 AM
Setiap kembali ke
sekolah ini rasanya pasti lain. Selalu ada cerita yang ditawarkan oleh setiap
bagian tempat ini. Mereka dulu seakan merekamnya dan memutarkannya kembali
untukku suatu ketika setiap kali kembali ke tempat ini. Semuanya masih
tervisualkan dengan jelas. Termasuk perjumpaan-perjumaan kecil yang tak sengaja
itu. Ini ceritaku kemarin, baru saja kemarin. Di sini, bersama dia, mereka, dan
kau. Kau. Ya, kau yang tiba-tiba tak berkabar semenjak kelulusan enam tahun
lalu. Tepat enam tahun lalu, di sini, 24 Mei 2013. Dan kau yang sedari dulu –tadi-
duduk tiga ubin disebelahku. Lima menit berlalu. Tigaratus detik kita habiskan
dengan mulut yang saling terkunci. Dan entah mengapa kita masih nyaman di sini.
Seperti ada kekuatan lain yang memaksa kita untuk tetap bungkam. Dan aku
“selalu” nyaman dengan sikapmu itu. Dingin.
Aku masih belum
tahu apa yang mengantarkanmu ke sini. Aku kah? Sepuluh menit berlalu. Lima
belas menit masih kau habiskan dengan tatapan yang tak aku fahami, sesekali kau
membaca sesuatu dari handphonemu, tersenyum, dan kembali diam. Tepat di menit
ke dua puluh satu tampak seseorang datang menghampirimu. Sebentar. Aku tak
asing dengan wajah ini. Tubuh semampai, kurus, dengan gaya jalan yang khas.
AZKA! Ya tak salah lagi, dia Azka. Dengan dua orang yang mengahmpirimu lagi
juga sepertinya aku kenal. Ternyata tak banyak yang berubah dari mereka, Aziz
masih dengan “gaya” khasnya, aku ingin tahu bagaimana sakit asmanya, sudah
sembukah. Dan Adi yang selalu membuat kaget disetiap kedatangannya, dulu aku
yang selalu menjadi korbannya.
“Lan udah lama
ya? Jam 9 kan janjiannya.”
“Iya jam 9. Aku yang
sengaja datang lebih awal kok. Yang lain mana?”
“Ini bakal datang
semua kan?” Adi menimpal.
“Emang kamu masih
ada kontak semuanya, Lan?” Azka mencoba merobohkan harapan Adi.
“Kita lihat
saja.” Benar-benar tak ada yang berubah. Kau tetap dengan caramu. Aku dulu
menyebutnya, mudah pergi, easy going.
Kedatangan mereka
membuat suasana tak berubah. Kau masih diam. Meskipun sesekali mereka
mengajakmu ngobrol, kau tak bergeming dari handphone jadulmu. Beberapa kali kau
menimpal percakapan mereka. Entah apa yang kau baca. Tapi tak mengapa, dengan
begini aku jadi leluasa mengamatimu. Menyapa bongkahan-bongkahan kenangan yang
masih aku ingat. Kita pernah menikmati hujan yang menahan kita di sini. Hidrokarbon.
Syair. Apa lagi ya? Yang jelas, ke sini lah jika aku hendak bercakap denganmu. sebentar,
lebih tepatnya di sinilah sekarang aku menetap. Kau senang memandang langit,
jadi aku kira kita bisa bercakap melalui langit. Baru sadar jika ternyata
perjumpaan itu mahal sekali. Dalam satu dimenasi selama hampir 365 hari
ternyata tidak sepadan dengan pertemuan yang tak akan hampir setengah hari ini.
Dan masih sama dengan dua puluh dua menit yang lalu. Kau masih diam. Kau memang
selalu begitu. Tapi aku tak pernah banyak protes. Seperti kau yang tak pernah
protes saat aku jadikan tokoh utama dalam setiap cerita-ceritaku
***
Aku
selalu nyaman duduk di tempat ini. Menikmati hujan yang pernah menahan kita.
Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Semenjak kelulusan itu aku memang sengaja
menjauh darimu. Tentu bukan tanpa alasan. Seperti kau yang tak pernah
mengabarkan keadaanmu kepadaku. Tentu bukan tanpa alasan. Tapi aku tak pernah
protes. Seperti kau yang tak pernah protes saat gagal aku bawakan edelweiss.
***
Bersambung....
-Sebuah novel yang tidak akan pernah usai-
0 komentar