Pemakaman Edelweiss

11:20 AM




Kebumen, 24 Mei 2019

Setiap kembali ke sekolah ini rasanya pasti lain. Selalu ada cerita yang ditawarkan oleh setiap bagian tempat ini. Mereka dulu seakan merekamnya dan memutarkannya kembali untukku suatu ketika setiap kali kembali ke tempat ini. Semuanya masih tervisualkan dengan jelas. Termasuk perjumpaan-perjumaan kecil yang tak sengaja itu. Ini ceritaku kemarin, baru saja kemarin. Di sini, bersama dia, mereka, dan kau. Kau. Ya, kau yang tiba-tiba tak berkabar semenjak kelulusan enam tahun lalu. Tepat enam tahun lalu, di sini, 24 Mei 2013. Dan kau yang sedari dulu –tadi- duduk tiga ubin disebelahku. Lima menit berlalu. Tigaratus detik kita habiskan dengan mulut yang saling terkunci. Dan entah mengapa kita masih nyaman di sini. Seperti ada kekuatan lain yang memaksa kita untuk tetap bungkam. Dan aku “selalu” nyaman dengan sikapmu itu. Dingin.

Aku masih belum tahu apa yang mengantarkanmu ke sini. Aku kah? Sepuluh menit berlalu. Lima belas menit masih kau habiskan dengan tatapan yang tak aku fahami, sesekali kau membaca sesuatu dari handphonemu, tersenyum, dan kembali diam. Tepat di menit ke dua puluh satu tampak seseorang datang menghampirimu. Sebentar. Aku tak asing dengan wajah ini. Tubuh semampai, kurus, dengan gaya jalan yang khas. AZKA! Ya tak salah lagi, dia Azka. Dengan dua orang yang mengahmpirimu lagi juga sepertinya aku kenal. Ternyata tak banyak yang berubah dari mereka, Aziz masih dengan “gaya” khasnya, aku ingin tahu bagaimana sakit asmanya, sudah sembukah. Dan Adi yang selalu membuat kaget disetiap kedatangannya, dulu aku yang selalu menjadi korbannya.

“Lan udah lama ya? Jam 9 kan janjiannya.”
“Iya jam 9. Aku yang sengaja datang lebih awal kok. Yang lain mana?”
“Ini bakal datang semua kan?” Adi menimpal.
“Emang kamu masih ada kontak semuanya, Lan?” Azka mencoba merobohkan harapan Adi.
“Kita lihat saja.” Benar-benar tak ada yang berubah. Kau tetap dengan caramu. Aku dulu menyebutnya, mudah pergi, easy going.

Kedatangan mereka membuat suasana tak berubah. Kau masih diam. Meskipun sesekali mereka mengajakmu ngobrol, kau tak bergeming dari handphone jadulmu. Beberapa kali kau menimpal percakapan mereka. Entah apa yang kau baca. Tapi tak mengapa, dengan begini aku jadi leluasa mengamatimu. Menyapa bongkahan-bongkahan kenangan yang masih aku ingat. Kita pernah menikmati hujan yang menahan kita di sini. Hidrokarbon. Syair. Apa lagi ya? Yang jelas, ke sini lah jika aku hendak bercakap denganmu. sebentar, lebih tepatnya di sinilah sekarang aku menetap. Kau senang memandang langit, jadi aku kira kita bisa bercakap melalui langit. Baru sadar jika ternyata perjumpaan itu mahal sekali. Dalam satu dimenasi selama hampir 365 hari ternyata tidak sepadan dengan pertemuan yang tak akan hampir setengah hari ini. Dan masih sama dengan dua puluh dua menit yang lalu. Kau masih diam. Kau memang selalu begitu. Tapi aku tak pernah banyak protes. Seperti kau yang tak pernah protes saat aku jadikan tokoh utama dalam setiap cerita-ceritaku
***

Aku selalu nyaman duduk di tempat ini. Menikmati hujan yang pernah menahan kita. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Semenjak kelulusan itu aku memang sengaja menjauh darimu. Tentu bukan tanpa alasan. Seperti kau yang tak pernah mengabarkan keadaanmu kepadaku. Tentu bukan tanpa alasan. Tapi aku tak pernah protes. Seperti kau yang tak pernah protes saat gagal aku bawakan edelweiss.

Lipoma. Sebuah kata yang membuat dimensi kita berbeda. Aku memang tak pernah sekalipun berkabar denganmu. Tapi aku tak berarti buta kabar akanmu. Kau memang benar-benar tangguh. Diam dalam lipatan bahasa tanda tanyamu.
***
Bersambung....


-Sebuah novel yang tidak akan pernah usai-


You Might Also Like

0 komentar