Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home

    Ya Allah, buatlah aku rela dengan keputusan-M, hingga aku tidak suka minta dipercepat apa yang kau tunda, dan minta ditunda apa yang kau percepat

    Jika memang "itu" yang terbaik untukku, agamaku, dan akhiratku, maka dekatkanlah, tapi jika memang "itu" tidak baik untukku agamaku dan akhiratku, maka jauhkanlah ya Rabb..


    Do'a yang akhir-akhir ini menghiasi setiap sholatku..



    Purwokerto, 11 Mei 2017
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Aku sedang asyik menyelesaikan tugas akhirku saat handphone-ku berdering. Sebuah panggilan masuk. Melihat nama yang tertera di layar 4 inch itu aku penasaran dan bergegas mengangkatnya.
    “Hallo, Mba?,” kataku mengawali perbincangan kami.
    “Hallo, Nay, Assalamu’alaykum,” balas suara wanita dibalik sana.
    “Wa’alaykumsalam. Ada apa, Mba? Tumben telpon?,” kataku segera, seolah tidak sabaran.
    “Naya sehat? Gimana skripsinya?,”
    “Sehat, Mba, alhamdulillah lancar, masih revisi, do’akan akhir Mei ini semhas, Mba.”
    “Aamiin, insya Allah. Target lulus kapan berarti?”
    “Hmmm, September, Mba,” aku ragu-ragu menjawabnya, bukan tidak yakin September ini aku akan lulus.
    “Naya jadi pulang ke Surabaya pertengahan Mei ini?”
    Ah padahal aku baru saja mengabarkan pada ibu bahwa aku membatalkan jadwal kepulanganku agar bisa menyelesaikan skripsi segera, dan ibu tentu mengizinkan, “Hmmm ndak jadi, Mba, lagi dikejar deadline.”
    “Ohh gitu,” dari nada bicaranya beliau nampaknya kecewa.
    “Mba boleh minta alamat email Naya?”
    “Boleh, Mba, Naya kirim lewat chat ya,” jawabku sambil mengirimkan alamat emailku. Sampai titik ini aku tidak curiga sedikitpun.
    “Nay, sebenernya, Mba pingin ngobrol banyak sama Naya, pingin ketemu langsung biar ga salah persepsi, biar jelas gitu,” Mba Okta memotong pembicaraannya, aku hanya mendengarkan dibalik layar handphone.
    “Ga apa-apa kalau disampaikan lewat telpon saja ya, Nay? Naya lagi di mana?”
    “Iya mba, ga apa-apa, Naya lagi di kos juga kok, Mba.”
    Perasaanku mulai tak karuan pada saat ini.
     “Gini, Nay, akhir bulan lalu, ada seorang ikhwan, insya Allah sholeh, insya Allah ia lebih mencintai Rabbnya dibanding apa pun, insya Allah niatnya mempersuntingmu pun juga murni untuk menyempurnakan separuh din-nya.
    Napasku mulai naik turun, menahan agar tangisku tak lagi pecah seperti pagi itu.
    “Naya mungkin ga kenal, tapi dia sebenarnya sudah mengenal Naya sejak SMA, bukan kenal, tahu lebih tepatnya. Ingat pernah bikin Ramadhan Camp, Nay? Nah, beliau adalah salah satu mahasiswa yang join dengan panitia itu.”
    Aku mengingat-ngingat lagi siapa saja yang waktu itu menjadi paniti Ramadhan Camp. Ah, sial, dalam kondisi seperti ini aku tidak mampu mengingat apa pun, lebih lagi acara itu sudah berlalu enam tahun lalu.
    “Mba dan Mas Aji sudah membaca proposalnya. Dia memang langsung mengutarakan niatnya mempersunting Naya Khalida. Visi, misi, kondisi ekonomi, dan semuanya jelas dituliskan di proposal, Nay, kriteria pendamping yang dia cari juga mirip kepribadianmu, padahal dia mengaku ga kenal kamu sama sekali dan selisih tiga tahun di atasmu, jadi memang ga pernah satu waktu di SMA. Mungkin benar jodohmu, Nay.
    “Nay?”
    “Hah, iya, Mba?” jawabku kaget.
    “Wajar kok kalau kamu kaget, ga nangis kan tapi? Hehehe,” goda Mba Okta.
    Aku hanya menjawab, “Hehe”.
    “Proposalnya, Mba kirim ke kamu ya?”
    “Hah? Jangan, Mba, jangan,” sergaku segera.
    “Kenapa, Nay? Kamu belum siap?”
    “Iya, Mba.”
    “Nay, kita tidak akan pernah siap menikah, bahkan orang-orang yang sudah menikah pun merasa tidak siap saat mereka tengah menjalani pernikahan.”
    “Bagaimana mungkin berangkat dengan tangan kosong, Mba?”
    “Ah, tidak, mengenalmu hampir tujuh tahun, tidak mungkin kamu belum mempersiapkan apa pun untuk hal se sakral itu. Sudah berapa kisah sahabiyah di sirah yang kamu baca? Sudah berapa banyak buku psikologi yang kamu baca? Sudah seberapa jauh kamu berlatih memasak? Merawat diri? Merawat rumah?”
    “Mba....”
    “Naya, kalau kendalamu belum lulus, masih ada tiga bulan untuk mu menyelesaikan semuanya, kalau kendalamu orang tuamu, yang ada pada dirinya insya Allah tak membuat orang tuamu ragu atasnya.”
    Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Tangisku pecah. Untuk kedua kalinya. Untuk persoalan yang sama. Dan Mba Okta tahu setiap kali hatiku tidak baik-baik saja.
    “Naya pikir-pikir dulu, Mba.”
    “Harus, konsultasikan ke murobbimu, dan jangan lupa konsultasikan ke Rabbmu ya, Nduk.”
    “Iya, Mba. Proposalnya jangan dikirim dulu tapi ya.”
    “Hahaha, iya, nanti kabari ya kalau udah ada jawabannya, libatkan Allah ya, ndak baik nolak laki-laki yang baik agamanya, takut fitnah. Dokter loh dia.”
    Ndak baik nolak laki-laki yang baik agamanya, takut fitnah. Kata-kata itu menutup perbincanganku sore ini. Aku menelungkupkan wajah ke bantal, membenamkan tangisku ke dalamnya. Apa aku belum lulus dengan ujian sebelumnya? Apa ini ujian yang lain? Pertanyaan itu kubiarkan menggantung di langit-langit kamar.

    Continue Reading


    Ketika 24 jam sehari terasa kurang. Ketika jam tidurmu hanya 4 jam. Ketika waktu makanmu tidak lagi menjadi perhatian. Jangan menunda pekerjaan dan jangan menyusahkan orang lain. Sebagian besar orang hanya ingin tahu masalahmu, bukan untuk peduli. 

    Entah sejak kapan aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika memang masih bisa aku kerjakan sendiri, aku kerjakan sendiri, jika bukan aku benar-benar butuh, aku tidak akan minta tolong. Dan malam ini untuk kesekian kali aku belajar lagi. Semoga menjadi pelajaran untukmu, Bil, untuk tidak menggantungkan apa pun pada siapa pun.
    Continue Reading
    patahkan hati penulis, maka karyanya akan menggema


    malam ini aku setuju dengan kata-kata itu...

    Purwokerto, 22 April 2017
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Aku tahu kamu kuat. Aku tahu mungkin kau bisa menyelesaikan masalah-masalahmu sendiri. Melakukan perjalanan ke mana pun sendiri. 

    Tapi kau tak boleh selalu kuat. Tidak boleh. 
    Kau harus punya lubang kelemahan yang bisa ditambal oleh orang lain.
     Kau harus memberi kesempatan orang lain untuk berarti dalam hidupmu.



    Pesan murobbi untukku, setelah setahun menjadi mutarabbinya :)

    Purwokerto, 22 April 2017
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Salah satu alasan yang membuat cinta orang tua kepda kita terasa begitu murni adalah penerimaan.

    Mereka selalu mau kembali menerima kita dalam kondisi apa pun. Mau wajah kita pucat karena sakit, badan menggemuk karena penelitian, muka berjerawat karena terkontaminasi larutan, sekusam apa pun fisik kita, mereka tetap menerima kita "pulang"

    Mereka yang paling besar khawatirnya saat kita sakit. Meluangkan waktunya untuk menjaga kita. Tidak takut tenaganya habis karena bolak-balik rumah-rumah sakit.

    Karenanya mereka adalah sebaik tempat pulang. Dengan mereka semua tempat adalah rumah. Suara mereka adalah yang paling kita rindu. Gara-gara dengar batuk bapak-bapak sebelah yang suaranya mirip bapak kalau lagi batuk aja bisa bikin tulisan ini tercipta.

    Tanpa mereka perlu menunjukkan rasa, cinta mereka selalu paling bisa masuk ke hati kita. Tanpa mereka perlu capek-capek menunjukkan sayang, kita tahu bahwa mereka sungguhan sayang.

    Selalu pura-pura tidak apa-apa ketika kira gagal, padahal dalam sholatnya mereka mungkin menangis,

    Maka sering kali, kita kesulitan menerima seseorang masuk ke dalam hidup -apalagi, ruang hati- kita.
    Mana yang tidak pura-pura
    Mana yang nantinya ternyata menghianati dan ada maunya
    Mana yang memaksa kita tumbuh menjadi apa yang dia mau, bukan apa yang Dia mau
    Mana yang perasaanya berubah saat fisik kita berubag
    Mana yang membuat kita makin baik tanpa perlu merendahkan kita
    Mana yang ittaqillaahnya begitu besar

    Semua akan terasa sulit, memilih ditengah tujuh milyar manusia yang semakin penuh dengan pencitraan

    Karena sejak kecil sekali, kita sudah terbiasa dengan cinta orang tua. Yang tidak pura-pura, yang selalu jadi tempat kita pulang



    Purwokerto, 20 April 2017
    Azifah Najwa

    tulisan kesekian tentang penerimaan
    Continue Reading
    Aku lelah, tapi biar mataku saja yang bercerita. Aku ingin berhenti sejenak, tapi biar kakiku saja yang mimilih langkahnya. Aku butuh teman, tapi biar dua tanganku saja yang saling menguatkan.


    Kebumen, 7 April 2017
    Azifah Najwa

    Sudahkah aku mengaminkan bahwa seorang diri jauh lebih membuatku nyaman?
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ▼  2021 (10)
      • ▼  November (1)
        • Jogja
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ►  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ►  September (15)
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • Pertemuan
      Seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada pertemuan yang tanpa sengaja pun yang sengaja untuk tidak disengaja atau tidak sengaja untuk mencoba...
    • 08.17 p.m.
      Cinta adalah ibu yang setiap hari memasakan makanan untuk kami, dan tak sabar melihat anak dan suaminya tak beranjak dari meja makan karena ...
    • Do'a-Do'a
      Apa yang ada di benak kita, apa yang terus kita khawatirkan adalah do'a-do'a yang tanpa sengaja terus kita dengungkan Iya, do'...
    • Dandelion - Perbedaan
      Aku suka saat kita memperdebatkan hal-hal kecil. Aku suka saat kau memarahiku karena sesuatu yang aku anggap benar tapi salah bagimu, begad...
    • Dandelion, Done!
      Sebelum menutup kisah ini, boleh aku bertanya kepadamu? Tentang kapan Waktu yang diperbolehkan untukku berhenti menghitung cinta yang ka...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top