Menciptakan Momentum
1:29 AM
oleh:
Nabila Faradina Iskandar
Staf Kementerian Kajian Startegis BEM Kema Faperta
Universitas Jenderal Soedirman
Para pemikir negeri yang saya hormati,
euphoria perjuangan senantiasa terasa di setiap perayaan hari pahlawan. Sejarah
pernah mencatat bahwa 69 tahun silam, bumi Surabaya menjadi saksi penolakan
mentah-mentah ultimatum yang digulirkan pasukan NICA oleh masyarakat Indonesia.
Pada saat itu, semua lapisan masyarakat seakan memiliki Indonesia. Betapa
beraninya kita sebagai negara yang baru berumur 85 hari pada masa itu. Seyogyanya,
di usianya yang ke 69, separuh abad lebih adalah waktu yang lebih dari cukup untuk
mencetak generasi dengan kapasitas sama dengan generasi 69 tahun silam.
Indikasinya cukup jelas, kebanggaan atas
bangsa dimiliki oleh setiap warga pada masa itu. Betapa hebatnya martabat kita
untuk lepas dari belenggu penjajahan. Tentu bukan sekadar karena perjalanannya
sangat jauh untuk mencapai sejarah monumental kemerdekaan. Tapi untuk alasan
kemerdekaan negara ini dibangun dengan cita-cita yang agung. Dalam UUD 1945
dijelaskan bahwasannya negara ini berdiri dengan tujuan untu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Yang
menjadi biduk permasalahan saat ini justru bagaimana perjalanan ke depan negara
ini dalam meraih cita-cita bangsa dengan kondisi generasi muda yang minim rasa
kebanggaan.
Generasi yang ada sekarang adalah
generasi yang jauh dari hiruk pikuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka
hidup dengan merdeka dan dalam struktur sosial yang mulai terkikis.
Berkembangnya arus globalisasi membuat generasi muda mengalami “pendewasaan”
dengan begitu cepat. Mereka ditawarkan dua bilah mata pisau, menjadi orang yang
berintelek juga sebagai orang yang bisa dibodohi. Menjadi penguasa atau
pecundang. Era ini seharusnya dapat melahirkan generasi dengan intelektualitas
yang tinggi, tidak hanya intelektualitas secara kapasitas otak tapi juga dalam
menyikapi arus pergerakan zaman. Namun yang ada, fasilitas yang ditawarkan
globalisasi hanya ditelan mentah-mentah oleh generasi sekarang. Padahal
masalahnya tidak seremeh-temeh itu, bangsa ini butuh regenerasi yang akan
menjadi penggerak perubahan-perubahan besar di masa yang akan datang.
Terkikisnya rasa kebanggaan pada tanah
air begitu jelas terlihat hampir dalam semua elemen kehidupan generasi muda
sekarang. Salah satunya persatuan. Globalisasi selain membawa sarat muatan
teknologi invormasi juga membawa budaya individualisme. Dapat kita rasakan,
generasi muda sekarang adalah mereka yang apatis terhadap kondisi lingkungan
sekitar. Mereka tahu tapi selalu mencoba menutup mata. Generasi-generasi gadget ini hanya memedulikan bagaimana
memenuhi apa yang dia inginkan hari ini dapat terpenuhi bukan apa yang bisa dia
berikan untuk bangsa ini. Padahal, persatuan adalah poin utama dalam menyikapi
berbagai masalah. Terseok-seoknya perjalanan bangsa ini juga disebabkan karena
sikap generasi mudanya yang apatis.
Di dalam tekanan arus perubahan global,
modernisasi dan westernisasi turut serta menjadi penyebab terkikisnya rasa
kebanggan akan bangsa Indonesia. Generasi muda sekarang tengah mengalami apa
yang disebut dengan krisis identitas. Salah satu faktor yang menyebabkan
terbentuknya pola pikir tersebut adalah bahwa pemikiran barat lebih maju dan
lebih elegan sehingga terkikisnya rasa bangga atas budaya sendiri.
Jika ditarik dari awal mula sejarah
perjalanan bangsa Indonesia, kita telah kehilangan momentum penting dalam
perbaikan mental dan kualitas generasi kita. Kita terlalu asyik berjibaku
dengan urusan politik pasca proklamasi kemerdekaan. Hingga kita lupa menyiapkan
generasi untuk menggerakkan estafet
bangsa ini. Tentu ini bukan hal mudah, mengubah pola pikir yang sudah terlanjur
mengendap. Perlu sinergisitas setiap elemen bangsa untuk menghadirkan kembali
momentum hari pahlawan. Bagaimana kita menyiapkan generasi yang tidak hanya
menelan bulat-bulat tekanan globalisasi tapi juga generasi yang mampu
mentransformasikan fasilitas globalisasi sebagai jalan untuk menciptakan
momentum baru bagi bangsa ini.
Nabila
Faradina Iskandar
Staf Kementerian Kajian Startegis BEM
Kema Faperta
Universitas Jenderal Soedirman
0 komentar