Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home

    Eucheuma cottoni. Temen baru. Layaknya teman, aku perlu mengenalnya lebih dekat untuk tau karateristiknya, bagaimana harus aku perlakukan, apa yang dia sukai dan tidak sukai. Apa yang membuatnya bahagia, apa yang membuatnya sedih. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengeras saat aku terlambat mengangkatnya dari cabinet drier. Apa yang membuat bau amis yang menempel di tubuhnya tetap tidak hilang meski sudah aku rendam dengan air jeruk berjam-jam, meski sudah aku bilas berkali-kali dengan air mengalir. Memperlakukannya membutuhkan kesabaran ekstra. Aku grinder, susah sekali hancur, luar biasa keras, jangan remehkan rumput laut, meskipun nampaknya lunak. Aku ayak hanya 5% saja rendemennya. Aku buat nanopartikel dalam waktu 3 jam hanya bisa mendapatkan 10 gram. Aku formulasikan dengan yoghurt, yoghurtku seketika menjadi agar-agar, salah satu sifatnya sangat hidrofilik. 

    Lalu kenapa ambil penelitian ini, Bil?

    Aku ga mikir waktu bikin proposal ini :D
    Yang jelas tidak akan ada usaha yang berkhianat kok :)

    Lab. TP, 30 Desember 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    "Kadang penelitian hanya perlu dijalani. Toh lulus bukan lomba lari"

    Mungkin gini ya, kenapa dulu sering nemuin mba-mba ITP nangis di lab waktu penelitian, mungkin kayak gini rasanya, ga jelas, planning berantakan,  lulus yang belum jelas kapan, untungnya jadwal semhas udah pasti, kalau ga selasa ya kamis.

    Kelanjutan penelitianku benar-benar bergantung pada hasil analisis nanopartikel. Jika pun itu keluar tanggal 3, aku hanya memiliki waktu 5 hari untuk formulasi dan uji panelis. Itu yang penting, uji panelis. Aku butuh sedikitnya 20 orang untuk uji panelis, jumlah yang sedikit jika itu dilaksanakan di hari efektif perkuliahan. Benar-benar bermain dengan waktu. Harusnya aku tanggal 20 lalu sudah uji panelis, tapi? Ah sudahlah. Kemungkinan terburuk, uji di tikus baru bisa aku lakukan pertengahan maret. Atau malah awal bulan April. s e n y u m i n   a j a. :)

    Lab. TP, 30 Desember 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Ga kerasa ya udah selama ini kita dekat

    Kerasa yaaa
    Udah berapa kali coba aku ngambek?

    Ga keitung udah berapa kali

    Ga keitung?
    Segitu seringnya aku ngambek ya?

    Coba kamu itung, udah berapa kali? Aku ga inget berapa kali kamu membuat aku jengkel
    Yang aku tahu hanya berapa kali kamu membuatku tertawa bahagia

    Berapa?

    Selamanya :)


    Rentang Tunggu, 3 Juni 2015
    Azifah Najwa

    di repost, biar selalu inget dan makin cinta <3
    Continue Reading

    "Kamu kok ga pernah nulis di blog lagi?"

    "Hmmm, gapapa"

    Pernahkah kau merasa bosan membaca tulisan-tulisanku saat sebenernya kau sudah tau segalanya?

    Kau tahu bagaimana caraku menulis. Kau tahu bagaimana perasaanku. Kau bisa menebak apa pun yang akan aku ceritakan. 

    Apa kau tidak bosan membaca tulisan-tulisanku? Apa kau berhasil menemukan perbedaan-perbedaan kecil dari banyak hal yang sama yang aku tuliskan setiap saat untukmu? Apakah suatu hari aku akan tahu, bahwa kau sudah membaca semuanya tanpa debar yang sama saat aku menuliskan sebuah uisis cinta untuk yang pertama kalinya? Apa aku masih mempunyai kemampuan untuk memberimu hal yang sama tapi berbeda?

    Setiap hari aku mencari hal yang sama untuk kuungkapkan padamu dengan cara yang berbeda. Kadang-kadang aku harus mengungkapkan semuanya dengan "lembut" atau harus aku sampaikan dengan meledak-ledak, penuh ekspresi. Mudah-mudahan kau bisa mengerti semua usahaku untuk memberimu 'hal yang sama tapi berbeda' itu.

    Aku ingin mencintaimu lebih dari sekadar kata "Love you", atau satu mangkuk sop jamur, apalagi berbarus-baris puisi. Aku ingin mencintaimu dengan berbeda.


    Sepertinya aku telah kehilangan kemampuanku untuk membuatmu mengagumi tulisan-tulisanku, seperti untuk pertama kali. Untuk itulah aku tuliskan semua ini. Semua hal yang sama tetapi berbeda.

    Semoga kau bahagia membacanya. Semoga kau memaafkanku yang susah sekali menghafal jalan >_<



    Purwokerto, 26 Desember 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Ketika, setiap detik bersamamu terasa begitu berharga~

    Purwokerto, 13 Desember 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Ada yang harus menerima, menjadi bukan yang pertama
    Ada yang harus sadar diri, bila menjadi bukan yang terakhir

    Dalam hidup kita masing-masing
    memang kita tak bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan
    apa yang kita harapkan
    apa yang kita impikan
    apa yang kita doakan
    Waktu demi waktu kita sadar
    bahwa semua hal sudah seharusnya diterima
    tidak banyak pertanyaan
    tidak banyak keluhan
    tidak banyak penyangkalan
    Serupa jatuh cinta pada seseorang

    Aku tentu masih ingat kapan pertama kali bertemu kau
    kapan pertama kali jatuh cinta padamu
    dan kapan pertama kali yakin
    bahwa kau bisa menjaga apa yang selama ini kujaga dengan begitu baik
    : Hatiku

    Mungkin aku adalah orang yang ke sekian,
    yang berani mencuri hatimu
    perlahan-lahan menggantikan dia
    perlahan-lahan mencoba mendapatkan tempatku sendiri
    Tahukah kau, aku selalu mencintaimu
    sejak kali pertama aku yakin atasmu
    sampai detik dimana aku semakin yakin atas kita

    Ya, aku mencintaimu
    dengan sekeping rasa percaya
    bahwa kau juga mencintaiku
    sebagai diriku sendiri
    sebagai sosok yang murni dirinya
    : Bukan sebagai pengganti siapa-siapa

    Rentang Tunggu, 9 Desember 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    November ceriaaa


    Belajar tentangmu tidak cukup dalam bilangan hari, bulan, perlu bertahun-tahun. Siapa yang menyangka, jika semarah-marahnya kau padaku, kau tetap peduli. Siapa yang menyangka, jika sekesal-kesalnya kau padaku, tetap mendengarkan ceritaku, tetap memperhatikan apa yang aku butuhkan.

    Sedari dulu aku selalu tahu, kau bukan orang yang pandai mengungkapan perasaanmu. Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan perbuatan. Lalu? Jadilah dirimu yang seperti itu :')

    Love. Love. Love!

    Ga lagi-lagi kok, ngambek terus pulang jalan kaki sendiri, hahaha


    Purwokerto, 30 November 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    "Bil, sibuk?"
    "Ngelab, sini temenin"
    "Sendiri?"
    "Ya sama siapa lagi."
    "Di Lab. TP?"
    "Iya, lantai 2 ya, kalau ga di Lab. Pengolahan di Lab. Manajemen"
    Beberapa menit kemudian sudah di depan pintu. Bawa es krim stroberi.
    "Waktu beli ini uangnya ga kurang kan?," Aku bertanya, khawatir dia melakukan kesalahan yang sama untuk kali kedua. Kemudian tawa kami pecah. Sambil menikmati es krim yang ia bawakan dan mengayak tepung rumput laut, aku bertanya-tanya, apa yang mengantarkannya ke sini?
    "Ga takut, Bil sendiri?"
    "Udah biasa."Dia hanya berdehem. Aku tahu hatinya sedang tidak baik-baik saja.
    "Mau ngajak aku makan di Jogchik?"
    "Wkwkwk emang tempat favorite sih, tapi aku mau nemenin kamu di lab aja."
    "Oke, ambilin loyang di cabinet dong". Lalu obrolan kami mulai ngalor-ngidul. Ketawa. Serius. Ketawa lagi. Hingga..
    "Bil, pernah dikecewakan?"
     Aku diam. "Pernah."
    "Kamu dikecewakan kenapa emang?"
    "Karena aku terlalu berharap."
    "Lalu?"
    "Aku biarkan saja"
    "Sakit?"
    "Jelas."
    "Lalu?"
    "Aku biarkan saja."
    "Bisa?," aku hanya berdehem. 
    “Kamu gak marah?”
    Aku menatapnya. “Kalau yang kamu tanyakan apa aku marah, aku tidak marah.” Aku mengambil loyang dari cabinet, “Tapi tidak dengan kecewaku, tidak dengan ingatan bahwa orang yang paling aku percaya sekalipun bisa mengecewakanku.”
    Dia menatapku yang tengah memindahkan rumput laut ke grinder lamat-lamat.  “Kau pernah membayangkan bagaimana melanjutkan hidup dengan kepercayaan yang tak lagi utuh?” Dia menggeleng. “Aku juga tidak pernah bisa membayangkan,” jawabku sambil tersenyum. “Aku tidak marah. Tapi tidak dengan kecewaku, kecewaku tidak selesai hari itu juga. Tapi tidak dengan ingatan-ingatan itu.” Aku mengehentikannya.
    “Lalu apa yang kamu lakukan setelah itu?”
    “Penelitian.”
    “ Biilll,” jawabnya sambil cemberut.
    “Hahaha, aku jalani saja hidupku.”
    “Begitu saja? Bagaimana dengan hidupnya?”
    Aku balik menatapnya. Kekecewaan itu jelas tergambar dari gurat wajahnya. Kekecewaan itu pula yang memberikannya kekuatan menerobos hujan dan membelikanku es krim. Mengunjungiku di tempat magis di kampus ini, laboratorium. Hatinya pasti sakit. Kekecewaan itu teramat dalam mengoyak hatinya. “Sebagian besar masalah di dunia ini selesai dengan penerimaan.” Dia menatapku dengan serius, menahan air matanya agar tidak tumpah. “Iya, begitu saja, begitu terus hingga hari demi hari, hingga kecewa itu tidak terasa lagi sakitnya, hingga harapan itu tidak lagi aku pupuk setiap harinya. Selalunya, dikecewakan itu sakit.”
    Kali ini air matanya benar-benar tumpah. Diluar hujan turun dengan derasnya. Membuat tangisnya tak bersuara.



    Tadi kamu ke lab? Hari ini aku ga ke lab. Kamu sudah baik-baik saja? Mau beli es krim lagi? :)


    Purwokerto, 20 November 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Katanya alay -_-
    Oke, besok-besok ga lagi

    Purwokerto, 14 November 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Ada yang iseng ngingetin smansa pagi ini. Membuatku searching video-video tentang smansa. Buka file lama tentang rohis, buka file-file lama tentang NeoRamdhanz. Ada mimpi di sana. Ada cita-cita. Ada harapan. Saat perpisahan liqo terakhir, murobbiku berpesan, 

    "Fokus dan jadilah yang terbaik di tempat kalian. Curi ilmu sebanyak-banyaknya. Lalu, pulanglah." 

    Purwokerto, 8 November 2016
    Azifah Najwa


    Continue Reading

    Ada banyak hal yang berubah sejak kau tak disini
    Ada "kebiasaan" yang tak semangat lagi dilakukan 




    Sudah malam dan lapar, maka masaklah
    Masak karena lapar, bukan diminta


    Purwokerto, 5 November 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Perempuan itu selalu sederhana, yang rumit moodnya. Dan khawatirnya. Dan rindunya. Sekian.


    Hi, new month!

    be mine please


    Purwokerto, 1 November 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Di sini tempat favoritku baca buku, depan jendela. Tadi pagi temanku mengantarka buku ini ke kamar, sambil bilang, "Bil, bukumu luar biasa!" Aku tak mengerti. Buku ini aku dapatkan hampir setahun lalu, saat aku membeli tas, dapat bonus pouch juga #bukanendorse, hehe. Waktu itu ditanya sama CSnya mau buku Asma Nadia yang judulnya apa, saya bingung, karena saya memang tidak terlalu hafal dengan buku-buku beliau. Saya jawab saja, "Pilihkan saja mba, yang sekiranya bermanfaat untuk saya, saya masih mahasiswa dan sekarang semester 5, hobi nulis dan baca :)"

    Jadilah, saat paket itu datang, yang saya dapatkan ternyata buku ini, Catatan Hati Seorang Istri. Sambil bertanya-tanya, "Kok ini?", Saya berujar, "Suatu hari mungkin bermanfaat". Saya sampul kemudian saya simpan. Saya baru baca 1 kisah, tentang seorang istri yang suaminya meninggal. Tidak sesimpel kalimat yang saya tuliskan tentunya. Kemudian saya menutupnya, bukan tidak tertarik lagi, tapi tidak sampai hati jika menemukan kisah yang sama.

    Saya kembalikan ke rak buku dan saya lanjutkan hari-hari saya seperti biasa. Saya punya perpustakaan kecil di kamar, anak-anak kosan sering pinjam, saya tidak masalah, yang penting laporan dan dikembalikan.

    Saat tadi pagi teman kosan mengembalikan ini dan mengatakan, bukunya luar biasa, saya jadi penasaran. Saya baca resume singkatnya di halaman belakang. Dan menemukan tulisan "Akankah abadi cinta yang telah terikat oleh tali suci, jika tak kau jaga sepenuh hati?" Saya diam sejenak. Lalu mulai takdzim membaca lembar demi lembarnya.

    Saya suka sekali belajar. Dan pagi ini saya belajar dari kehidupan orang lain, dari wanita-wanita tangguh yang lebih dulu lahir dari saya, yang memperjuangkan apa pun demi keluarganya. Pada kenyataannya, seorang istri seringkali jatuh bangun mencari kekuatan.


    Purwokerto, 22 Oktober 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Begitupun pertemuanku denganmu

    Hingga aku merasa, perlu mengingat kau dengan baik, membuat kau merasa bahagia dengan berada disampingku

    Karena esok, kita tak pernah tau bagaimana jalan yang akan kita lalui, kita tak pernah tau pertemuan mana yang akan menjadi pertemuan terakhir kita


    Bila setiap yang datang pada kita adalah kepergian, mari kita bersiap! :)


    Tulisan ini untukmu...





    Kau tahu, bagian mana yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan?
    Berpisah karena kematian

    Tidak peduli seberapa besar kau merindukannya
    Dia tidak akan kembali, tidak akan pernah


    Purwokerto, 21 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Selain mengasingkan diri, tujuanku pulang kali ini juga untuk menikmati waktu-waktu terbaik saat aku masih bisa di rumah. Aku dibesarkan di rumah ini. Setiap bagian rumah ini merekam bagaimana aku tumbuh. Bagaimana aku belajar berjalan. Bagaimana aku menghabiskan waktu bermain di halaman rumah. Bagaimana aku menghabiskan waktu tidur siangku di semua sudut rumah ini. 

    Dulu, di tempat yang sekarang jadi ruang makan, ibu meletakkan almari di situ, dan aku buat rumah-rumahan di belakangnya. Dulu, setiap aku pulang sekolah, teras rumah aku jadikan sebagai tempat sekolah-sekolahan, mengajari teman-temanku atau adik kelas, aku bagi mereka menjadi beberapa kelas, dan aku semua yang menjadi gurunya. Dulu, garasi yang sekarang penuh oleh mobil lantainya masih tanah dan aku jadikan kandang kelinci, lalu ibu marah-marah karena bau kotorannya ke mana-mana. Dulu, ruangan yang sekarang jadi dapur kedua adalah gudang yang banyak sekali anak tikusnya, aku dulu sering mengambil paksa mereka dari induknya, lalu aku bungkus dengan kertas kado dan aku bawa ke sekolah. Dulu, kamar yang sekarang aku tempati adalah tempat transit baju-baju sebelum di setrika, aku dan Ulfi sering berlomba-lomba untuk melipat baju sebanyak mungkin setiap hari minggu, tidak ada yang memberi hadiah, tapi kami semangat melakukannya. Dulu, halaman samping rumah yang kini dijadikan bapak untuk menjemur padi dulunya adalah tempatku bermain masak-masakan atau rumah-rumahan dari tanah, Dulu, sebelah kanan rumah, sebelum dibangun TK adalah tanah kosong yang penuh dengan semak belukar, konon banyak kuburan belanda di sana, dan alasanku bermain di sana adalah untuk membuktikannya. Dulu, setiap jam segini halaman depan rumah selalu ramai oleh teman-temanku, kadang kami bermain tali, kadang kasti, kadang sepak bola. Dulu, belasan tahun lalu.


    Seharian ini aku mengamati setiap sudut rumah ini. Memutar ulang kejadian-kejadian belasan tahun silam. Rumah ini sangat sepi sekarang. Tak ada lagi anak-anak yang bermain. Tak ada lagi bola-bola berserakan. Tak ada lagi teriakan-teriakan. Jam-jam segini biasanya hanya Bela yang di rumah, seorang diri. Jika tidak tidur, Bela memilih pergi untuk membunuh sepinya. Sebentar lagi, satu per satu penghuninya akan pergi. Menyisakan ibu dan bapak. 


    Rumah yang jadi tempat pelarian. Rumah yang jadi tempatku tumbuh besar. Rumah yang juga tak lama lagi akan aku tinggalkan.


    Rumah, 18 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Kemarin, air mataku jatuh saat kau seharian mengacuhkanku. Sementara tanganmu mendekapku erat seolah berkata “aku di sini"

    Kau tahu, saat itu aku merasakan sebenar-benarnya kedamaian

    Aku ingin memanggilmu cinta, setiap hari. Setiap kau menceritakan film-film yang baru kau tonton. Setiap kali kau menghargai masakanku. Setiap kali kau mendengarkan ceracauanku. Tapi sayangnya, aku tidak seromantis itu. 

    Aku tahu, jika ada orang yang paling sabar, kau adalah orangnya. Tentu saja, siapa pula yang mau menungguku hingga berjam-jam. Menghadapi  sikap kekanakanku. 

    Awalnya aku fikir kau bukan manusia.
    Ternyata perkiranku benar, kau memang bukan manusia tapi malaikat yang menyamar menjadi sahabatku. 

    Kau selalu memberikan cintamu dengan cara yang sempurna. 

    Aku ingin memanggilmu cinta, setiap hari, setiap namamu menjadi semangatku untuk menyapa dunia.

    Ini belum berakhir, masih banyak kata yang ingin aku tuliskan, selalu ada ratusan ribu kata yang selalu ingin aku rangkai setiap kali menatapmu.

    Aku ingin memanggilmu cinta. Dan aku ingin mencintaimu seperti aku mencintai detak jarum jam yang sering mengingatkanku tentang keberadaan Rabbku.


    Terima kasih telah membuatku rindu, sering-sering gapapa kok, biar ada tulisan buat menuhin blogku :D


    Dandelion, 17 Oktober 2016
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Karena yang tulus sekalipun, akan pamit pada waktunya :)

    Intinya, segala sesuatu tidak ada yang abadi. 

    Hello Purtoricooo /^^/
    Awal tahun 2016 lalu aku pernah menulis di whiteboard kamar seperti ini "Kurangin ekspektasi, banyakin main!"

    Setiap ucapan adalah do'a. Udah main ke mana aja, Bil tahun ini? :D

    Hamdalah. Sudah kubilang kan, aku udah berkali-kali kalah. Jadi pulang tidak membawa piala hal biasa #pura2tegar, haghag. Serius, aku baik-baik saja. Karena aku merasa sudah mengerahkan kemampuan terbaik. Mempelajari ulang bagaimana pengalaman di 8X final LKTI yang sudah-sudah. Trial berkali-kali. Membuat ppt, yang alhamdulillah kata sebagian peserta ppt.nya bagus, padahal biasanya aku paling males ngedit-ngedit begituan, tapi lagi-lagi, karena ini final LKTI terakhir, maka aku coba kerahkan kemampuan terbaik. Tidak menyesal. Tidak sedih. Tidak kecewa. Tidak nelangsa. Aku puas! 

    ITB, ITS, IPB, aku akui kapasitas kalian dalam bidang teknik luar biasa. Belajar banyak, apa itu apatit, apa itu nanotube, apa itu karbon, apa itu membran, dsb. Kebiasaan memang tidak pernah membohongi kemampuan ya. Wajar saja, Prof. I Gede menyampaikan, bahwa setiap minggunya, bimbingannya minimal harus membaca 10 jurnal, mereview dan menganalisis, apalah arti kompetisi paper bagi mereka, patut jika mereka menjadi juara. Dan yang jelas, ada ilmu baru yang aku adopsi dari mereka.

    Ilmu baru. Cinta nanoteknologi. Jembatan ampera. Palembang. Punya porsiding. Tim terbaik. Saudara baru. Masih sedih ga juara? Kufur nikmat dong.


    Terima kasih Tri Mulyono, Nungky Suryo Nugroho, tim LKTI pertama, ter-zonk, ter-ga jelas, but both of you give me many learning.

    Terima kasih Nurul Angraini, Imron Gempur Saputro, yeaay kita Juara 1.

    Terima kasih Abdul Rohim, Hafidz, tim tergokil dan terembuh, haha

    Terima kasih Tri Irawan, Nurul Defriani, tim ter-lala yeye, terlalu banyak cerita sama mereka~

    Terima kasih Winduningsih, Ana Andiana, tim ter-emesh :3

    Terima kasih Lisa Aprilia Riyanto, Hana Zahidah, satu kata; kalian ter-baik!


    Jadi, nak kemano lagi kau, Bil? B-)


    Gottingen!

    Semoga audit Indofood, Januari nanti di Flores yak :D


    Purwokerto, 9 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Tenang itu sumber ketentraman. Angsa yang tenang di permukaan kakinya sibuk mendayung

    Yang perlu kita tahu, Allah tau yang terbaik untuk kita, itu saja untuk membuat kita tenang. Jangan panik, nanti tenggelam. Tenang saja.

    Rasanya kayak kopi good day, banyak rasa. Kaya nano-nano, rame rasanya. Fuffuu, siapa sih yang ambil undian hah? Siapa? :'')


    Palembang, 6 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading
    Membiarkannya bermain dengan sepinya sejenak. Karena pada akhirnya, ketika dia perlu menceritakannya padaku, ekspresinya sudah berubah, hatinya lebih tenang. Saat-saat seperti ini yang tidak aku tahu darinya, entah dia berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri, atau ada orang yang membantu menyelesaikannya, atau ia dapat mengendalikan perasaannya. Tak semua jenis kepribadiannya kutahu persis. Yang kutahu, dia istimewa...


    Mau nyobain jaket kesayanganku? Dia tenang dan menghangatkan. Kayak kamu :3

    Palembang, 6 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading


    Selamat pagi, Palembaaaaang ^^


    Palembang rasa Sumampir, you know why? Karena murrotal yang diputer sama kayak murrotal yang di puter di Sumampir setiap subuh gini, murrotal Mishary Rasyid, murrotal favorit, QS. Al Baqarah

    Sebulan yang lalu, waktu itu aku masih di Salatiga saat pengumuman LKTI ini dan beberapa hari setelahnya pengumuman LKTI dari Unhas diumumkan. Dua LKTI sekaligus. Ke luar pulau. 

    "Impianmu sejak 2014. Sudah di depan mata malah bingung kamunya, Bil," ujar Mba Hasna waktu itu.

    "Ya elah, Bil, masa ga berangkat lah, udah sana berangkat," kata Mba Dina.

    Ini tentang kesempatan. Benar memang, kesempatan mungkin tak akan datang dua kali. Aku sudah melepaskan kesempatan exchange-ku saat barus KKN kemarin. -Selain karena alasan harus pakai dana sendiri- Harus aku lepaskan juga kesempatan ini? Tapi berangkat dua-duanya? Dengan selisih waktu satu minggu? Dengan PR PR organisasi yang masih begitu banyak? Dan dengan dengan yang lain..

    Faghfirly, faghfirly, faghfirly...
    Semoga niatku masih tentang berlomba-lomba dalam kebaikan.

    Semoga lain waktu bisa ke Makasar ya. Barangkali ini akan menjadi LKTI terakhirku. Barangkali. Tidak enak hati juga berkali-kali harus meninggalkan amanah organisasi karena alasan final LKTI. Mereka bosan, aku yakin. Final kali ke 8 dari 5X impian. Ke luar pulau. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

    "Bil, kamu suka banget jalan-jalan sih, bulan lalu baru dari Salatiga, sekarang ke Palembang, minggu depannya ke Makasar, abis ini mau ke mana lagi?," gerutu salah seorang temanku.

    "Traveler modal kompetisi!, Hehe". Hamdalah. Tidak semua orang memiliki kesempatan sepertiku. Harus bersyukur, Bil! Gumamku.

    Mohon do'akan! Akan kami persembahkan perjuangan terbaik kami! Bismillah!


    Palembang, 6 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    "Itu apa, Lis? Boneka?," tanyaku saat di stasiun tadi

    "Iya."

    "Kok di bawa-bawa?"

    "Hehe," jawab lisa. 

    "Ah aku tahu, dari doi ya?"

    Dan lisa hanya nyengir. Untung aku dibeliinnya jaket ya, jadi ga usah ribet-ribet bawa boneka, gumamku xD


    Posternya bikin jatuh cinta lagi :3



    Halim Perdana Kusuma, 5 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    "Bil, kamu sekarang berubah." 
    "Bil, udah mulai dewasa ya?" 
    "Mba Nabila sekarang lebih terbuka." Akhir-akhir ini aku sering mendapat pertanyaan itu. 

    Diliputi perasaan penuh tanya aku mengajukan pertanyaan, "Iya? Berubah di mananya? Emang dulu aku tertutup?"

    "Kalau boleh minjem kata-katamu, kamu lebih humanis sekarang."
    "Ya berubah, sering ketahuan nonton film malem-malem, meskipun yang ditonton film barbie. Lebih suka jalan-jalan. Jadi sering masak."
    "Iya tertutup, dulu mba nabila ga pernah bilang kalau lagi ribet apa, lagi sibuk apa."


    Entahlah, yang jelas aku memang merasa ada yang berubah entah sejak kapan. Ya benar, aku memang lebih membuat segalanya easy going, meskipun masih sering aku bikin ribet sendiri. Ya benar, aku memang lebih suka membagi masalahku ke orang-orang yang memang seharusnya terlibat, meskipun sebelumnya aku juga selalu membagi masalahku kepada seseorang. Ya benar, aku sekarang suka sekali menonton film meskipun beberapa film yang aku tonton berakhir dengan kejadian "film yang nonton aku" bukan "aku yang nonton film". Ya benar, akhir-akhir ini aku memang suka sekali jalan-jalan, mewacanakan dan merealisasikan liburan dengan teman-teman dekatku. Yang jelas, akhir-akhir ini prinsipku "nikmati apa yang sedang kamu jalani, Bil!"

    Entahlah, yang jelas kejadian yang aku alami beberapa pekan lalu mengajarkanku banyak hal. Bahwa diacuhkan oleh orang yang kita sayangi sama sekali tidak mengenakan. Bahwa kita tidak pernah tahu apa kejadian yang sama, rasa yang sama, tawa yang sama, tangis yang sama dapat kita rasakan lagi.

    "Nikmati apa yang sedang kam jalani, Bil!"

    Dengan senang hati. Akan aku nikmati keriwehanku saat sedang sibuk-sibuknya organisasi sebelum suatu saat aku akan merindukannya. Akan aku nikmati masa-masa di mana aku bisa tertawa lepas dengan anak-anak kelas yang sebentar lagi kami akan dipisahkan. Akan aku nikmati masa-masa di mana aku bisa menjadi pendengar sebelum masanya nanti tak ada lagi cerita mereka. Akan aku nikmati masa-masa di mana aku bisa ke sana-kemari dengan status delegasi institusi. Akan aku nikmati masa-masa di mana kau memberiku perhatian lebih. Akan aku nikmati masa-masa di mana aku bisa memasakan sarapan untukmu. Akan aku nikmati masa-masa di mana aku masih dapat terlelap di pundak atau pangkuanmu. Akan aku nikmati masa-masa di mana kau berbagi semuanya denganku. Akan aku nikmati masa-masa di mana kau menemaniku mewujudkan semua cita-citaku. Semua itu begitu menyenangkan untukku. Kalian harus tahu.

    Aku ingin memastikan bahwa mereka mendapat waktu terbaikku. Memastikan bahwa mereka bahagia saat berada disampingku. Hingga aku merasa perlu mengingat mereka dengan baik. Karena diacuhkan sama sekali tidak enak :)


    Aku ingin memastikan bahwa proses belajarku ini harus menjadikanku juara ^^


    Purwokerto, 4 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Menjadi terang di tempat yang gelap membuatnya sangat bermakna meski hanya dengan sedikit pelita. Menjadi terang di tempat yang sudah terang benderang akan membuat sebesar apa pun usaha untuk bersinar akan sedikit sekali yang merasakan manfaatnya.

    Di masa depan sepertinya tren pekerjaan akan beralih menjadi tentang kebermanfaatan, ketibang hanya egois memupuk hata pribadi. Banyak anak-anak muda potensial berprestasi di penjuru negeri tidak lagi kepincut dengan besarnya materi, Sebaliknya, banyak dari mereka yang justru mengeluarkan tak sedikit materi bahkan bersusah payah demi membuat diri mereka menjadi manfaat untuk negara ini. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain?

    Sudahkah kita?


    Purwokerto, 4 Oktober 2016
    Azifah Najwa

    Visinya tetap menjadi peneliti. 

    Continue Reading

    "Bil, bagaimana kamu mendapat inspirasi untuk menulis?"

    "Jatuh cintalah atau mintalah seseorang patahkan hatimu"

    "Diantara keduanya mana yang sering kamu gunakan?"

    "Keduanya. Jatuh cinta erat hubungannya dengan patah hati. Jatuh cinta dan orang yang kau cintai mengacuhkanmu, kau patah hati. Jatuh cinta dan orang yang kau cintai mengabaikan kepercayaanmu, kau patah hati. Jatuh cinta dan orang yang kau cintai menduakanmu, kau patah hati. Jatuh cinta dan orang yang kau cintai mengajak orang lain makan es krim berdua, kau patah hati. Erat kan?"

    "Bil, bagaimana kamu bisa mempresentasikan paper-papermu, menjawab pertanyaan juri-juri, perang melawan finalis dari universitas lain, dengan hati semellow itu.."

    Dan aku hanya terkekeh. 

    Percakapan macam apa -__-


    Purwokerto, 1 Oktober 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading


    Benarkah?


    Purwokerto, 30 September 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Gemercik air hujan turun menghujam atap rumah ini. Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, kau akan merasakan sakitnya saat hujan turun. Tapi sayangnya aku bertemu denganmu saat hujan. Tapi sayangnya aku memutuskan jatuh cinta padamu saat hujan.
    ***
    “Nay bangun! Handphone-mu bunyi terus sejak tadi,” sebuah suara membangunkaku. Sambil tergopoh aku raih ponselku. Ah, ibu.
    “Hallo, Assalamu’alaikum, Bu?”
    “Dari mana saja, Nduk, kok telpon ibu baru diangkat?” seperti biasa, ibu selalu menggerutu tiap kali anak prempuannya lama mengangkat telpon. Aku terkekeh, “Hehehe ketiduran, Bu”
    “Bagaimana bisa anak prempuan pagi-pagi ketiduran, ayo bangun!”
    “Iya, Bu. Ibu bagaimana kabarnya? Sehat?” Menanyakan kabar? Padahal baru kemarin ibu menelponku dan pasti akan menanyakan hal yang sama dengan yang akan ditanyakan ibu pagi ini, lihat saja.
    “Sehat. Kapan kamu pulang, Nduk? Bapakmu bingung harus menjawab apa?” Ibu tidak menanyakan kabarku, fine. Ibu memang selalu tahu kalau fisik anaknya selalu sehat. Meskipun tidak dengan perasaannya.
    “Naya masih harus mengambil sampel penelitian, Bu, masih sibuk,” kilahku.
    “Sibuk tapi masih bisa ketiduran,” aku terkejut. Aish, aku salah memberi jawaban. “Kamu lupa atau pura-pura lupa? Hanan anaknya Pak Rian sudah menunggu jawabanmu sejak dua minggu lalu, segeralah beri jawaban, jangan kau gantungkan anak orang.”
    Benar kan kataku, dia lagi, dia lagi.
    “Ah, Ibu, tikus-tikusku di laboratorium lebih penting dari si Hanan. Jawab saja tidak.”
    “NAYAAAAAAAA!,” teriak ibu dari balik telpon.
    “Bu, Naya belum siap menikah.” Setidaknya aku memang belum siap menikah dengan siapa pun selain dirinya.
    “Sudah istikharah belum?!”
    Aku diam.
    “NAYA!”
    Aku menarik napas panjang. “Iya, Bu, nanti Naya renungkan. Besok Naya akan telpon, Ibu.”
    “Besok ya? Jangan lupa jaga kesehatanmu. Hati-hati di sana. Wassalamu’alaikum,” tuut tuuut. Ibu menutup telponnya. Wa’alaykumsalam, lirihku.
    Kepalaku mendadak sakit. Seperti di tusuk-tusuk jarum sonde. Mungkin seperti ini rasanya saat aku memasukan paksa produk uji ke lambung tikus-tikus penelitianku. Menyakitkan.
    “Hanan, Hanan, HANAAAAAAAAN!!,” teriakku.
    Aku terperanjat begitu melihat Rida di depan pintu kamar, “Hanan? Siapa itu Hanan, Nay?,” sergahnya.
    “Tidak. Bukan siapa-siapa,” aku segera mengambil handuk dan alat mandi. Pagi ini jadwalku menengok tikus-tikusku di lab. Memastikan mereka bahagia dan kadar gula mereka stabil.
    “Ceritakan atau kau tidak akan mandi selamanya,” ancam Rida sembari menutup pintu kamar mandi. Aish, apa lagi ini.
    “Rida, aku harus ke lab,” rengekku.
    “10 menit saja, baru kau boleh mandi!,” jawabnya garang, ditambah garis-garis wajah khas Suku Bataknya, akhirnya aku luluh.
    “Mulai dari mana aku ceritanya?,” jawabku sedikit kesal sembari kembali ke kamar. Tidak mungkin aku menceritakan masalah ini di depan kamar mandi, bisa-bisa cerita ini jadi konsumsi anak satu kosan.
    Rasanya aku dan Rida tidak cocok sekali membicarakan topik ini, ya laki-laki. Kami bukan lagi remaja tanggung yang sedang gandrung mengagumi kakak kelas, kemudian saling bercerita saat bertemu di koridor sekolah, seolah-olah itu adalah pertemuan yang pantas dibanggakan, padahal hanya papasan biasa, tidak ada senyum apalagi sapa. Kami mahasiswa tingkat akhir. Aku sedang menyelesaikan penelitianku. Dan Rida sudah mulai menyiapkan berkas wisuda.
    “Siapa Hanan itu, Naya?”
    “Hanan. Dia anak salah satu orang yang cukup terpandang di desaku. Bapaknya seorang mantri, ya bisa disebut dokter lah, dan ibunya seorang guru. Kultur desa tempat tinggalku masih begitu menghormati guru dan juga mantri. Rumahnya agak jauh dari rumahku, ya selisih enam atau tujuh rumah. Aku dulu sering main ke rumahnya karena aku berteman akrab dengan adiknya. Dan kata bapakku dia masuk pondok sejak lulus SD, kemudian SMP, lalu SMA, dan kuliah di fakultas kedokteran. Jadi dia seorang dokter, katanya. Aku kurang tahu betul dan memang tidak berniat mencari tahu atau pun ingin tahu. Ada yang ingin ditanyakan sampai sini?,” aku haus, mengambil air lalu meminumnya, Rida mengerjap, menungguku minum.
    “Belum apa-apa, Nayaaa! Terus gimana?”
    Aku terkekeh. “Iya, jadi dia anak orang yang cukup dipandang di desaku. Tidak hanya dia, kakek dan neneknya dulu termasuk orang yang paling berada di desa,” jelasku. Rida mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya dia tidak tertarik dengan bagian ini. “Karena alasan itu orang tuaku tidak enak hati harus menolak pinangannya.”
    “Pinangannya? Untukmu?”
    Aku tidak menjawab. Aku rasa Rida tahu sendiri jawabannya, tidak mungkin untuk adikku.
    “NAH! Ini mulai seru!,” aku kaget. Rida memperbaiki posisi duduknya, seolah akan mendengarkan bocoran soal ujian.
    Aku melihat notifikasi ponsel sejenak kemudian menutupnya kembali, pada saat-saat seperti ini sejujurnya aku tidak mengharapkan notifikasi apa pun masuk ke handphoneku.
    “Dua minggu lalu dia datang sendiri ke rumahku. Mengutarakan niat baiknya ke kedua orang tuaku.”
    “Dia datang sendiri?,” aku malas menjawab pertanyaan yang seperti ini, dia hanya mengulang ceritaku. Tapi aku jawab saja, “iya”. Aku tahu persis jika dia sedang menunjukkan perhatiannya pada ceritaku. Aku tersenyum.
    “Di bawah cahaya lampu ruang tamu yang malam itu mendadak gelap, dia mengutarakan niatnya. Katanya dia sudah mendapat restu dari orang tuanya. Pak Restu, orang tuanya, sangat setuju katanya,” Rida mengangguk-angguk. “Dia bilang begini, ‘Kata bapak, Bapak dan Ibu Ali adalah teman karibnya sejak kecil. Bapak tahu bagaimana perangai Bapak dan Ibu serta bagaimana Bapak dan Ibu membesarkan Naya hingga tumbuh menjadi calon dokter yang shalihah. Menuruni sifat kedua orang tuanya yang dermawan serta lemah lembut,” aku mengentikan ceritaku sejenak dan memasang muka paling datar sedunia. Dan Rida wajahnya sudah lebih mirip buah jambu.
    “BUAHAHAHAHAHAHAAA.” Aku selalu menghargai kejujurannya, jadi ku biarkan saja dia tertawa.
    “Itu memang lucu, bagiku juga. Ya aku masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa begitu yakin denganku, padahal kita tidak saling kenal sebelumnya. Aku hanya tahu dia kakak temanku. Sudah.”
    “Kamu pernah ngobrol sebelumnya dengan dia?”
    Aku menggeleng.
    “Pernah ga sengaja belanjaanmu jatuh di pasar terus di tolongin dia? Pernah ga sengaja ketemu diantrian supermarket?,” dasar korban sineteron, pikirku.
    “Tidak pernah, Rida. Sudah, aku mau mandi dulu,” aku segera bergegas ke kamar mandi sebelum Rida menghadangku lagi.
    “Nay, kamu masih berharap dengan dia?,” Rida meneriakkan pertanyaan itu dari jauh. Iya, lirihku dan aku yakin dia tak mendengarnya.
    ***
    Seperti biasa, pagi-pagi buta aku sudah lengkap dengan perlengkapan laboratorium, jas lab, sarung tangan latex, masker, juga jarum-jarum suntik. Agendaku pagi ini mengambil sampel darah tikus-tikus ini.
    Tiba-tiba ponsel di kantong jas labku berbunyi. Ah. Tikus putih yang aku pegang mengeluarkan darah. Aku salah memasukan jarum suntik. Segera aku hentikan pendarahannya dan memasukkannya ke kandang. Untunglah dia baik-baik saja. Ku raih ponselku, dan, Ah ibu.
    “Hallo, iya, Bu?”
    “Hallo, Nduk. Lagi di mana? Kok lama ngangkat telponnya?,” gerutu ibu akhir-akhir ini setiap kali aku telat dua-tiga detik saja mengangkat telponnya.
    Sambil melepas perlengkapan lab, aku keluar ruangan, mencari tempat yang tepat untuk berbicara dengan ibu. “Lagi ambil sampel darah tikus, Bu, di lab.”
    “Bagaimana jawabannya, Nduk?,” Ibu memang selalu to the point.
    “Jawabannya masih tidak, Bu.”
    “Naya, Naya, laki-laki seperti apa yang kamu cari, Nduk? Kurang apa si Hanan itu, dia dokter, sama sepertimu. Dia dari keluarga terhormat di desa ini. Lulusan pondok pesantren. Laki-laki seperti apa lagi yang kamu cari, Nduk?”
    “Naya belum siap menikah, Bu. Itu saja alasannya.”
    “Nduk, usiamu sekarang sudah 22 tahun, belum lagi nanti harus ­ko-as. Mau nikah umur berapa tahun kamu, Nduk?.” Aku hanya diam mendengar penjelasan ibu. Bu, aku ingin menikah dengan laki-laki lain, sebenarnya itu yang ingin aku katakan.
    “Ya sudah, kamu pulang dulu saja. Bapakmu tidak bisa tidur memikirkan ini.”
    “Iya, Bu. Besok, Naya pulang.”
    “Ya sudah. Hati-hati ya, Nduk. Wassalamu’alaikum.” Seperti biasa, ibu menutup telponnya sebelum aku sempat menjawab salamnya. Wa’alaikumsalam, lirihku.
    Di luar hujan. Aku tidak segera beranjak. Menatap nanar lorong lab dengan harapan seseorang yang aku tunggu kedatangannya hadir, membawakan sekotak sari kacang hijau kesukaanku. Ini sudah hari kesekian sejak aku memutuskan pergi dari kehidupan seseorang. Lenyap dari segala hal tentangnya. Asal kalian tahu saja, tidak ada yang mudah mengawali semuanya. Menghilang bukanlah keahlianku. Sama bukannya dengan bertahan dengan kepercayaan yang tak lagi utuh.
    ***
    “Nduk, jadi bagaimana keputusanmu?,” baru kali ini bapak menatapku dengan tatapan seserius ini. Gurat wajahnya menunjukkan betapa banyak pengorbanan yang beliau lakukan.
    “Bapak tidak enak hati menolak lamaran Hanan,” ini intinya.
    “Naya belum siap menikah, Pak.”
    Bapak menarik napas panjang. “Benar alasanmu hanya itu?” Sejak kecil bapak memang selalu tahu kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Pak, aku ingin menikah dengan laki-laki lain.
    “Nduk, Hanan kurang apa? Soleh sudah, mapan sudah. Tidak baik, Nduk menolak lamaran laki-laki yang sudah baik agamanya. Kamu tahu itu kan?,” Ibu menambahkan.
    Aku hanya diam.
    “Jadi gimana, Nduk?,” Bapak menanyakan lagi.
    Aku diam, menghela napas. Aku tidak boleh diam. Bapak dan ibu tidak boleh mengartikan diamku sebagai iya.
    “Kalau kamu tidak punya jawaban, biar Bapak saja yang putuskan.” Aku menangkat wajah, “Pak, Naya belum siap....”
    “Tidak baik menolak orang baik, Nduk, takut fitnah!,” ibu menimpal. Aku kembali menunduk. Air mataku memaksa keluar. Tapi aku tak boleh menangis di hadapan bapak. Bapak akan luluh jika melihat putrinya menangis, setegas apa pun bapak.
     “Ya sudah, terserah Bapak saja baiknya bagaimana,” kataku akhirnya. Heh, apa yang baru saja aku katakan. Bagaimana ini? Aku melihat bapak terdiam. Menunduk. Kemudian beranjak. Seketika tangisku pecah. Ibu menepuk-nepuk pundaku, mencoba menenangkan.
    Sejak malam itu hingga tiga hari ke depan aku  tidak tahu apa jawaban yang bapak berikan kepada Hanan. Hingga malam ketiga, Hanan datang dengan keluarganya. Membawa berbagai macam bingkisan. Aku tak sanggup melihat wajah bahagia mereka. Sedang aku tak sebahagia itu. Di luar hujan turun dengan derasnya. Cintaku selalu bermula dan berakhir saat hujan. Siapa yang tahu perasaanku? Tidak aku bayangkan rumah tanggaku akan aku bangun dengan perasaan seperti ini.
    “Saya mohon izin kepada Ibu dan Bapak untuk menikahi Naya esok hari”
    Sayu-sayu dari luar kamar aku mendengar kalimat itu. Ku pejamkan mata. Aku segera berlari. Keluar kamar. Ke luar rumah. Tidak mempedulikan hujan yang turun dengan derasnya. Tidak mempedulikan bapak yang berkali-kali memanggilku. Tidak mempedulikan Hanan yang menatap tak mengerti, ada apa dengan calon istriku, pikirnya. Menghilang memang bukan keahlianku. Tapi, apa harus seperti ini caraku memulai berdamai dengan kisah hidup seseorang. Aku terus berlari. Tidak mempedulikan jalanan yang ramai, kendaraan yang lalu lalang, atau pun bunyi klakson. Aku terus berlari sebelum akhirnya dihentikan oleh ponselku yang bergetar. Ada sebuah pesan singkat masuk.
    “Naya, tolong buka email, ada proposal ta'aruf yang ummy kirim untukmu, atas nama...”
    Aku tak bergeming dari tempatku berdiri. Berulang-ulang membaca nama pengirimnya. Benarkah ini kamu? Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan...
    ***
    DUARRR
    Aku tersentak. Mataku berat. Kuraih ponselku 22.31. Cahaya kilat memaksa masuk lewat jendela kamar, di luar hujan deras, dan petir menyambar-nyambar.

    Ah, mimpi...





    Purwokerto, 26 September 2016
    Azifah Najwa
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ►  2021 (10)
      • ►  November (1)
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ▼  2016 (161)
      • ▼  Desember (6)
        • Eucheuma cottoni
        • Lalalala
        • [Repost] Berapa?
        • Same Thing but Different
        • 11.06 p.m
        • Penerimaan
      • ►  November (6)
        • Love! Love! Love!
        • Kamu
        • Alay
        • PULANG!
        • Masak
        • Perempuan itu....
      • ►  Oktober (12)
        • 10.54 a.m
        • Bersiap!
        • Rumah
        • Love!
        • Kalian, terbaik!
        • Fufuffuu
        • 07.14 p.m
        • Palembang!
        • 04.30 p.m
        • Waktu Terbaik
        • Menjadi Terang
        • Menulis
      • ►  September (25)
        • Benarkah?
        • HUJAN
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ►  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ►  September (15)
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • SMANSA dan Sebuah Warisan
      SMANSA adalah satu dari 2 sekolah di mana saat aku diterima di dalamnya aku menangis. Iya, aku menangis, tentu bukan karena diterima di...
    • Jurnal 365
      Seperti gambar, tulisan adalah kapsul waktu, yang dapat membawa kita kembali mengenang. Mulai dari yang sangat ingin dikenang, hingga yan...
    • Drama
      Aku mengembangkan senyum terbaikku. Mencoba menikmati setiap waktu yang berjalan kala itu. Mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak s...
    • Berunding dengan Waktu
      Ketika waktu mempermainkan rindu, bersabarlah jangan menyerah. Bukankah hubungan jarak jauh memang seperti itu? Tidak ada lagi malam-ma...
    • Berjalan
        Kapan pun perjalanan membuatmu ragu, berhentilah sejenak, menepilah saja. Karena tak ada yang salah dengan memulai lagi segalanya. Mungkin...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top