Prasangka
10:47 PM
"Udah di pinjemin
buku?," tanyanya siang tadi. Aku baru membuka dan membalasanya sore,
karena hapeku harus masuk tempat reparasi sejak siang dan baru bisa diambil
sore hari.
"Ga sempet,"
jawabku singkat
"Hmmm," dari
jawabannya dia nampak kecewa
"Emang mau
langsung dibaca?," tanyaku, sebut saja aku sedang membela diri
"Suudzon,"
balasnya lagi
"Kan biasanya juga
gitu, ga langsung dibaca"
"Suudzon
mulu"
Ah, deg. Rasanya aku baru saja mematikan
semangat seseorang yang bahkan kemarin-kemarin aku harus berulang kali
memaksanya untuk sekadar membaca, rasanya aku baru saja mematahkan keinginan seseorang
yang mungkin dalam hati kecilnya mulai tahu kekhawatiranku tentang studinya, bukankah
orang-orang yang hidup dalam impiannya hanya perlu dipercayai?
------------------------------
Alangkah mudah hati ini berprasangka buruk.
Bermodalkan ketidaktahuan dan ketiadaan keinginan untuk mencari tahu, prasangka
itu tumbuh tanpa hambatan. Subur, bahkan.
Padahal, jika mau menunggu sejenak lebih
lama, jika mau bertanya “Apa?” dan “Mengapa?” Prasangka itu tidak perlu keluar
dari kepala.
Prasangka mungkin sangat sulit untuk
dihindari. Barangkali ini berkaitan dengan kecenderungan naluriah otak manusia
yang bekerja dengan salah satu prinsipnya, yaitu : mempertahankan eksistensi.
Tapi,
Kita punya pilihan untuk tidak
mengungkapkannya. Menahannya agar tetap dalam kepala.
“Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Ada tiga perkara yang ketiganya memastikan bagi
umatku, yaitu tiyarah, dengki, dan buruk prasangka. Seorang lelaki
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara melenyapkannya bagi
seseorang yang ketiga-tiganya ada pada dirinya?” Rasulullah Saw.
menjawab: Apabila kamu dengki, mohonlah ampunan kepada Allah; dan apabila
kamu buruk prasangka, maka janganlah kamu nyatakan; dan apabila kamu mempunyai
tiyarah (pertanda kemalangan), maka teruskanlah niatmu.“ (HR.
Thabrani)
Rasulullah saw tidak secara eksplisit
meminta kita untuk tidak berprasangka. Namun, jika kita memiliki prasangka
buruk, beliau meminta kita untuk tidak menyatakannya.
Dalam ayat tersebut juga dikatakan
"Jauhilah kebanyakan dari prasangka.” Bukan “Jauhilah seluruh prasangka,”
karena boleh jadi ada prasangka buruk yang memang 'berguna’. Seperti prasangka
soal sekumpulan orang bermotor membawa cangkul dan arit yang saya ilustrasikan
tadi. Atau prasangka seorang petugas di bandara terhadap calon penumpang yang
dicurigai membawa narkoba.
Poinnya adalah, secara manusiawi, kita
diberi otak yang darinya kerap muncul berbagai pikiran, termasuk juga
prasangka. Dan otak kita tak serasional yang kita kira. Prasangka buruk
seringkali muncul karena 'kemalasan’ otak untuk mau bertanya dan berpikir lebih
luas.
Sebagian prasangka jika diungkapkan
sebelum nyata kebenarannya, hanya akan menyakiti, menimbulkan kegaduhan, dan
bisa jadi menzalimi seseorang. Dan bukanlah termasuk muslim jika orang lain
tidak selamat dari kejahatan lisannya.
“Seorang
muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan
dan tangannya” (HR Bukhari)
Semoga denganmu aku senantiasa kembali
belajar untuk menjadi tuan atas pikiran dan kecenderungan manusiawiku sendiri.
Untuk tidak buru-buru menyatakan prasangka, untuk mau bersabar menunggu, untuk
mau mencari tahu, untuk menjaga perasaanmu
Maaf
atas kemalasanku untuk bertanya lebih jauh padamu. Maafkan aku jika prasangkaku
pernah menyakitimu..
Purwokerto, 16 Juni 2017
Azifah Najwa
Purwokerto, 16 Juni 2017
Azifah Najwa
0 komentar