Gemercik air
hujan turun menghujam atap rumah ini. Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, kau
akan merasakan sakitnya saat hujan turun. Tapi sayangnya aku bertemu denganmu
saat hujan. Tapi sayangnya aku memutuskan jatuh cinta padamu saat hujan.
***
“Nay bangun!
Handphone-mu bunyi terus sejak tadi,”
sebuah suara membangunkaku. Sambil tergopoh aku raih ponselku. Ah, ibu.
“Hallo,
Assalamu’alaikum, Bu?”
“Dari mana
saja, Nduk, kok telpon ibu baru diangkat?” seperti biasa, ibu selalu menggerutu
tiap kali anak prempuannya lama mengangkat telpon. Aku terkekeh, “Hehehe
ketiduran, Bu”
“Bagaimana
bisa anak prempuan pagi-pagi ketiduran, ayo bangun!”
“Iya, Bu.
Ibu bagaimana kabarnya? Sehat?” Menanyakan
kabar? Padahal baru kemarin ibu menelponku dan pasti akan menanyakan hal yang
sama dengan yang akan ditanyakan ibu pagi ini, lihat saja.
“Sehat.
Kapan kamu pulang, Nduk? Bapakmu bingung harus menjawab apa?” Ibu tidak
menanyakan kabarku, fine. Ibu memang
selalu tahu kalau fisik anaknya selalu sehat. Meskipun tidak dengan perasaannya.
“Naya masih
harus mengambil sampel penelitian, Bu, masih sibuk,” kilahku.
“Sibuk tapi
masih bisa ketiduran,” aku terkejut. Aish, aku salah memberi jawaban. “Kamu
lupa atau pura-pura lupa? Hanan anaknya Pak Rian sudah menunggu jawabanmu sejak
dua minggu lalu, segeralah beri jawaban, jangan kau gantungkan anak orang.”
Benar kan kataku, dia lagi, dia lagi.
“Ah, Ibu,
tikus-tikusku di laboratorium lebih penting dari si Hanan. Jawab saja tidak.”
“NAYAAAAAAAA!,”
teriak ibu dari balik telpon.
“Bu, Naya
belum siap menikah.” Setidaknya aku memang belum siap menikah dengan siapa pun
selain dirinya.
“Sudah
istikharah belum?!”
Aku diam.
“NAYA!”
Aku menarik
napas panjang. “Iya, Bu, nanti Naya renungkan. Besok Naya akan telpon, Ibu.”
“Besok ya?
Jangan lupa jaga kesehatanmu. Hati-hati di sana. Wassalamu’alaikum,” tuut tuuut. Ibu menutup telponnya. Wa’alaykumsalam, lirihku.
Kepalaku
mendadak sakit. Seperti di tusuk-tusuk jarum sonde. Mungkin seperti ini rasanya
saat aku memasukan paksa produk uji ke lambung tikus-tikus penelitianku.
Menyakitkan.
“Hanan,
Hanan, HANAAAAAAAAN!!,” teriakku.
Aku
terperanjat begitu melihat Rida di depan pintu kamar, “Hanan? Siapa itu Hanan,
Nay?,” sergahnya.
“Tidak.
Bukan siapa-siapa,” aku segera mengambil handuk dan alat mandi. Pagi ini
jadwalku menengok tikus-tikusku di lab.
Memastikan mereka bahagia dan kadar gula mereka stabil.
“Ceritakan
atau kau tidak akan mandi selamanya,” ancam Rida sembari menutup pintu kamar
mandi. Aish, apa lagi ini.
“Rida, aku
harus ke lab,” rengekku.
“10 menit
saja, baru kau boleh mandi!,” jawabnya garang, ditambah garis-garis wajah khas
Suku Bataknya, akhirnya aku luluh.
“Mulai dari
mana aku ceritanya?,” jawabku sedikit kesal sembari kembali ke kamar. Tidak
mungkin aku menceritakan masalah ini di depan kamar mandi, bisa-bisa cerita ini
jadi konsumsi anak satu kosan.
Rasanya aku
dan Rida tidak cocok sekali membicarakan topik ini, ya laki-laki. Kami bukan
lagi remaja tanggung yang sedang gandrung mengagumi kakak kelas, kemudian
saling bercerita saat bertemu di koridor sekolah, seolah-olah itu adalah
pertemuan yang pantas dibanggakan, padahal hanya papasan biasa, tidak ada
senyum apalagi sapa. Kami mahasiswa tingkat akhir. Aku sedang menyelesaikan
penelitianku. Dan Rida sudah mulai menyiapkan berkas wisuda.
“Siapa Hanan
itu, Naya?”
“Hanan. Dia
anak salah satu orang yang cukup terpandang di desaku. Bapaknya seorang mantri,
ya bisa disebut dokter lah, dan ibunya seorang guru. Kultur desa tempat
tinggalku masih begitu menghormati guru dan juga mantri. Rumahnya agak jauh
dari rumahku, ya selisih enam atau
tujuh rumah. Aku dulu sering main ke rumahnya karena aku berteman akrab dengan
adiknya. Dan kata bapakku dia masuk pondok sejak lulus SD, kemudian SMP, lalu
SMA, dan kuliah di fakultas kedokteran. Jadi dia seorang dokter, katanya. Aku
kurang tahu betul dan memang tidak berniat mencari tahu atau pun ingin tahu.
Ada yang ingin ditanyakan sampai sini?,” aku haus, mengambil air lalu
meminumnya, Rida mengerjap, menungguku minum.
“Belum
apa-apa, Nayaaa! Terus gimana?”
Aku
terkekeh. “Iya, jadi dia anak orang yang cukup dipandang di desaku. Tidak hanya
dia, kakek dan neneknya dulu termasuk orang yang paling berada di desa,”
jelasku. Rida mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya dia tidak tertarik
dengan bagian ini. “Karena alasan itu orang tuaku tidak enak hati harus menolak
pinangannya.”
“Pinangannya?
Untukmu?”
Aku tidak
menjawab. Aku rasa Rida tahu sendiri jawabannya, tidak mungkin untuk adikku.
“NAH! Ini
mulai seru!,” aku kaget. Rida memperbaiki posisi duduknya, seolah akan
mendengarkan bocoran soal ujian.
Aku melihat
notifikasi ponsel sejenak kemudian menutupnya kembali, pada saat-saat seperti
ini sejujurnya aku tidak mengharapkan notifikasi apa pun masuk ke handphoneku.
“Dua minggu
lalu dia datang sendiri ke rumahku. Mengutarakan niat baiknya ke kedua orang
tuaku.”
“Dia datang
sendiri?,” aku malas menjawab pertanyaan yang seperti ini, dia hanya mengulang
ceritaku. Tapi aku jawab saja, “iya”. Aku tahu persis jika dia sedang
menunjukkan perhatiannya pada ceritaku. Aku tersenyum.
“Di bawah
cahaya lampu ruang tamu yang malam itu mendadak gelap, dia mengutarakan
niatnya. Katanya dia sudah mendapat restu dari orang tuanya. Pak Restu, orang
tuanya, sangat setuju katanya,” Rida mengangguk-angguk. “Dia bilang begini,
‘Kata bapak, Bapak dan Ibu Ali adalah teman karibnya sejak kecil. Bapak tahu
bagaimana perangai Bapak dan Ibu serta bagaimana Bapak dan Ibu membesarkan Naya
hingga tumbuh menjadi calon dokter yang shalihah.
Menuruni sifat kedua orang tuanya yang dermawan serta lemah lembut,” aku
mengentikan ceritaku sejenak dan memasang muka paling datar sedunia. Dan Rida
wajahnya sudah lebih mirip buah jambu.
“BUAHAHAHAHAHAHAAA.”
Aku selalu menghargai kejujurannya, jadi ku biarkan saja dia tertawa.
“Itu memang
lucu, bagiku juga. Ya aku masih tidak habis pikir, bagaimana dia bisa begitu
yakin denganku, padahal kita tidak saling kenal sebelumnya. Aku hanya tahu dia
kakak temanku. Sudah.”
“Kamu pernah
ngobrol sebelumnya dengan dia?”
Aku
menggeleng.
“Pernah ga sengaja belanjaanmu jatuh di pasar
terus di tolongin dia? Pernah ga sengaja
ketemu diantrian supermarket?,” dasar korban sineteron, pikirku.
“Tidak
pernah, Rida. Sudah, aku mau mandi dulu,” aku segera bergegas ke kamar mandi
sebelum Rida menghadangku lagi.
“Nay, kamu
masih berharap dengan dia?,” Rida meneriakkan pertanyaan itu dari jauh. Iya, lirihku dan aku yakin dia tak
mendengarnya.
***
Seperti
biasa, pagi-pagi buta aku sudah lengkap dengan perlengkapan laboratorium, jas lab, sarung tangan latex, masker, juga jarum-jarum suntik. Agendaku pagi ini mengambil
sampel darah tikus-tikus ini.
Tiba-tiba
ponsel di kantong jas labku berbunyi. Ah.
Tikus putih yang aku pegang mengeluarkan darah. Aku salah memasukan jarum
suntik. Segera aku hentikan pendarahannya dan memasukkannya ke kandang.
Untunglah dia baik-baik saja. Ku raih ponselku, dan, Ah ibu.
“Hallo, iya,
Bu?”
“Hallo,
Nduk. Lagi di mana? Kok lama ngangkat telponnya?,” gerutu ibu akhir-akhir ini
setiap kali aku telat dua-tiga detik saja mengangkat telponnya.
Sambil melepas
perlengkapan lab, aku keluar ruangan,
mencari tempat yang tepat untuk berbicara dengan ibu. “Lagi ambil sampel darah
tikus, Bu, di lab.”
“Bagaimana
jawabannya, Nduk?,” Ibu memang selalu to
the point.
“Jawabannya
masih tidak, Bu.”
“Naya, Naya,
laki-laki seperti apa yang kamu cari, Nduk? Kurang apa si Hanan itu, dia
dokter, sama sepertimu. Dia dari keluarga terhormat di desa ini. Lulusan pondok
pesantren. Laki-laki seperti apa lagi yang kamu cari, Nduk?”
“Naya belum
siap menikah, Bu. Itu saja alasannya.”
“Nduk,
usiamu sekarang sudah 22 tahun, belum lagi nanti harus ko-as. Mau nikah umur berapa tahun kamu, Nduk?.” Aku hanya diam
mendengar penjelasan ibu. Bu, aku ingin
menikah dengan laki-laki lain, sebenarnya itu yang ingin aku katakan.
“Ya sudah,
kamu pulang dulu saja. Bapakmu tidak bisa tidur memikirkan ini.”
“Iya, Bu.
Besok, Naya pulang.”
“Ya sudah.
Hati-hati ya, Nduk. Wassalamu’alaikum.” Seperti biasa, ibu menutup telponnya
sebelum aku sempat menjawab salamnya. Wa’alaikumsalam,
lirihku.
Di luar
hujan. Aku tidak segera beranjak. Menatap nanar lorong lab dengan harapan seseorang yang aku tunggu kedatangannya hadir,
membawakan sekotak sari kacang hijau kesukaanku. Ini sudah hari kesekian sejak
aku memutuskan pergi dari kehidupan seseorang. Lenyap dari segala hal
tentangnya. Asal kalian tahu saja, tidak ada yang mudah mengawali semuanya.
Menghilang bukanlah keahlianku. Sama bukannya dengan bertahan dengan
kepercayaan yang tak lagi utuh.
***
“Nduk, jadi
bagaimana keputusanmu?,” baru kali ini bapak menatapku dengan tatapan seserius
ini. Gurat wajahnya menunjukkan betapa banyak pengorbanan yang beliau lakukan.
“Bapak tidak
enak hati menolak lamaran Hanan,” ini intinya.
“Naya belum
siap menikah, Pak.”
Bapak
menarik napas panjang. “Benar alasanmu hanya itu?” Sejak kecil bapak memang
selalu tahu kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Pak, aku ingin menikah dengan laki-laki lain.
“Nduk, Hanan
kurang apa? Soleh sudah, mapan sudah. Tidak baik, Nduk menolak lamaran
laki-laki yang sudah baik agamanya. Kamu tahu itu kan?,” Ibu menambahkan.
Aku hanya
diam.
“Jadi
gimana, Nduk?,” Bapak menanyakan lagi.
Aku diam,
menghela napas. Aku tidak boleh diam. Bapak dan ibu tidak boleh mengartikan
diamku sebagai iya.
“Kalau kamu
tidak punya jawaban, biar Bapak saja yang putuskan.” Aku menangkat wajah, “Pak,
Naya belum siap....”
“Tidak baik
menolak orang baik, Nduk, takut fitnah!,” ibu menimpal. Aku kembali menunduk. Air
mataku memaksa keluar. Tapi aku tak boleh menangis di hadapan bapak. Bapak akan
luluh jika melihat putrinya menangis, setegas apa pun bapak.
“Ya sudah, terserah Bapak saja baiknya
bagaimana,” kataku akhirnya. Heh, apa
yang baru saja aku katakan. Bagaimana ini? Aku melihat bapak terdiam.
Menunduk. Kemudian beranjak. Seketika tangisku pecah. Ibu menepuk-nepuk
pundaku, mencoba menenangkan.
Sejak malam
itu hingga tiga hari ke depan aku tidak
tahu apa jawaban yang bapak berikan kepada Hanan. Hingga malam ketiga, Hanan
datang dengan keluarganya. Membawa berbagai macam bingkisan. Aku tak sanggup
melihat wajah bahagia mereka. Sedang aku tak sebahagia itu. Di luar hujan turun
dengan derasnya. Cintaku selalu bermula dan berakhir saat hujan. Siapa yang
tahu perasaanku? Tidak aku bayangkan rumah tanggaku akan aku bangun dengan
perasaan seperti ini.
“Saya mohon
izin kepada Ibu dan Bapak untuk menikahi Naya esok hari”
Sayu-sayu dari luar kamar aku mendengar kalimat itu. Ku pejamkan mata. Aku segera
berlari. Keluar kamar. Ke luar rumah. Tidak mempedulikan hujan yang turun dengan derasnya. Tidak
mempedulikan bapak yang berkali-kali memanggilku. Tidak mempedulikan Hanan yang
menatap tak mengerti, ada apa dengan
calon istriku, pikirnya. Menghilang memang bukan keahlianku. Tapi, apa
harus seperti ini caraku memulai berdamai dengan kisah hidup seseorang. Aku
terus berlari. Tidak mempedulikan jalanan yang ramai, kendaraan yang lalu lalang, atau pun bunyi klakson. Aku terus berlari sebelum akhirnya dihentikan oleh ponselku yang bergetar. Ada sebuah pesan singkat masuk.
“Naya, tolong buka email, ada proposal ta'aruf yang ummy kirim untukmu, atas nama...”
Aku tak bergeming dari tempatku berdiri. Berulang-ulang membaca nama pengirimnya. Benarkah ini kamu? Tiba-tiba
aku melihat kilatan cahaya dan...
***
DUARRR
Aku
tersentak. Mataku berat. Kuraih ponselku 22.31. Cahaya kilat memaksa
masuk lewat jendela kamar, di luar hujan deras, dan petir menyambar-nyambar.
Ah, mimpi...
Purwokerto, 26 September 2016
Azifah Najwa
"Andai ya ibu punya anak laki-laki, kan ga harus bapak yang nganterin ke mana-mana?"
"Apa, Bu, apa? Ibu mau dicariin anak laki-laki kayak gimana sih?," candaku suatu sore
"Laki-laki yang mudah bersyukur," jawab ibu
"Ibu mau anak laki-laki kayak gitu?," aku mengaskan
"Iya. Kenapa? Kamu mau nyariin?"
*Nyengir*
Percakapan itu telah melewati empat musim. Melewati siang dan malam. Melewati hujan dan terik. Melewati ratusan kilometer. Melewati begitu banyak detik.
Aku tidak tahu maksud ibu, seperti apa laki-laki yang mudah bersyukur itu.
"Bukankah aku bu yang harusnya menjadi prempuan yang mudah bersyukur?"
Hidup di zaman yang sangat meterialistik ini, segala sesuatu diukur secara materi. Dikalkulasi secara matematis, didata dengan benda-benda dan kepemilikan. Dan semakin ke sini, semakin menjadi-jadi.
"Bukankah lebih dibutuhkan prempuan yang bersyukur, Bu?"
"Minta ajarin aja nanti sama suamimu"
Entah harus menunggu berapa musim berganti lagi. Entah harus menunggu berapa kilometer yang dilalui lagi.
Purwokerto hujan, do'aku, "Ya Allah semoga hanya Engkau yang menjaga dan menjadi tujuannya..."
Rentang Tunggu, 24 September 2016
Azifah Najw
Malam ini kau boleh mengeluh sejadinya, tapi berjanjilah esok hari kau harus lebih berani menghadapi. Bukan untuk sesiapa, pada akhirnya hatimu sendirilah yang akan merasakan nyamannya membinasakan rintangan.
Kau lebih hebat dari segala ketakutan yang kau ceritakan, sungguh aku sudah melihatnya ratusan kali. Kau hanya butuh lebih berani.
Jangan membiasakan memilih kalah sebelum mencoba. Kekuatan Rabbmu jauh lebih dahsyat dari segala macam batas fikiran. Letakkan Dia baik-baik sebagai pegangan, sebagai muara, dan sebagai sumber pengusir ketakutan.
Setelah kau mencobanya, kembalilah ke sini, kita nikmati lagi senja yang sama. Tak perlu merisaukan hasil, biar Rabbmu saja yang uruskan
Dandelion, 20 September 2016
Azifah Najwa
suka pake banget bunga warna putih!
Dandelion, 20 September 2016
Azifah Najwa
suka pake banget bunga warna putih!
Ini salah satu aplikasi olah data yang akan aku gunakan untuk merancang dan menganalisis penelitian yang akan aku lakukan. Ada cerita yang menurutku menarik dan romantis, entah buat kalian menarik atau engga, buatku menarik dan romantis, wkwkwk
Perlu diketahui, salah satu hal yang paling aku ga bisa adalah perihal install-menginstall program, sebenernya bukan ga bisa, cuma ga mau bisa #alibi. Inggit pernah bilang, "Bil kamu jadi prempuan jangan apa-apa bisa sendiri lah, pasang gas, benerin sakelar listrik, benerin kompor, ke mana-mana naik motor sendiri, bawa mobil sendiri bisa. Nanti suamimu ngapain?"
Ekspresi gue waktu Inggit bilang gitu
"-__-".
Nginstall program salah satu hal yang aku ga bisa. Bingung harus insert-insert serial number, dsb. Termasuk aplikasi ini. Gatau kenapa setelah diinstall aplikasinya baru bisa dibuka setelahbuka "rlm", dan rlm itu terletak tersembunyi di C.
Terus "tukang installnya" bilang gini;
"Ini aku pin di taskbar ya, biar kamu gampang bukanya, ga harus nyari di foldernya."
Romantis ga?
Biasa aja ya?
Buatku romantis, bangeeeet :3
Buatku romantis, bangeeeet :3
Purwokerto, 20 September 2016
Azifah Najwa
Jalan dakwah itu terjal, curam, dan sedikit yang mau melewatinya. Gamais adalah tentang cinta. Dan cinta bagiku adalah selalu tentang memberikan yang terbaik. Perhatian terbaik. Waktu terbaik.
Windujaya, 17 September 2016
Azifah Najwa
Happy international hijab solidarity day ^^
Padahal udah telat banget :D
Whatever :D
Aku sering di kasih pertanyaan
"Bil, kenapa kamu harus pake kaos kaki terus sih?"
"Soalnya kaki itu aurat, nanti kalau diliat sama cowok, cowoknya harus nikahin aku"
Wkwkwkwk intinya kaki itu aurat, biar dibawa asik aja jelasinnya, aku bilang aja gitu. Dan alhasil itu jadi trend di desa selama KKN, ga cuma sama anak-anak di posko, tapi juga sama ibu-ibu, bapak-bapak, juga pemuda desa sana, hahaha
Aku merasa dilindungi dengan hijabku, intinya itu. Dengan jilbabku yang lebar. Dengan rokku. Dengan kaos kakiku. Dengan manset. Aku merasa dilindungi oleh mereka. Kalau anak-anak cowok bisa seenak jidat nyolek-nyolek cewek, ke aku mana berani. Kalau anak cowok bisa seenak jidat narik-narik tangan cewek, ke aku mana berani. Kalau anak cowok mau ngajak nyari stroberi hutan mesti pasukan se posko ikut semua, jadi seru kan?
"Bila, aku mau nyuci piring nih di dapur, kamu mau lanjut masak apa gapapa nih kita berdua?"
atau
"Bila, aku pakai celana pendek, bentar ambil sarung dulu, jangan ke ruang tengah!"
atau
atau
"Bila, lenganmu keliatan, kok ga pake manset?"
atau
"Biiil, aku mau masuk posko nih, udah pake kaos kaki beluum?"
Wkwkwkwk
Itu cuplikan percakapan lucu setiap di posko, dan sebagai prempuan aku merasa dihargai karena itu.
atau
"Biiil, aku mau masuk posko nih, udah pake kaos kaki beluum?"
Wkwkwkwk
Itu cuplikan percakapan lucu setiap di posko, dan sebagai prempuan aku merasa dihargai karena itu.
Kalau ada yang nanya, ribet ga ke mana-mana pakai rok sama kaos kaki gitu? Nih aku jawab pake speaker ya, ENGGA!!! :D
Purwokerto, 17 September 2016
Azifah Najwa
Liat di foto, itu posisi duduk favoritku, dan aku sering ditegur karena itu, apa yang salaah coba? -_-
Aku sedang berada di sebuah ruangan di mana kenangan-kenangan kita pada masa itu berkelindan. Waktu bergerak begitu cepat. Dua tahun terakhir ruangam ini ramai akan segala cerita, tawa, juga sikap "tak pedulimu". Dan hari ini, ruangan itu mendadak sepi. Ingin rasanya aku memperbudak waktu. Membiarkan semuanya tetap di sini, di sampingku, terus bercerita padaku, terus menerus terlelap di bahuku.
Aku suka kata-katamu, bahwa dengan kau tidak memiliki alasan mengapa kau jatuh hati padaku, kau juga tidak punya alasan mengapa harus berhenti jatuh hati padaku. Aku terdiam mendengar perkataanmu, hari ini aku mengetahui alasan yang kau maksud sejak dulu.
Yang aku rasa, waktu seketika menjelma kenangan ketika semua yang tersisa dalam kenangan hanyalah serangkaian peristiwa membahagiakan yang kita miliki. Aku ingat bagaimana aku pertama jatuh hati hanya karena menganggap kau pendiam. Aku ingat bagaimana sifat kekanakanmu membuatku memanggilmu "Nduk". Ketika perasaan cinta kita masih biasa-biasa saja. Ketika aku menceritakan hidupku dan kau dengan khidmat mendengarkan. Hari itu aku mengajakmu jalan-jalan. Benar-benar jalan-jalan, Mengajakmu ke kebun stroberi. Menikmati satu gelas teh di kebun teh. Tawaku membeku bersama dinginnya cuaca ketika kau menggerutu tak menemukan satu stroberi pun di sana, saat aku menemukanmu dengan muka bingung karena gagal pulang. Atau ketika aku kesal bukan kepalang karena melihatmu tak bergeming dari balik tumpukan jurnal dan analisis-analisismu. Aku masih mengingatnya, meski aku bukan pengingat yang baik.
Cukup.... :)
Cukup.... :)
Cerpen Lampion
Purwokerto, 16 September 2016/
Purwokerto, 16 September 2016/
Azifah Najwa
Solo karier. Entahlah sejak kapan aku begitu suka dengan frasa itu. Sebuah frasa yang menggambarkan sebuah ketangguhan, ketegaran, kemandirian, tidak bergantung, tidak butuh diperhatikan. Terlalu berlebihan juga mungkin definisi itu. Entahlah. Yang jelas entah diucapkan dengan sungguh-sungguh atau pura-pura frasa itu seakan mengalirkan energi positif bagi para pelakunya.
"Bil, jalanan di sana curam, boncengan sama Wowo atau Aldi aja ya"
"Bil, jalanan ke balai desa naiknya tinggi banget, kamu dibonceng aja ya?"
"Nabila bisa naiknya? Sini tangannya, gapapa, aku ga ngapa-ngapain kok"
"Bil kalau lewat Windujaya gelap, ati-ati ya pulangnya, jangan kesorean"
"Nabila berani lewat jembatan gantung cibun? Bonceng aja ya?"
"Kamu nanti bawa piala sama LCD loh, bisa bawa sendirinya? Bonceng aja ya?"
Kalimat itu sering aku dengar di kehidupanku sehari-hari dan lebih sering lagi aku dengar saat KKN kemarin. Mungkin karena tubuhku yang kecil ditambah aku yang selalu pakai rok dan kaos kaki membuat mereka meragukan kemampuanku dalam bersolo karier.
Aku sudah terbiasa melakukan segala hal sendiri. Makan sendiri. Ke toko buku sendiri. Beli pakaian sendiri. Belanja sendiri. Meskipun sebenarnya aku akan lebih suka saat harus melakukan segalanya dengan seorang teman. Ada yang diajak ngobrol. Ada yang dijadiin sandaran kalau ngantuk.
Sendiri memang nyaman, tapi bersama banyak orang aku jauh merasa aman :)
Jangan suka sendiri ya, apa-apa sendiri tidak seenak yang dibayangkan, percayalah.
Salam,
Wanita solo karier
Lab. TP, 15 September 2016
Azifah Najwa
Ditulis di Lab. TP seorang diri :)
Entah bagaimana ceritanya, orang yang dulu terasa begitu asing kini menjadi seseorang yang paling kutakutkan kepergiannya...
Rumah, 13 September 2016
Azifah Najwa
"Mereka bilang dia cuek, ga perhatian. Ah, kalian belum kenal aja. Barangkali dia tipikal laki-laki yang cuma perhatian sama istrinya."
Rumah, 12 September 2016
Azifah Najwa
Jangan pernah menaruh harap pada makhluk, karena di situ ladang kekecewaan banyak disemai...
Rumah, 12 September 2016
Azifah Najwa
Jika cinta bisa membuat seorang prempuan bertahan dengan seorang laki-laki, apakah berlaku sebaliknya?
Sejak bangun tadi aku lebih percaya lagi, bahwa aku selalu merasa lebih baik saat aku tidak tahu. Dua-duanya sama-sama menyakitkan. Entah aku tahu lebih dulu atau pada waktunya aku akan tahu semuanya..
Hari ini, 10 September 2016
Azifah Najwa
Sepertinya seru menjadi kamu. Kurindukan tanpa henti. Ku cintai tanpa tapi. Aku iri.
See you tomorrow too...
Salatiga, 8 September 2016
Azifah Najwa
Allah tahu, detik saat kita sedih, air mata menggunung, menganak pinak, dan tertahan untuk ditumpahkan. Allah tahu, ketika bibir kita kelu lalu semua terasa sesak karena begitu banyak kedunia-dunian yang menyesakkan
Allah tau
Dan detik saat kita datang kepadaNya, mengadu, meminta didengarkan karena tidak ada yang mendengarkan kita, minta ditemani karena semua teman pergi, minta disayang karena kasih sayang dunia terasa begitu palsu, dan kita datang begitu saja karena merasa tercabik-cabik, merasa ditinggalkan, merasa sendirian
Tahu apa yang paling membuat haru?
Allah tidak usir kita
Dia dengarkan
Dia dekap
Dia yang paling tahu bahkan saat bibir kita kelu untuk berucap, bahkan ketika yang sanggup terucap hanya "Ya Allah.., ya Allah"
Perjalanan ini adalah tentang aku yang sedang mendamaikan diri
Semarang, 6 September 2016
Azifah Najwa
Hidup yang kau keluhkan bisa jadi adalah hidup yang diinginkan oleh banyak orang.
Ketika kita mengeluh mengapa hampir semua pertokoan ada tukang parkir, cobalah diingat, bahwa mungkin kita adalah perantara rizki Allah untuk tukang parkir tersebut, untuk anak-anaknya, untuk keluarganya.
Ketika kita mengeluhkan kertas-kertas yang berserakan di kamar, jangan segera merasa terganggu dengan sampah-sampah itu, bisa jadi kertas-kertas itu adalah rizki bagi pemulung yang sering tak sengaja kita temui di depan rumah kita.
Bisa jadi rizki yang kita terima hari ini adalah rizki yang juga Allah sampaikan dengan perantara orang tua kita, sahabat, atau orang-orang yang kita tolong, yang bahkan tidak pernah lagi kita ingat, wajah dan di mana kita bertemu.
Ayo semangat bil, kamu juga
Banyak hal yang masih bisa kita syukuri di dunia ini, termasuk kehadiran orang-orang yang kita sayangi, kamu salah satunya :*
Purwokerto, 6 September 2016
Azifah Najwa
Aku ingin berbagi cerita. Kalian boleh menyebutnya "Ibu", aku juga. Entah ibu siapa saja, bagiku setiap perempuan berhak dipanggil "Ibu".
Beliau adalah seorang ibu yang luar biasa.
Dibalik kesuksesan seseorang, selalu ada wanita yang luar biasa, luar biasa do'anya, luar biasa dukungannya. Maka aku sebut, beliau luar biasa, yang mengantarkan anaknya menjadi pribadi yang bermanfaat, pribadi yang selalu bisa diandalkan banyak orang
Beliau yang dengan penuh kepayahan mengandungnya selama 9 bulan
Beliau yang air susunya adalah makanan pertamanya
Beliau yang setiap pagi selalu memastikan bahwa anak laki-lakinya sarapan
Beliau adalah yang mengajarkan akhlak kepadanya, yang karenanya aku menjadi nyaman ketika di sisinya
Beliau yang mendidiknya dengan tanggung jawab dan bagaimana bertahan dalam berbagai keadaan, yang karenanya aku menjadi aman dan bahagia
Beliau yang sering ingin berbagi dan didengar cerita dan keluhnya, cukup didengar
Setelah pengorbanannya bertubi-tubi, anak laki-lakinya memilihku
Beliau bagi kasih sayang anaknya denganku
Cemburu? Pasti cemburu
Siapa aku?
Wanita asing yang tiba-tiba selalu disayang-sayang oleh anak laki-lakinya
Wanita asing yang selalu diperjuangkan anak laki-lakinya
Wanita asing yang lebih sering didengar ceritanya
Padahal,
Ia yang mengandung
Yang membesarkan
Yang mendidik
Tapi tetap saja
Do'anya adalah do'a-do'a terbaik
Do'a yang langsung menembus pintu-pintu langit
Do'a yang tidak dimiliki siapa pun
Termasuk wanita itu
Buatku, beliau luar biasa :'
Purwokerto, 5 September 2016
Azifah Najwa
Tak perlu mengejar yang ingin berlari pergi, dan tak perlu pula menunggu yang memilih berhenti
Kecuali kita memang bahagia menyia-nyiakan waktu
Sebab teman perjalanan yang sesungguhnya menyenangkan adalah mereka yang tak hobi menebar alasan demi alasan
Ada waktunya kita perlu kejam mengajarkan diri sendiri untuk merengkuh dengan berani sebuah konsekuensi. Jika kita paham bahwa tujuannya memang benar-benar tak lagi sejalan, memilih beranjak bisa jadi adalah keputusan terbijak.
Purwokerto, 5 September 2016
Azifah Najwa
Kecuali kita memang bahagia menyia-nyiakan waktu
Sebab teman perjalanan yang sesungguhnya menyenangkan adalah mereka yang tak hobi menebar alasan demi alasan
Ada waktunya kita perlu kejam mengajarkan diri sendiri untuk merengkuh dengan berani sebuah konsekuensi. Jika kita paham bahwa tujuannya memang benar-benar tak lagi sejalan, memilih beranjak bisa jadi adalah keputusan terbijak.
Purwokerto, 5 September 2016
Azifah Najwa
Tolong sampaikan padanya, aku rindu bisa berbicara dengannya tanpa beban. Membicarakan apa saja. Menertawakan semuanya. Sesuatu yang hilang entah sejak kapan. Sesuatu yang tak pernah aku dan dia lakukan lagi belakangan ini.
Purwokerto, 4 September 2016
Azifah Najwa
Jika aku sudah tak setia
Pasti ada yang salah dengan kita
Dan bukan, bukan salah cinta
Jika aku sudah tak setia
Kau berhak pergi
Bahkan bila tanpa kabar berita
Mungkin, aku tak mengapa
Jika aku sudah tak setia
Mungkin aku pun akan mengutuki diri sendiri
Merasa menjadi orang lain
Bukan diri pribadi
Jika aku sudah tak setia
Kau boleh membenciku
Sampai rasa sakit itu hilang semua
Begitu juga sebaliknya
: Meski kita, tak akan mungkin baik-baik saja.
Semaya, 4 September 2016
Azifah Najwa
Pasti ada yang salah dengan kita
Dan bukan, bukan salah cinta
Jika aku sudah tak setia
Kau berhak pergi
Bahkan bila tanpa kabar berita
Mungkin, aku tak mengapa
Jika aku sudah tak setia
Mungkin aku pun akan mengutuki diri sendiri
Merasa menjadi orang lain
Bukan diri pribadi
Jika aku sudah tak setia
Kau boleh membenciku
Sampai rasa sakit itu hilang semua
Begitu juga sebaliknya
: Meski kita, tak akan mungkin baik-baik saja.
Semaya, 4 September 2016
Azifah Najwa
dengan aku tidak punya alasan mengapa aku bisa jatuh hati padamu, aku juga tidak punya alasan mengapa aku harus berhenti jatuh hati atau tidak jatuh hati lagi padamu
Rentang Tunggu, 25 Januari 2015
Azifah Najwa
Jangan jadi bisu karena luka, bicaralah pada Rabbmu, pada gelap, pada angin, pada apa pun yang membuatmu sedikit lebih lega...
Rentang Tunggu, 4 September 2016
Azifah Najwa
Akan ada saatnya kita menerima seseorang dalam hidup kita.
Menjadi teman kita.
Menjadi teman kita.
Seseorang yang tadinya entah siapa.
Kemudian kau mulai bertanya-tanya,
Benarkah dia akan menjadi temanku?
Apakah dia seseorang yang dapat aku temani?
Kemudian kau mulai bertanya-tanya,
Benarkah dia akan menjadi temanku?
Apakah dia seseorang yang dapat aku temani?
Aku ragu...
Purwokerto, 3 September 2016
Azifah Najwa
Hari ini aku melihat lagi skenario Allah yang luar biasa. Hari ini aku melihat lagi bahwa do'a ibu adalah do'a yang langsung menembus pintu langit. Hari ini aku melihat lagi bahwa Allah akan selalu mengabulkan do'a hambaNya, entah kapan, entah di mana, entah apa bentuknya.
Dua minggu terakhir di sisa KKNku ada satu hal yang membuatku begitu mengganjal. "Bagaimana dengan penelitianku?". Kala itu, aku masih menaruh harapan besar pada beasiswa Indofood Riset Nugraha. Bahkan bisa dibilang hanya IRN satu-satunya harapanku. Beasiswa Nutrifood gagal aku dapatkan. Dosen Pembimbing Akademik sedang tidak ada proyek. Meminta proyek penelitian ke dosen lain? Entahlah, yang jelas aku malu. Dosen sering bilang di kelas, "kalian jangan cuma minta proyek ke dosen, kalau bisa penelitian sendiri". Bagaimana dengan penelitian mandiri? Tapi dananya? Meskipun ada sedikit tabungan. Meskipun ibu bersedia membantu biaya penelitian. Tapi bagaimana mungkin ibu mengizinkan aku kuliah di luar negeri jika masalahku sendiri saja tidak mampu aku selesaikan? Aku hanya ingin dipercayai.
Sore tadi, aku berniat bertemu salah seorang kakak kelas. Tidak lain tidak bukan hanya untuk meminta masukan dan nasihat, apa yang harus aku lakukan dengan penelitianku, di tengah idealisme dan realita yang ada. Ah sungguh, pertanyaan "kapan penelitian?" Itu menyakitkan ya. Seengaknya itu yang aku rasakan 2 hari ini, sejak pulang KKN, sejak sebelum sore tadi. Sejak sebelum sebuah telpon masuk ke handphoneku.
Setelah cerita panjang lebar, akhirnya kami menemukan sebuah solusi. Menanyakan kapan IRN akan diumumkan dengan banyak catatan. Maka, saat itu juga aku segera mengirim email ke CP sekretariat IRN. Saat sedang mengetik kata "Terima kasih", sebuah telpon dari nomor tak dikenal masuk ke handphoneku. Dari sini cerita ini akan dimulai. Di layar handphone tertera dari mana telpon itu berasal "Jakarta". Yang jelas dibagian ini perasaanku mulai tak karuan. Lalu membiarkan lawan bicaraku pergi hanya untuk mengangkat telpon itu. Mungkin jika hatiku lebih tenang aku bisa mendengar suara dibalik telpon itu dengan jelas, harusnya aku merekamnya. Yang kalian perlu tahu, tanganku bahkan bergetar saat nama, asal universitas, hingga judul proposal penelitianku disebutkan. Padahal belum dinyatakan lolos. Kau tahu apa yang terjadi begitu suara dibalik telpon itu menyatakan bahwa proposalku lolos? Yang aku ingat hanya ibu. Hamdalah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Aku lolos beasiswa penelitian Indofood Riset Nugraha. Tentu aku masih ingat bagaimana perjuangan penyusunan propoasal itu. Bagaimana aku menyembunyikan segala ketakutanku dari ibu. Segala kekhawatiranku. Segala kemungkinan yang tidak sesuai harapan. "Jangan menaruh harap pada makhluk, kau dapat kecewa karenanya". Itu prinsip yang aku pegang. Jadilah setiap kali aku ingat penelitian aku langsung telpon ibu. Mendengarkan suara ibu tanpa harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sekali lagi, saya selalu percaya, do'a ibu langsung menembus pintu langit.
Bagi orang yang hidup dengan impian-impiannya, dipercayai itu lebih penting dari sekadar disemangati.
Terima kasih, Bu, telah percaya.
Aku hanya cukup percaya bahwa do'a ibu adalah do'a yang langsung menembus pintu langit.
Semangat penelitian! ^^
Selamat menyaksikan lagi berbagai keajaiban do'a ibu ^^
Purwokerto, 1 September 2016
Azifah Najwa
Apa kabar?
Lama tak mendengar kabarmu. Lama tak membaca puisi-puisimu.
Kau baik-baik saja? Apa kau masih menyembunyikan segala sesuatu dibalik sikap cuekmu? Apa kau masih menyembunyikan semuanya dibalik lelucon-leluconmu? Apa yang ingin kau ceritakan dibalik diksi di semua puisi-puisimu?
Aku masih orang yang bisa kau percaya untuk menyimpan semua rahasiamu. Aku masih teman yang siap menemanimu menulis puisi kapan pun itu, asal tidak lewat jam 9 malam, itu perjanjian kita.
Aku baik-baik saja, kau baik-baik ya!
Purwokerto, 1 September 2016
Azifah Najwa