Terlambat
3:39 PM
Jus stroberi yang aku pesan tinggal tersisa sepertiganya. Berpura-pura menikmati pertemuan ini membuatku butuh banyak pengalihan, dengan terus minum misalnya. Sedang pertemuan ini belum membicarakan apa pun.
"Kau tidak berniat pesan yang lain?," tanyanya membuka percakapan.
"Eeh, engga, minum aja," jawabku. Dari cara kami bertanya dan melempar jawaban kalian bisa menyimpulkan bahwa saat ini kami benar-benar canggung.
Kalau tidak salah ingat, pertemuan ini adalah kali pertama sejak wisuda tiga tahun lalu. Sejak kau kembali ke kotamu dan aku memilih menetap di sini, kita tidak pernah lagi bertukar kabar. Entahlah. Aku yang terlalu pengecut untuk memulai atau kau yang memang sudah tidak lagi peduli. Dan sore ini kau mengajakku bertemu?
"Gimana kabarmu, Nad?"
Pertanyaan retoris, pikirku. "Baik, sangat baik malah," jawabku singkat.
"Syukurlah," jawabnya, sembari meminum late kesukaannya. Tidak ada yang berubah darinya, kecuali mungkin orang yang kini menjadi tokoh utama di balik desain-desainnya.
"Kapan ya kita terakhir ngobrol kayak gini? Rasanya canggung sekali." Benar kan apa kataku, tidak hanya aku, dia juga merasa canggung.
Aku hanya tersenyum. Sembari mengingat-ngingat kapan terakhir kali kita bertegur sapa. Seingatku terakhir kali kita bertemu saat acara pelepasan, kau berdiri di depanku karena absenmu tepat di depanku, iya hanya berdiri, tanpa menoleh sedikitpun seolah tidak pernah ada aku dibelakangmu.
"Nad, ada yang ingin aku sampaikan."
"Hmmm," aku hanya berdehem, sambil terus memainkan sedotan di gelasku.
Rafa menyodorkan sebuah kotak merah dengan cincin di dalamnya. Aku menatapnya tak mengerti.
"Maaf, Nad, jika hari itu aku mengacuhkanmu. Tapi semoga kau tahu, bahwa tak sehari pun aku tak mengetahui kabarmu, aku tahu saat kamu di rawat di RS, aku tahu saat kamu sedang sibuk dengan organisasimu, aku hapal jam biologismu, aku tahu kapan kamu tidur dan berangkat kuliah. Tak ada satu pun yang aku lewatkan darimu, Nad. Meski sapaku tak pernah menjumpaimu."
Aku benar-benar semakin tak mengerti.
"Seperti yang kau pikirkan, Nad, tidak ada yang berubah dariku, tidak juga tokoh utama di balik desain-desainku."
"Tapi aku bukan lagi Nada yang dulu, Fa," jawabku sambil beranjak dari dudukku.
Sudah terlambat, sungguh sudah terlambat. Cincin di jari manisku telah menjelaskan segalanya, gumamku sembari meninggalkan Rafa yang masih terpaku pada cincin yang seharusnya untukku..
***
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, percayalah. Hahaha
Selamat menempuh hidup baru sahabatku, tidak ada lagi kita yang diam-diam bertanya kabarnya, tidak ada lagi kita yang diam-diam kegirangan saat tak sengaja berpapasan di koridor sekolah -meski sungguh hanya berpapasan, tidak ada saling tegur apa lagi sapa, tapi mampu membuat hari itu berbunga-bunga-, tidak ada lagi kita yang rela lewat pintu belakang yang artinya harus mengitari sekolah hanya demi lewat kelasnya, meski selalu tidak bertemu, karena kita berangkat terlalu pagi dan pulang terlalu siang, sedang ia sebaliknya. Selamat! Jika aku tidak hadir anggap saja aku marah karena kau terlambat memberiku kabar. Meski sebenarnya aku paling bahagia.
Salam sayang,
Purwokerto, 3 September 2017
Azifah Najwa
0 komentar