Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home

    Karena kita tidak pernah tahu kapan kita akan berpulang menghadap sang pemilik jiwa ini.
    Maka, mengapa tidak untuk mulai berdamai dengan segala kerumitan takdir.
    Mulai menjalani hari demi hari hidup kita dengan menjadi orang yang benar, mulai menggiatkan ibadah kita dengan niat yang tulus.
    Selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada siapapun orang-orang di sekeliling kita. Mulai menjadi manusia yang paling semangat memperbaiki diri.

    Jika lelah dengan bagaimana hidup ini memperlakukan kita, maka ingatlah kembali, bahwa kita pasti akan menemui fase istirahat yang panjang. Hanya saja, kita tidak pernah tahu kapan masa itu akan tiba


    Sakit itu tentang belajar bersyukur dari nurani yang terdalam


    Purwokerto, 16 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, tetap jadilah diri sendiri.

    Karena jika memang sudah tiba masanya, akan ada orang yang cukup luas hatinya untuk kau tinggali. Cukup bijaksana pikirnya untuk kau ajak bicara.

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, tetaplah jaga diri selayaknya menjaga orang yang paling berharga untukmu. Karena nantinya kamu akan sangat berharga untuk seseorang yang sangat berharga untukmu.

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, selalu lah menjadi diri sendiri. Akan ada orang yang cukup kuat kakinya untuk kau ajak jalan bersama. Cukup erat genggamannya untuk membuatmu tenang. Lebih dari itu, ia mampu menerimamu yang juga serba cukup.



    Untuk mencintaiku kamu harus menjadi dirimu sendiri terlebih dahulu.
    Seperti tabiat air, dia akan berubah dengan sendirinya saat sudah berikatan. 


    Purwokerto, 13 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Allah, aku ingin meminta waktu lagi
    Waktu 24 jam yang Kau berikan sehari sama sekali tidak cukup
    Aku susah sekali meluangkan waktu untuk tilawah
    Terlebih untuk menghafal, waktu untuk muroja'ah saja tidak ada

    Susah sekali untuk sekadar sholat berjama'ah
    Bahkan munfarid pun sering aku tunda-tunda


    Allah, boleh ya aku meminta waktu lagi
    7 hari dalam seminggu yang Kau berikan masih kurang
    Aku tidak punya waktu lagi untuk sekadar pulang, mencium tangan ayah-ibu
    Tidak muluk-muluk untuk bisa birul walidain


    Begitu banyak amanah dakwah-Mu yang harus aku emban
    Lelah sekali rasanya
    Meskipun aku tahu
    Kau pasti memaklumi semua itu


    Allah, boleh kan aku meminta waktu lagi
    Lelah rasanya
    Berjalan di jalan ini sendirian
    Aku tak cukup istiqomah
    Acap kali aku berpikir
    Yang lain saja tidak peduli
    Kenapa aku harus peduli?

    Aku ingin berhenti saja
    Mundur
    Mengurus akademikku yang selama ini terbengkalai

    Aku ingin berhenti saja
    Hengkang
    Mengurus urusanku yang selama ini aku sampingkan

    ................................................................................................................................................................


    Astaghfirullah, astaghfirullah
    Rabb, maafkan diri ini yang terlalu banyak menuntut
    Malu rasanya, saat yang lain menganggap ibadah yang kita lakukan sebagai sesuatu yang "wah" tapi tak ada efeknya sama sekali.
    Malu rasanya saat mulut, kaki, tangan ini menyerukan kebaikan tapi hati ini seakan berbelok

    Jalan ini memang hanya untuk mereka yang istiqomah
    Maka dari itu masukkan kami ke dalam golongan orang yang istiqomah itu

    Jalan ini memang hanya untuk mereka yang kuat
    Maka dari itu masukkan kami ke dalam golongan orang yang kuat itu

    Jangan Kau kurangi beban kami
    Cukup beri kami kekuatan lebih


    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik...





    Purwokerto, 13 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading



    Menunggu detik-detik pulang, yeeaaaaayyy    \(^o^)/
    #3 hari lagi padahal -____-

    Kebumen memang jawaban dari begitu banyak   alasan kepergian. Ke manapun muaraku kelak, aku pasti akan kembali ke kota kecil ini. Membangun kota ini. Menyiptakan peradaban baru dari kota kecil ini #fullhope

    Ehem, dari begitu banyak alasan pulang, yang membuatku selalu rindu rumah adalah dua makhluk kecil -yang kini malah lebih dewasa dariku-  Ulfi dan Bela. Ufi, ya, hahaha, maafkan kakakmu ini ya, karena dulu susah sekali saat harus menyisipkan huruf “L” di anatara namamu, akhirnya hingga sekarang mba memanggilmu Ufi. Hehe
    Mba lagi dengerin lagu kesukaan kita bertiga hlo sambil liatin foto kita bertiga –Andaikan Aku punya Sayap-

    Aaaaaa, kangen. Selalu kangen.
    Tapi kalo di rumah kita selalu berantem ya, eh engga, kita sama Bela ya dek. Maafkan kakak-kakakmu ini ya, Bel, kita jahil karena kita sayang #uhuk

    Tidak punya kisah begitu banyak dengan Bela, karena usia kita yang terpaut sangaaat jauh, 11 tahun. Bela si, lahir lama-lama, aku sering menyalahkan dia begitu. Hahaha

    Yang paling diingat dengan Bela adalah saat tanganmu melepuh karena kembang api, hiks, usiamu saat itu baru satu tahun, baru bisa jalan tapi sudah sok sekali ikut bermain kembang api dengan kita. Alhasil, kakakmu ini kabur, haha, takut kena marah ibu, tapi bagaimana pun kau tetap membutuhkan dua kakakmu yang nakal ini, Bel, ah anak kecil memang mudah sekali memaafkan, itu sebabnya aku begitu menyukai anak kecil.

    Oh iya, dulu kan kakakmu ini yang selalu mengajakmu main, pagi, sebelum berangkat sekolah, ibu masak, bapak nyuci, terkadang mba mengajakmu melihat kambing, sapi, ayam –tapi kita tidak pergi ke kebun binatang- atau mengajakmu bersepeda, hingga pukul 6.45 mba siap-siap berangkat sekolah, iya baru mulai siap-siap, dan begitu bel sekolah berbunyi, kakakmu ini cukup lari, hahaha, aaaa, rindu sekali saat –saat ini, ingin sekali rasanya mengutuk segala kesibukan ini, yang membuatku tertahan dan tak bisa mengajakmu bermain lagi.  Besok kita main sepuasnya ya? ;)

    Hmmmmm, tidak banyak cerita denganmu Bel, bagaimana lagi, selepas SMP, SMA, hingga kuliah sekarang, kakakmu ini sok sibuk sekali. Maaf ya, bahkan terkadang lupa menanyakan kabarmu :’)))

    Kalau dengan Ulfi beda lagi, hanya terpaut usia 3 tahun membuat kita menghabiskan sebagian masa kecil kita bersama. Ke manapun aku main aku selalu mengajakmu, tak pernah merasa terganggu karena harus mengajakmu. Belajar yang rajin ya, hahaha, udah itu aja.

    Sekarang mba mengerti rasanya rindu itu. Saat rindu sudah membuncah di dada, maka hanya do’a senjatanya. Tidak menyalahkan kalau selama ini kalian sering protes kenapa kakakmu ini jarang pulang. Atau pulang hanya sebentar. Atau pulang tapi masih saja berurusan dengan pekerjaan. Maaf ya, lama sekali mba memahami ini. Pernah iseng baca diary kalian, mba tidak pernah terbesit akan hal ini, atau karena mba memang tidak memiliki kakak, “Ingin sekali menahan mba di sini, selamanya, menjadi sahabat kita, menjadi teman berantem, tapi bagaimana pun, suatu saat mba juga bakal jadi punya orang, ga tau tinggal di mana, dan apakah masih bisa pulang walau hanya sebulan sekali seperti sekarang, kalau kita meminta, mba masih akan memberikan semua waktu liburnya untuk kita, tapi besok, akan ada orang yang lebih berhak meminta semua waktu liburnya, akan ada orang lebih wajib disayang mba, akan ada anak-anak yang akan lebih wajib diajari belajar mba....”

    Begitu ya kalau kalian sudah rindu. Kalian begitu menakutkan banyak hal. Ingat selalu pesan kakakmu ini, “Saat rindu kalian membuncah, berdo’lah”

    Maaf ya karena belum bisa menjadi kakak yang baik untuk kalian, maaf belum bisa meluangkan waktu untuk kalian...



    Nabila Faradina Iskandar - Ulfi Uswah Iskandar - Salsabila Najwa Iskandar
    Continue Reading
    Seharusnya saya sedang menyelesaikan PKM, hehe, untuk ketua kelompok PKM saya, nanti lagi ya mas ta seleseinnya. Kebiasaan burukku ini nih, kalo udah buka leptop, mesti mampir ke mana-mana dulu -,-

    Udah hari jum’at lagi aja, perasaan baru kemarin. Ehem. Itu artinya seminggu lagi saya pulang! Yeay!

    Sambil muter backsong “Mother”...

    Seminggu terakhir otak saya dipenuhi mimpi-mimpi yang sempat tercecer. Sudah saya bereskan dan saya rapihkan barusan. Tinggal direalisasikan satu per satu –bismillah-. Bermula dari sharing pasca Eval OSMB yang gagal, saya seakan kembali menjadi diri saya lagi. Huu, betapa bodohnya, dua semester ini hanya jalan di tempat. Meskipun beberapa teman tidak membenarkan pernyataan saya. “IPmu berapa? Udah menang lomba apa aja dua semester ini? Beasiswa dari mana-mana, masih dibilang jalan di tempat? Kalau kamu hanya jalan di tempat, lalu aku ngapain? Ngesot?,” ada teman yang menimpal seperti itu saat saya bilang kalau dua semester ini saya hanya jalan di tempat. Jleb. Bukan saya tidak bersyukur. Sungguh bukan. Jika kalian tahu apa-apa saja yang seharusnya saya realisasikan di dua semester masa kuliah saya, kalian pasti akan mengatakan hal yang sama. Dua semester ini gerak saya stagnan, diam dalam fase pencarian pembenaran.

    Selama ini, segala hal yang saya lakukan seakan masih setengah-setengah. Tidak pernah sempurna fokus. Akan saya bocorkan sedikit impian saya di perjalanan 3,5 tahun ini. Ya ini, menyelesaikan studi  3,5 tahun. Mustahil. Begitu kata orang-orang. “Mustahil menyelesaikan studi 3,5 tahun di prodimu.” 10 dari 10 orang yang saya beri tahu hal ini mereka mengatakan demikian. Sebal? Tentu iya. Jadi kalian meremehkanku? Awas saja! Saya hanya menggerutu demikian di dalam hati. Tetap saya dengarkan, masukan telinga kanan keluarkan telinga kiri, hehehe. Masa bodoh apa kata orang, mereka hanya bisa mencibir dan menertawakan, tidak tahu seberapa kuat saya berusaha.

    Mimpi kedua, mapres unsoed. “Udah masuk unsoed, masa ga bisa jadi mapres.” Saya selalu memotivasi diri sendiri seperti itu. Iri. Jujur iri. Iri dengan teman-teman yang bisa masuk universitas bonafide yang mana segala “fasilitas” terpenuhi. Saya hanya butuh fasilitas budaya kompetetif yang sehat. Itu saja, terlalu muluk-mulukkah? Kadang saya juga menertawakan diri sendiri. Punya apa saya untuk jadi mapres? Kemampuan Bahasa Inggris saya bisa dibilang masih standar. IP saya belum pernah 4, lalu apa lagi, persiapan saya untuk menjadi mapres masih stagnan pada modal tekad. Itu saja.  

    Mimpi ketiga, melanjutkan studi ke Jepang. Kalian tahu apa alasan saya ingin melanjutkan studi ke Jepang? Hanya satu. Jepang itu negerinya Doraemon. Tertawa? Silakan. Menganggap ini lelucon? Saya serius, sedang tidak melucu. Siapa si yang tidak ingin melanjutkan studi ke negeri matahri terbit ini, dengan segala sistem yang mutahir, fasilitas publik yang memadai, dan budaya masyarakatnya, Jepang menjadi tempat favorit kebanyakan mahasiswa Indonesia. Jadi, jika suatu saat Jepang tidak memiliki semua itu, saya masih punya alasan kenapa saya harus melanjutkan studi di Jepang, karena bagaimanapun sejarah dunia pernah mencatat kalau Doraemon lahir dan tumbuh di Jepang.

    Mimpi keempat, buku saya terbit, udah itu aja!

    Mimpi kelima, beras analog fungsional! Ahli pangan tetap harus memegang teguh idealismenya sebagai ahli pangan, tapi bukan berarti tidak melihat kebutuhan.

    Dan impian terbesar saya adalah kembali ke Kebumen. Membangun kota beriman ini. Punya apa saya? Punya semua itu di atas. Punya Allah. Kebumen tidak hanya tentang keluarga, rumah, dan kawan. Tapi juga tentang alasan dari banyak kepergian.

    Kalian pasti akan berpikir saya gila, mimpinya terlalu tinggi dan terlalu berani. Silakan.

    Jika hanya mendengarkan mereka yang tidak tahu bagaimana kamu seutuhnya dan baru hidup bersamamu barang beberapa semester, saya yakin kamu akan jatuh, hancur berkeping-keping. Saya pernah merasakannya, maka dari itu saya bicara. Saya meragukan diri saya? Sudah pasti. Tapi bagaimana mungkin saya meragukan kepercayaan kedua orang tua saya.

    Yang saya suka dari pelagi, pelangi tidak terbentuk hanya oleh adanya sinar matahari dan gerimis. Tetapi butuh sudut bias yang presisi. Allah sudah menyediakan sinar dan gerimisnya, tinggal bagaimana saya mengusahakan sudut biasnya.

    “Allah, jadikan setiap harap agar tak berlebihan, agar setiap rasa selalu dalam kadarnya, agar tiap cita selalu dalam bingkai niatnya...”


    #Ingatkan saya kalau saya punya cita-cita ini J
    Continue Reading

    Lagi beresin cerpen jaman SMA dan inget sesuatu...
    Tiga tahun lalu saya sempat bersitegang dengan ibu. Meski tidak mau mengakui, saya menyadari kalau saya keras kepala. Lebih lagi untuk urusan pilihan hidup. Pilihan hidup? Sok sekali saya waktu itu, padahal usia saya belum genap 17 tahun saat itu. Untuk teman-teman yang pernah satu perjuangan, kalian pasti sudah tahu benar cerita saya, alurnya, latarnya, bahkan tokoh-tokoh di dalamnya.

    Sebelumnya akan saya jelaskan karakter tokoh saya di sini, saya adalah anak yang keras kepala –kata orang, saya sih tidak pernah mengakuinya-, tidak pernah patah semangat, selalu berusaha untuk mewujudkan apapun impian saya. Karena terlalu keras kepala, saya jarang mendengarkan apa kata orang, kalau menurut saya ga papa ya bakal saya terjang aja, toh saya sendiri yang bakal menerima konsekuensinya. Meski begitu, ibu tetap satu-satunya orang yang selalu saya dengarkan, apapun perintahnya, apapun keinginannya, akan selalu berusaha saya turuti. #ambil tisu

    Semuanya bermula dari perbedaan keinginan. Keinginan untuk menentukan pilihan hidup –lagi-lagi pilihan hidup-. Sepetinya tidak hanya saya yang pernah berselisih dengan orang tua untuk urusan pilihan hidup. Setiap orang tua ingin anaknya berhasil. Di sinilah letak perbedaan pandangan kami. Bagi saya berhasil adalah saat saya nyaman dengan apa yang saya lakukan, yang saya kerjakan. Sedangkan ibu berbeda, sampai sekarang saya juga belum bisa mendefinisikan maksud berhasil ibu bagaimana, sambil jalan saja.

    Untuk teman-teman yang mengenal saya, baik itu baru kenal sejam, sehari, atau pun bertahun-tahun, kalian pasti tahu siapa saya. Dan tanpa menanyakan apa cita-cita saya, kalian pasti sudah tau jawabannya. Penulis. Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain. Lalu bagaimana, saat jari-jari yang biasa menari di atas kertas ini harus bekerja di atas meja operasi? Kalian pasti ngeri membayangkannya, saya lebih lagi. Berhadapan dengan jarum-jarum itu. Rabb!

    Ya, ibu meminta saya untuk menjadi dokter. Alasan ibu sederhana, hanya ingin ada yang mengobatinya saat ibu sakit. Itu saja. “Aku akan selalu meminta Allah untuk memberi ibu kesehatan, jadi ibu tidak harus punya anak dokter,” itu kata-kata pamungkas saya waktu itu. Atau ini “Yasudah, Bu, suami Na saja ya yang jadi dokter, Na ga usah jadi dokter ya.” Bukan semakin mengizinkan, ibu malah menjitak kepala saya, tidak percaya bahwa anak gadisnya sudah memikirkan suami, hahahaha.

    Aku tidak benar-benar memikirkan permintaan ibu untuk menjadi dokter. Ya karena saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi dokter. Bukan, alasan sebenarnya karena saya takut jarum suntik, udah, itu aja. Meskipun tidak memikirkan, saya selalu berusaha agar hati ibu saya luluh, dan mengizinkan saya masuk Sastra Indonesia. Sastra Indonesia, ya, entah jurusan macam apa dan bagaimana kuliahnya, mengapa saya begitu ingin menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Saya sering menambahkan gelar S.S dibelakang nama saya, bahkan di kontak handphone teman-teman saya, hahaaha, ada yang masih menyimpannya? :’)

    Apakah dengan masuk Sastra Indonesia lantas saya akan terus menjadi penulis? Tentu tidak, saya tidak pernah berpikir demikian.
    Semua berjalan seperti biasa, ibu masih menganggap saya akan menuruti keinginannya -menjadi dokter-. Dan saya terus berusaha meluluhkan hati ibu saya dengan berbagai lomba-lomba. Jadi buat teman-teman yang pernah menanyakan mengapa saya aktif mengikuti lomba nulis ini-itu dari dulu, ya cuma ini alasannya, untuk mendapatkan restu ibu.  

    Hingga akhirnya, pengumpulan berkas SNMPTN satu bulan lagi...
    Di sinilah puncak bersitegang saya dan ibu. Ibu tetep kekeh agar saya masuk kedokteran, kalau sekarang ibu ada opsi, sekolah kedinasan. Tapi bagi saya, itu sama sekali bukan opsi. Itu sama saja. Sebenarnya saya hanya tidak ingin dikekang, terikat oleh lembaga, itu saja –padahal, dari dulu keinginan saya juga menjadi dosen xD-. Dan saya tetap dengan keinginan saya untuk masuk Sastra Indonesia. Tapi saya tidak pernah mengizinkan diri ini untuk membangkang dari ibu. Jadi, sejak saat itu, saya memangkas habis keinginan saya untuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Untuk Mulyani dan Febri, bisa bantu saya mengingat-ngingat bagaimana kondisi saya saat itu? Saya benar-benar sudah lupa bagaiman perasaan saya kala itu, mungkin karena saya melepaskannya dengan ikhlas, jadi dengan mudahnya itu saya lupakan. Satu hal, Allah tidak pernah tidur, itu saja. Melepaskan sastra Indonesia tak lantas saya mengiyakan tawaran ibu masuk kedokteran ya?! Bayangkan saja, saya takut sekali dengan jarum suntik! Itu alasan paling logis yang saya punya. Maka sejak saat itu saya mulai mencar-cari jurusan yang sekiranya pas dan sesuai minat saya. Jatuhlah pilihan saya ke Teknologi Bioproses. Ibu orang yang tidak mudah diluluhkan, dua tahun saja tidak cukup untuk meyakinkan ibu bahwa Sastra Indonesia adalah impian saya. Lalu? Entahlah yang saya yakin Allah tidak pernah tidur.

    Saya mulai mencari tahu apa itu Bioproses dan bagaiman prospek kerjanya, bagaimana kuliahnya, dan apa-apa saja yang bisa saya lakukan dengan jurusan itu. Dan akhirnya, saya menemukan satu-satunya alasan. Satu? Meyakinkan ibu untuk Sastra Indonesia selama dua tahun, dengan berderet alasan, dan bukti-bukti kejuaraan itu saja tak sanggup, lah ini hanya dengan satu alasan. Bukan Nabila namanya kalau tidak berani mencoba hal yang baru. Maka hari itu juga, saya mengajukan keinginan saya. Dan, alasan pamungkas saya pun saya sampaikan. “Bismillah. Ehem. Begini, Bu. Ibu tahu kan alasan Na ga pingin jadi dokter, lagian, Bu, ini kan undangan, Na bakalan kalah bersaing nilainya sama temen-temen. Alasan kenapa Na ambil bioproses, Na pingin cari tahu, pengganti insulin yang halal. Itu aja. Biar ga ada lagi orang yang meninggal karena diabetes.” Aku pun segera beranjak, pura-pura belajar untuk Try Out besok, hampiir saja tumpah air mata ini. Sok sekali saya, siapa yang menjamin saya bisa menemukan insulin itu hanya dengan masuk Bioproses, hahaha
    Saya tidak akan menceritakan bagaimana isi perbincangan saya dengan ibu malam itu. Biar itu menjadi rahasia kita, yang jelas, ibu mengizinkan. Alhamdulillah. Kapan yaaa aku bisa sebijaksana ibuu #LapIngus

    Maka sejak saat itulah, saya memperjuangkan Bioproses layaknya saya memperjuangkan Sastra Indonesia.

    Hingga pengumuman SNMPTN tiba....
    Sejak awal saya memang tidak menaruh harapan besar kepada SNMPTN. Bagaimanapun, jurusan yang saya pilih cukup bonafide. Jadi saat saya berharap ada tulisan hijau di laman pengumuman SNMPTN saya namun yang ada tulisan berwarna merah, kalau boleh nyuri kata-katanya Jokowi, aku rapopo. Iya, aku rapopo, tapi lama-lama aku ga sanggup juga. Maka di malam yang sudah kelewat malam, tangisku pecah. Saya menangis, menyesal, harusnya saya bisa menorehkan tinta hijau di laman pengumuman SNMPTN saya. Tapi ya sudah, masalahnya selesai malam itu juga. Maka saat hari esok datang, saya sudah kembali lagi menjadi Nabila.

    Pagi sebelum aku bersiap mengurus berkas untuk tes UM, ibu ke kamar. Ibu menanyakan bagaimana kesiapanku. Dan ibu menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan, jangankan membayangkan, memikirkannya pun aku tak berani. Ibu menawariku untuk mengambil Sastra Indonesia. Mengizinkanku dan merestuiku dengan sepenuhnya. Aku tertegun. Sastra Indonesia. Aku sudah mempimpikannya sejak lama, memperjuangkan itu dua tahun, meskipun aku telah memangkasnya, akarnya masih aku tinggalkan, berharap dapat tumbuh lagi. Maka inilah sesungguh-sungguhnya pilihan. Saat aku dihadapkan dengan apa yang pernah saya perjuangkan dan dengan apa yang sedang saya perjuangkan. Dilema? Jelas! Andai saja aku punya sedikit keberanian, mungkin hidupku akan berubah.

    Berhari-hari saya memikirkan ini. Bismillaah. Saya sudah punya jawabannya. Maka, malam itu juga, aku sampaikan baik-baik dengan ibu.

    “Saat ibu memintaku, menanyakan kembali keinginanku untuk masuk Sastra Indonesia, tanpa perlu menjawab, Na yakin ibu sudah tau jawabannya. Ibu mengenalku jauh dari Na mengenal diri Na sendiri. Ibu yang selama ini mengajari Na menulis. Sejak kecil. Ibu tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritaku yang panjang, jadi ibu meminta Na untuk menuliskan apa yang aku lakukan seharian ini. Dan saat malam tiba, ibu akan membacanya. Aku tak perlu ikut training kepenulisan untuk sekedar menumbuhkan keinganan menulis atau kata orang bakat menulis. Aku sudah punya trainer yang handal. Maka, saat ibu meminta Na mengambil jurusan itu, Na akan menolaknya, Na tetap bisa menjadi penulis tanpa harus masuk Sastra Indonesia. Iya kan, Bu? Kalaupun tidak ada yang mau membaca karyaku, pasti ibu akan mau membacanya.”

    Aku tidak pernah tau kalau ternyata ibu telah menyiapkan uang jauh-jauh hari agar saya benar-benar masuk kedokteran. Ibu pun memilih menunda keinginannya pergi haji. “Bapak dulu saja yang pergi haji, besok ibu sama kamu”. Rabb! Apa sebenarnya yang menyusun kepalaku, hingga kepalaku sekeras ini.

    Allah Maha Adil, Ia tidak pernah tidur. Allah tidak menempatkanku di Sastra Indonesia, juga tidak menempatkanku di Teknologi Bioproses. Allah menempatkanku di tempat terbaik untuk mempelajari kebutuhan manusia. Segala sesuatu bermula dari makanan, makanan bisa menuntunmu ke neraka jika itu haram, makanan bisa menuai berbagai penyakit, dan makanan juga bisa membuat bahagia setiap orang, apalagi anak kos xD

    Terima kasih Allah, telah mengirimkan aku wanita sebijaksana ibu. Mencerdaskanku dengan bijaksana, membimbingku dengan kasih sayang.

    “Gusti Allah mboten nate sare, Nduk”



    Saat kamu ingin menyerah, ingat kembali alasanmu bertahan :')


    Memang benar, dibalik kesuksesan seseorang selalu ada wanita hebat yang bawelnya berkelas :D  
    Rindu ibu serindu-rindunya 


    Purwokerto, 25 September 2014 Azifah Najwa
    Continue Reading
    oleh:
    Nabila Faradina Iskandar
    Staf Ahli Kementerian Kajian Strategis
    BEM Kema Faperta Unsoed



               Para pemikir negeri yang saya hormati, berbicara tentang sektor pertanian tidak asing lagi ketika kita berbicara tentang negara ini. Agraris merupakan platform yang terpampang jelas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun, ketergantungan terhadap pasokan pangan impor masih menjadi salah satu permasalahan pelik bangsa yang pernah dicatat sejarah dunia karena swasembada berasnya ini. Bila di-tilik lebih jauh, ketergantungan impor bukanlah akar permasalahan. Dalam hal inilah petani menduduki posisi strategis dalam keatahanan pangan, sebagai konsumen juga sebagai produsen. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah upaya mewujudkan ketahanan pangan hanya tugas petani?
                Realitas tak terbantahkan bahwa pertanian merupakan sektor utama penyedia tenaga kerja  bagi bangsa ini dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa pada Februari 2014 jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 40,83 juta. Jadi, sudah barang tentu, pendapatan negara pun juga disumbangkan oleh sektor ini. Namun, yang menjadi masalah sekarang justru  regenerasi di sektor ini. Kekhawatiran terhadap banyaknya pemuda yang akhirnya memandang inferior bidang pertanian, padahal pertanian adalah aset berharga. 
    Transformasi ketenagakerjaan di sektor pertanian tanaman pangan boleh dibilang berlangsung lambat. Tingkat pendidikan petani yang tetap rendah dan semakin dominannya kelompok petani usia tua merupakan sejumlah indikasinya.  Tingkat pendidikan petani yang rendah adalah kenyataan yang tidak banyak berubah sejak dulu. Padahal, tingkat pendidikan petani sangat menentukan keberhasilan petani dalam menyerap teknologi dalam bidang pertanian, dan tentu saja tingkat efisiensi dari usaha tani yang mereka jalankan. Dan dua hal ini adalah faktor yang sangat penting dalam menggenjot produksi.
                Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (SOUTTP) yang dilaksanakan BPS pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 32,66 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 42,32 persen hanya tamat SD, dan 14,55 persen hanya tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Selain itu, pada hasil suervei yang sama, disebutkan bahwa sekitar 47,57 persen petani yang memiliki produksi terbesar berusia lebih dari 50 tahun. Data ini kian memperkuat pradigma yang tumbuh di masyarakat, bahwa menjadi petani adalah sesuatu yang tidak dinginkan dalam rencana hidup sebagian besar generasi muda bangsa ini.Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari kita semua, pasalnya rentan tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, bonus demografi merupakan keadaan di mana jumlah usia produktif meningkat pesat. Ini merupakan momentum sejarah yang jarang terjadi. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan secara optimal untuk menguatkan segala sektor yang ikut andil dalam pembangunan bangsa ini, khusunya sektor pertanian. Sehingga, dalam upaya menjamin ketahanan pangan bagi lebih dari 200 juta penduduk negeri ini tidak harus mengorbankan cadangan devisa dengan mengimpor dari luar.
                Selain petani, dalam kasus ini pemerintah lah yang memiliki andil terbesar karena segala keputusan dan kebijakan berada di tangan pemerintah. Ada banyak cabang permasalahan di bidang pangan yang pada akhirnya membuat negeri ini tidak dapat sepenuhnya berdikari di bidang pangan. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian, terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian, kelemahan dalam sistem alih teknologi, terbatasnya akses layanan usaha, dan masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian merupakan beberapa cabang masalah yang menyebabkan upaya mewujudan ketahanan pangan belum dapat terwujud. Tanpa penyelesain yang mendasar dan komperhensif dalam berbagai aspek di atas kesejahteraan petani akan terancam dan wacana ketahanan pangan akan stagnan dalam taraf wacana.
                Luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka diperlukan kerja sama yang sinergis antar institusi dan generasi muda. Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait. Nasib terpenuhinya kebutuhan perut ratusan juta rakyat Indonesia bertumpu pada petani dan nasib kemajuan pembangunan suatu bangsa bertumpu pada pemudanya.


               
    Purwokerto, 24 September 2014
    Catatan Idealisme
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ▼  2021 (10)
      • ▼  November (1)
        • Jogja
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ►  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ►  September (15)
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • Pertemuan
      Seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada pertemuan yang tanpa sengaja pun yang sengaja untuk tidak disengaja atau tidak sengaja untuk mencoba...
    • 08.17 p.m.
      Cinta adalah ibu yang setiap hari memasakan makanan untuk kami, dan tak sabar melihat anak dan suaminya tak beranjak dari meja makan karena ...
    • Do'a-Do'a
      Apa yang ada di benak kita, apa yang terus kita khawatirkan adalah do'a-do'a yang tanpa sengaja terus kita dengungkan Iya, do'...
    • Dandelion - Perbedaan
      Aku suka saat kita memperdebatkan hal-hal kecil. Aku suka saat kau memarahiku karena sesuatu yang aku anggap benar tapi salah bagimu, begad...
    • Dandelion, Done!
      Sebelum menutup kisah ini, boleh aku bertanya kepadamu? Tentang kapan Waktu yang diperbolehkan untukku berhenti menghitung cinta yang ka...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top