"Gusti Allah mboten nate sare, Nduk"

10:15 PM


Lagi beresin cerpen jaman SMA dan inget sesuatu...
Tiga tahun lalu saya sempat bersitegang dengan ibu. Meski tidak mau mengakui, saya menyadari kalau saya keras kepala. Lebih lagi untuk urusan pilihan hidup. Pilihan hidup? Sok sekali saya waktu itu, padahal usia saya belum genap 17 tahun saat itu. Untuk teman-teman yang pernah satu perjuangan, kalian pasti sudah tahu benar cerita saya, alurnya, latarnya, bahkan tokoh-tokoh di dalamnya.

Sebelumnya akan saya jelaskan karakter tokoh saya di sini, saya adalah anak yang keras kepala –kata orang, saya sih tidak pernah mengakuinya-, tidak pernah patah semangat, selalu berusaha untuk mewujudkan apapun impian saya. Karena terlalu keras kepala, saya jarang mendengarkan apa kata orang, kalau menurut saya ga papa ya bakal saya terjang aja, toh saya sendiri yang bakal menerima konsekuensinya. Meski begitu, ibu tetap satu-satunya orang yang selalu saya dengarkan, apapun perintahnya, apapun keinginannya, akan selalu berusaha saya turuti. #ambil tisu

Semuanya bermula dari perbedaan keinginan. Keinginan untuk menentukan pilihan hidup –lagi-lagi pilihan hidup-. Sepetinya tidak hanya saya yang pernah berselisih dengan orang tua untuk urusan pilihan hidup. Setiap orang tua ingin anaknya berhasil. Di sinilah letak perbedaan pandangan kami. Bagi saya berhasil adalah saat saya nyaman dengan apa yang saya lakukan, yang saya kerjakan. Sedangkan ibu berbeda, sampai sekarang saya juga belum bisa mendefinisikan maksud berhasil ibu bagaimana, sambil jalan saja.

Untuk teman-teman yang mengenal saya, baik itu baru kenal sejam, sehari, atau pun bertahun-tahun, kalian pasti tahu siapa saya. Dan tanpa menanyakan apa cita-cita saya, kalian pasti sudah tau jawabannya. Penulis. Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain. Lalu bagaimana, saat jari-jari yang biasa menari di atas kertas ini harus bekerja di atas meja operasi? Kalian pasti ngeri membayangkannya, saya lebih lagi. Berhadapan dengan jarum-jarum itu. Rabb!

Ya, ibu meminta saya untuk menjadi dokter. Alasan ibu sederhana, hanya ingin ada yang mengobatinya saat ibu sakit. Itu saja. “Aku akan selalu meminta Allah untuk memberi ibu kesehatan, jadi ibu tidak harus punya anak dokter,” itu kata-kata pamungkas saya waktu itu. Atau ini “Yasudah, Bu, suami Na saja ya yang jadi dokter, Na ga usah jadi dokter ya.” Bukan semakin mengizinkan, ibu malah menjitak kepala saya, tidak percaya bahwa anak gadisnya sudah memikirkan suami, hahahaha.

Aku tidak benar-benar memikirkan permintaan ibu untuk menjadi dokter. Ya karena saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi dokter. Bukan, alasan sebenarnya karena saya takut jarum suntik, udah, itu aja. Meskipun tidak memikirkan, saya selalu berusaha agar hati ibu saya luluh, dan mengizinkan saya masuk Sastra Indonesia. Sastra Indonesia, ya, entah jurusan macam apa dan bagaimana kuliahnya, mengapa saya begitu ingin menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Saya sering menambahkan gelar S.S dibelakang nama saya, bahkan di kontak handphone teman-teman saya, hahaaha, ada yang masih menyimpannya? :’)

Apakah dengan masuk Sastra Indonesia lantas saya akan terus menjadi penulis? Tentu tidak, saya tidak pernah berpikir demikian.
Semua berjalan seperti biasa, ibu masih menganggap saya akan menuruti keinginannya -menjadi dokter-. Dan saya terus berusaha meluluhkan hati ibu saya dengan berbagai lomba-lomba. Jadi buat teman-teman yang pernah menanyakan mengapa saya aktif mengikuti lomba nulis ini-itu dari dulu, ya cuma ini alasannya, untuk mendapatkan restu ibu.  

Hingga akhirnya, pengumpulan berkas SNMPTN satu bulan lagi...
Di sinilah puncak bersitegang saya dan ibu. Ibu tetep kekeh agar saya masuk kedokteran, kalau sekarang ibu ada opsi, sekolah kedinasan. Tapi bagi saya, itu sama sekali bukan opsi. Itu sama saja. Sebenarnya saya hanya tidak ingin dikekang, terikat oleh lembaga, itu saja –padahal, dari dulu keinginan saya juga menjadi dosen xD-. Dan saya tetap dengan keinginan saya untuk masuk Sastra Indonesia. Tapi saya tidak pernah mengizinkan diri ini untuk membangkang dari ibu. Jadi, sejak saat itu, saya memangkas habis keinginan saya untuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Untuk Mulyani dan Febri, bisa bantu saya mengingat-ngingat bagaimana kondisi saya saat itu? Saya benar-benar sudah lupa bagaiman perasaan saya kala itu, mungkin karena saya melepaskannya dengan ikhlas, jadi dengan mudahnya itu saya lupakan. Satu hal, Allah tidak pernah tidur, itu saja. Melepaskan sastra Indonesia tak lantas saya mengiyakan tawaran ibu masuk kedokteran ya?! Bayangkan saja, saya takut sekali dengan jarum suntik! Itu alasan paling logis yang saya punya. Maka sejak saat itu saya mulai mencar-cari jurusan yang sekiranya pas dan sesuai minat saya. Jatuhlah pilihan saya ke Teknologi Bioproses. Ibu orang yang tidak mudah diluluhkan, dua tahun saja tidak cukup untuk meyakinkan ibu bahwa Sastra Indonesia adalah impian saya. Lalu? Entahlah yang saya yakin Allah tidak pernah tidur.

Saya mulai mencari tahu apa itu Bioproses dan bagaiman prospek kerjanya, bagaimana kuliahnya, dan apa-apa saja yang bisa saya lakukan dengan jurusan itu. Dan akhirnya, saya menemukan satu-satunya alasan. Satu? Meyakinkan ibu untuk Sastra Indonesia selama dua tahun, dengan berderet alasan, dan bukti-bukti kejuaraan itu saja tak sanggup, lah ini hanya dengan satu alasan. Bukan Nabila namanya kalau tidak berani mencoba hal yang baru. Maka hari itu juga, saya mengajukan keinginan saya. Dan, alasan pamungkas saya pun saya sampaikan. “Bismillah. Ehem. Begini, Bu. Ibu tahu kan alasan Na ga pingin jadi dokter, lagian, Bu, ini kan undangan, Na bakalan kalah bersaing nilainya sama temen-temen. Alasan kenapa Na ambil bioproses, Na pingin cari tahu, pengganti insulin yang halal. Itu aja. Biar ga ada lagi orang yang meninggal karena diabetes.” Aku pun segera beranjak, pura-pura belajar untuk Try Out besok, hampiir saja tumpah air mata ini. Sok sekali saya, siapa yang menjamin saya bisa menemukan insulin itu hanya dengan masuk Bioproses, hahaha
Saya tidak akan menceritakan bagaimana isi perbincangan saya dengan ibu malam itu. Biar itu menjadi rahasia kita, yang jelas, ibu mengizinkan. Alhamdulillah. Kapan yaaa aku bisa sebijaksana ibuu #LapIngus

Maka sejak saat itulah, saya memperjuangkan Bioproses layaknya saya memperjuangkan Sastra Indonesia.

Hingga pengumuman SNMPTN tiba....
Sejak awal saya memang tidak menaruh harapan besar kepada SNMPTN. Bagaimanapun, jurusan yang saya pilih cukup bonafide. Jadi saat saya berharap ada tulisan hijau di laman pengumuman SNMPTN saya namun yang ada tulisan berwarna merah, kalau boleh nyuri kata-katanya Jokowi, aku rapopo. Iya, aku rapopo, tapi lama-lama aku ga sanggup juga. Maka di malam yang sudah kelewat malam, tangisku pecah. Saya menangis, menyesal, harusnya saya bisa menorehkan tinta hijau di laman pengumuman SNMPTN saya. Tapi ya sudah, masalahnya selesai malam itu juga. Maka saat hari esok datang, saya sudah kembali lagi menjadi Nabila.

Pagi sebelum aku bersiap mengurus berkas untuk tes UM, ibu ke kamar. Ibu menanyakan bagaimana kesiapanku. Dan ibu menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan, jangankan membayangkan, memikirkannya pun aku tak berani. Ibu menawariku untuk mengambil Sastra Indonesia. Mengizinkanku dan merestuiku dengan sepenuhnya. Aku tertegun. Sastra Indonesia. Aku sudah mempimpikannya sejak lama, memperjuangkan itu dua tahun, meskipun aku telah memangkasnya, akarnya masih aku tinggalkan, berharap dapat tumbuh lagi. Maka inilah sesungguh-sungguhnya pilihan. Saat aku dihadapkan dengan apa yang pernah saya perjuangkan dan dengan apa yang sedang saya perjuangkan. Dilema? Jelas! Andai saja aku punya sedikit keberanian, mungkin hidupku akan berubah.

Berhari-hari saya memikirkan ini. Bismillaah. Saya sudah punya jawabannya. Maka, malam itu juga, aku sampaikan baik-baik dengan ibu.

“Saat ibu memintaku, menanyakan kembali keinginanku untuk masuk Sastra Indonesia, tanpa perlu menjawab, Na yakin ibu sudah tau jawabannya. Ibu mengenalku jauh dari Na mengenal diri Na sendiri. Ibu yang selama ini mengajari Na menulis. Sejak kecil. Ibu tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritaku yang panjang, jadi ibu meminta Na untuk menuliskan apa yang aku lakukan seharian ini. Dan saat malam tiba, ibu akan membacanya. Aku tak perlu ikut training kepenulisan untuk sekedar menumbuhkan keinganan menulis atau kata orang bakat menulis. Aku sudah punya trainer yang handal. Maka, saat ibu meminta Na mengambil jurusan itu, Na akan menolaknya, Na tetap bisa menjadi penulis tanpa harus masuk Sastra Indonesia. Iya kan, Bu? Kalaupun tidak ada yang mau membaca karyaku, pasti ibu akan mau membacanya.”

Aku tidak pernah tau kalau ternyata ibu telah menyiapkan uang jauh-jauh hari agar saya benar-benar masuk kedokteran. Ibu pun memilih menunda keinginannya pergi haji. “Bapak dulu saja yang pergi haji, besok ibu sama kamu”. Rabb! Apa sebenarnya yang menyusun kepalaku, hingga kepalaku sekeras ini.

Allah Maha Adil, Ia tidak pernah tidur. Allah tidak menempatkanku di Sastra Indonesia, juga tidak menempatkanku di Teknologi Bioproses. Allah menempatkanku di tempat terbaik untuk mempelajari kebutuhan manusia. Segala sesuatu bermula dari makanan, makanan bisa menuntunmu ke neraka jika itu haram, makanan bisa menuai berbagai penyakit, dan makanan juga bisa membuat bahagia setiap orang, apalagi anak kos xD

Terima kasih Allah, telah mengirimkan aku wanita sebijaksana ibu. Mencerdaskanku dengan bijaksana, membimbingku dengan kasih sayang.

“Gusti Allah mboten nate sare, Nduk”



Saat kamu ingin menyerah, ingat kembali alasanmu bertahan :')


Memang benar, dibalik kesuksesan seseorang selalu ada wanita hebat yang bawelnya berkelas :D  
Rindu ibu serindu-rindunya 


Purwokerto, 25 September 2014 Azifah Najwa

You Might Also Like

0 komentar