Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home

    Lagi beresin cerpen jaman SMA dan inget sesuatu...
    Tiga tahun lalu saya sempat bersitegang dengan ibu. Meski tidak mau mengakui, saya menyadari kalau saya keras kepala. Lebih lagi untuk urusan pilihan hidup. Pilihan hidup? Sok sekali saya waktu itu, padahal usia saya belum genap 17 tahun saat itu. Untuk teman-teman yang pernah satu perjuangan, kalian pasti sudah tahu benar cerita saya, alurnya, latarnya, bahkan tokoh-tokoh di dalamnya.

    Sebelumnya akan saya jelaskan karakter tokoh saya di sini, saya adalah anak yang keras kepala –kata orang, saya sih tidak pernah mengakuinya-, tidak pernah patah semangat, selalu berusaha untuk mewujudkan apapun impian saya. Karena terlalu keras kepala, saya jarang mendengarkan apa kata orang, kalau menurut saya ga papa ya bakal saya terjang aja, toh saya sendiri yang bakal menerima konsekuensinya. Meski begitu, ibu tetap satu-satunya orang yang selalu saya dengarkan, apapun perintahnya, apapun keinginannya, akan selalu berusaha saya turuti. #ambil tisu

    Semuanya bermula dari perbedaan keinginan. Keinginan untuk menentukan pilihan hidup –lagi-lagi pilihan hidup-. Sepetinya tidak hanya saya yang pernah berselisih dengan orang tua untuk urusan pilihan hidup. Setiap orang tua ingin anaknya berhasil. Di sinilah letak perbedaan pandangan kami. Bagi saya berhasil adalah saat saya nyaman dengan apa yang saya lakukan, yang saya kerjakan. Sedangkan ibu berbeda, sampai sekarang saya juga belum bisa mendefinisikan maksud berhasil ibu bagaimana, sambil jalan saja.

    Untuk teman-teman yang mengenal saya, baik itu baru kenal sejam, sehari, atau pun bertahun-tahun, kalian pasti tahu siapa saya. Dan tanpa menanyakan apa cita-cita saya, kalian pasti sudah tau jawabannya. Penulis. Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain. Lalu bagaimana, saat jari-jari yang biasa menari di atas kertas ini harus bekerja di atas meja operasi? Kalian pasti ngeri membayangkannya, saya lebih lagi. Berhadapan dengan jarum-jarum itu. Rabb!

    Ya, ibu meminta saya untuk menjadi dokter. Alasan ibu sederhana, hanya ingin ada yang mengobatinya saat ibu sakit. Itu saja. “Aku akan selalu meminta Allah untuk memberi ibu kesehatan, jadi ibu tidak harus punya anak dokter,” itu kata-kata pamungkas saya waktu itu. Atau ini “Yasudah, Bu, suami Na saja ya yang jadi dokter, Na ga usah jadi dokter ya.” Bukan semakin mengizinkan, ibu malah menjitak kepala saya, tidak percaya bahwa anak gadisnya sudah memikirkan suami, hahahaha.

    Aku tidak benar-benar memikirkan permintaan ibu untuk menjadi dokter. Ya karena saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi dokter. Bukan, alasan sebenarnya karena saya takut jarum suntik, udah, itu aja. Meskipun tidak memikirkan, saya selalu berusaha agar hati ibu saya luluh, dan mengizinkan saya masuk Sastra Indonesia. Sastra Indonesia, ya, entah jurusan macam apa dan bagaimana kuliahnya, mengapa saya begitu ingin menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Saya sering menambahkan gelar S.S dibelakang nama saya, bahkan di kontak handphone teman-teman saya, hahaaha, ada yang masih menyimpannya? :’)

    Apakah dengan masuk Sastra Indonesia lantas saya akan terus menjadi penulis? Tentu tidak, saya tidak pernah berpikir demikian.
    Semua berjalan seperti biasa, ibu masih menganggap saya akan menuruti keinginannya -menjadi dokter-. Dan saya terus berusaha meluluhkan hati ibu saya dengan berbagai lomba-lomba. Jadi buat teman-teman yang pernah menanyakan mengapa saya aktif mengikuti lomba nulis ini-itu dari dulu, ya cuma ini alasannya, untuk mendapatkan restu ibu.  

    Hingga akhirnya, pengumpulan berkas SNMPTN satu bulan lagi...
    Di sinilah puncak bersitegang saya dan ibu. Ibu tetep kekeh agar saya masuk kedokteran, kalau sekarang ibu ada opsi, sekolah kedinasan. Tapi bagi saya, itu sama sekali bukan opsi. Itu sama saja. Sebenarnya saya hanya tidak ingin dikekang, terikat oleh lembaga, itu saja –padahal, dari dulu keinginan saya juga menjadi dosen xD-. Dan saya tetap dengan keinginan saya untuk masuk Sastra Indonesia. Tapi saya tidak pernah mengizinkan diri ini untuk membangkang dari ibu. Jadi, sejak saat itu, saya memangkas habis keinginan saya untuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Untuk Mulyani dan Febri, bisa bantu saya mengingat-ngingat bagaimana kondisi saya saat itu? Saya benar-benar sudah lupa bagaiman perasaan saya kala itu, mungkin karena saya melepaskannya dengan ikhlas, jadi dengan mudahnya itu saya lupakan. Satu hal, Allah tidak pernah tidur, itu saja. Melepaskan sastra Indonesia tak lantas saya mengiyakan tawaran ibu masuk kedokteran ya?! Bayangkan saja, saya takut sekali dengan jarum suntik! Itu alasan paling logis yang saya punya. Maka sejak saat itu saya mulai mencar-cari jurusan yang sekiranya pas dan sesuai minat saya. Jatuhlah pilihan saya ke Teknologi Bioproses. Ibu orang yang tidak mudah diluluhkan, dua tahun saja tidak cukup untuk meyakinkan ibu bahwa Sastra Indonesia adalah impian saya. Lalu? Entahlah yang saya yakin Allah tidak pernah tidur.

    Saya mulai mencari tahu apa itu Bioproses dan bagaiman prospek kerjanya, bagaimana kuliahnya, dan apa-apa saja yang bisa saya lakukan dengan jurusan itu. Dan akhirnya, saya menemukan satu-satunya alasan. Satu? Meyakinkan ibu untuk Sastra Indonesia selama dua tahun, dengan berderet alasan, dan bukti-bukti kejuaraan itu saja tak sanggup, lah ini hanya dengan satu alasan. Bukan Nabila namanya kalau tidak berani mencoba hal yang baru. Maka hari itu juga, saya mengajukan keinginan saya. Dan, alasan pamungkas saya pun saya sampaikan. “Bismillah. Ehem. Begini, Bu. Ibu tahu kan alasan Na ga pingin jadi dokter, lagian, Bu, ini kan undangan, Na bakalan kalah bersaing nilainya sama temen-temen. Alasan kenapa Na ambil bioproses, Na pingin cari tahu, pengganti insulin yang halal. Itu aja. Biar ga ada lagi orang yang meninggal karena diabetes.” Aku pun segera beranjak, pura-pura belajar untuk Try Out besok, hampiir saja tumpah air mata ini. Sok sekali saya, siapa yang menjamin saya bisa menemukan insulin itu hanya dengan masuk Bioproses, hahaha
    Saya tidak akan menceritakan bagaimana isi perbincangan saya dengan ibu malam itu. Biar itu menjadi rahasia kita, yang jelas, ibu mengizinkan. Alhamdulillah. Kapan yaaa aku bisa sebijaksana ibuu #LapIngus

    Maka sejak saat itulah, saya memperjuangkan Bioproses layaknya saya memperjuangkan Sastra Indonesia.

    Hingga pengumuman SNMPTN tiba....
    Sejak awal saya memang tidak menaruh harapan besar kepada SNMPTN. Bagaimanapun, jurusan yang saya pilih cukup bonafide. Jadi saat saya berharap ada tulisan hijau di laman pengumuman SNMPTN saya namun yang ada tulisan berwarna merah, kalau boleh nyuri kata-katanya Jokowi, aku rapopo. Iya, aku rapopo, tapi lama-lama aku ga sanggup juga. Maka di malam yang sudah kelewat malam, tangisku pecah. Saya menangis, menyesal, harusnya saya bisa menorehkan tinta hijau di laman pengumuman SNMPTN saya. Tapi ya sudah, masalahnya selesai malam itu juga. Maka saat hari esok datang, saya sudah kembali lagi menjadi Nabila.

    Pagi sebelum aku bersiap mengurus berkas untuk tes UM, ibu ke kamar. Ibu menanyakan bagaimana kesiapanku. Dan ibu menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan, jangankan membayangkan, memikirkannya pun aku tak berani. Ibu menawariku untuk mengambil Sastra Indonesia. Mengizinkanku dan merestuiku dengan sepenuhnya. Aku tertegun. Sastra Indonesia. Aku sudah mempimpikannya sejak lama, memperjuangkan itu dua tahun, meskipun aku telah memangkasnya, akarnya masih aku tinggalkan, berharap dapat tumbuh lagi. Maka inilah sesungguh-sungguhnya pilihan. Saat aku dihadapkan dengan apa yang pernah saya perjuangkan dan dengan apa yang sedang saya perjuangkan. Dilema? Jelas! Andai saja aku punya sedikit keberanian, mungkin hidupku akan berubah.

    Berhari-hari saya memikirkan ini. Bismillaah. Saya sudah punya jawabannya. Maka, malam itu juga, aku sampaikan baik-baik dengan ibu.

    “Saat ibu memintaku, menanyakan kembali keinginanku untuk masuk Sastra Indonesia, tanpa perlu menjawab, Na yakin ibu sudah tau jawabannya. Ibu mengenalku jauh dari Na mengenal diri Na sendiri. Ibu yang selama ini mengajari Na menulis. Sejak kecil. Ibu tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritaku yang panjang, jadi ibu meminta Na untuk menuliskan apa yang aku lakukan seharian ini. Dan saat malam tiba, ibu akan membacanya. Aku tak perlu ikut training kepenulisan untuk sekedar menumbuhkan keinganan menulis atau kata orang bakat menulis. Aku sudah punya trainer yang handal. Maka, saat ibu meminta Na mengambil jurusan itu, Na akan menolaknya, Na tetap bisa menjadi penulis tanpa harus masuk Sastra Indonesia. Iya kan, Bu? Kalaupun tidak ada yang mau membaca karyaku, pasti ibu akan mau membacanya.”

    Aku tidak pernah tau kalau ternyata ibu telah menyiapkan uang jauh-jauh hari agar saya benar-benar masuk kedokteran. Ibu pun memilih menunda keinginannya pergi haji. “Bapak dulu saja yang pergi haji, besok ibu sama kamu”. Rabb! Apa sebenarnya yang menyusun kepalaku, hingga kepalaku sekeras ini.

    Allah Maha Adil, Ia tidak pernah tidur. Allah tidak menempatkanku di Sastra Indonesia, juga tidak menempatkanku di Teknologi Bioproses. Allah menempatkanku di tempat terbaik untuk mempelajari kebutuhan manusia. Segala sesuatu bermula dari makanan, makanan bisa menuntunmu ke neraka jika itu haram, makanan bisa menuai berbagai penyakit, dan makanan juga bisa membuat bahagia setiap orang, apalagi anak kos xD

    Terima kasih Allah, telah mengirimkan aku wanita sebijaksana ibu. Mencerdaskanku dengan bijaksana, membimbingku dengan kasih sayang.

    “Gusti Allah mboten nate sare, Nduk”



    Saat kamu ingin menyerah, ingat kembali alasanmu bertahan :')


    Memang benar, dibalik kesuksesan seseorang selalu ada wanita hebat yang bawelnya berkelas :D  
    Rindu ibu serindu-rindunya 


    Purwokerto, 25 September 2014 Azifah Najwa
    Continue Reading
    oleh:
    Nabila Faradina Iskandar
    Staf Ahli Kementerian Kajian Strategis
    BEM Kema Faperta Unsoed



               Para pemikir negeri yang saya hormati, berbicara tentang sektor pertanian tidak asing lagi ketika kita berbicara tentang negara ini. Agraris merupakan platform yang terpampang jelas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun, ketergantungan terhadap pasokan pangan impor masih menjadi salah satu permasalahan pelik bangsa yang pernah dicatat sejarah dunia karena swasembada berasnya ini. Bila di-tilik lebih jauh, ketergantungan impor bukanlah akar permasalahan. Dalam hal inilah petani menduduki posisi strategis dalam keatahanan pangan, sebagai konsumen juga sebagai produsen. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah upaya mewujudkan ketahanan pangan hanya tugas petani?
                Realitas tak terbantahkan bahwa pertanian merupakan sektor utama penyedia tenaga kerja  bagi bangsa ini dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa pada Februari 2014 jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 40,83 juta. Jadi, sudah barang tentu, pendapatan negara pun juga disumbangkan oleh sektor ini. Namun, yang menjadi masalah sekarang justru  regenerasi di sektor ini. Kekhawatiran terhadap banyaknya pemuda yang akhirnya memandang inferior bidang pertanian, padahal pertanian adalah aset berharga. 
    Transformasi ketenagakerjaan di sektor pertanian tanaman pangan boleh dibilang berlangsung lambat. Tingkat pendidikan petani yang tetap rendah dan semakin dominannya kelompok petani usia tua merupakan sejumlah indikasinya.  Tingkat pendidikan petani yang rendah adalah kenyataan yang tidak banyak berubah sejak dulu. Padahal, tingkat pendidikan petani sangat menentukan keberhasilan petani dalam menyerap teknologi dalam bidang pertanian, dan tentu saja tingkat efisiensi dari usaha tani yang mereka jalankan. Dan dua hal ini adalah faktor yang sangat penting dalam menggenjot produksi.
                Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (SOUTTP) yang dilaksanakan BPS pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 32,66 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 42,32 persen hanya tamat SD, dan 14,55 persen hanya tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Selain itu, pada hasil suervei yang sama, disebutkan bahwa sekitar 47,57 persen petani yang memiliki produksi terbesar berusia lebih dari 50 tahun. Data ini kian memperkuat pradigma yang tumbuh di masyarakat, bahwa menjadi petani adalah sesuatu yang tidak dinginkan dalam rencana hidup sebagian besar generasi muda bangsa ini.Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari kita semua, pasalnya rentan tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, bonus demografi merupakan keadaan di mana jumlah usia produktif meningkat pesat. Ini merupakan momentum sejarah yang jarang terjadi. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan secara optimal untuk menguatkan segala sektor yang ikut andil dalam pembangunan bangsa ini, khusunya sektor pertanian. Sehingga, dalam upaya menjamin ketahanan pangan bagi lebih dari 200 juta penduduk negeri ini tidak harus mengorbankan cadangan devisa dengan mengimpor dari luar.
                Selain petani, dalam kasus ini pemerintah lah yang memiliki andil terbesar karena segala keputusan dan kebijakan berada di tangan pemerintah. Ada banyak cabang permasalahan di bidang pangan yang pada akhirnya membuat negeri ini tidak dapat sepenuhnya berdikari di bidang pangan. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian, terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian, kelemahan dalam sistem alih teknologi, terbatasnya akses layanan usaha, dan masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian merupakan beberapa cabang masalah yang menyebabkan upaya mewujudan ketahanan pangan belum dapat terwujud. Tanpa penyelesain yang mendasar dan komperhensif dalam berbagai aspek di atas kesejahteraan petani akan terancam dan wacana ketahanan pangan akan stagnan dalam taraf wacana.
                Luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka diperlukan kerja sama yang sinergis antar institusi dan generasi muda. Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait. Nasib terpenuhinya kebutuhan perut ratusan juta rakyat Indonesia bertumpu pada petani dan nasib kemajuan pembangunan suatu bangsa bertumpu pada pemudanya.


               
    Purwokerto, 24 September 2014
    Catatan Idealisme
    Continue Reading



    “Be really Einstein” :’)
    Aku tidak ingat kapan kau mulai menjulukiku Einstein. Aku baru mengingatnya lagi kemarin, sepulang aku dari pusaramu.

    Aku ingin protes! Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, Kak. Kau tahu? Bagaimana beratnya di hari-hari pertama kepergianmu? Bagaimana aku begitu mengutuk malam. Rasanya aku benci sekali saat malam datang. Dia selalu meminta maaf kepadku, membela diri dengan dalih hanya melaksanakan perintah. Kau begitu menyukai waktu malam, bagimu, menikmati malam tak ubahnya menikmati segelas jus strawberry bagiku. Analoginya tidak seimbang ya, Kak? Hehe. Dan sekarang aku menjadi pengikutmu, menjadi penikmat malam. Kalau kau tahu, kau pasti akan menjadi orang pertama yang marah-marah, hahaha, sama, sekarang juga ada yang sepertimu, brisik sekali. Aku menamainya kak Triptofan kak, hahaha, asam amino esensial yang berfungsi memperbaiki kualitas tidur #semoga dia tidak membacanya ya, Kak. Ini rahasia kita :D

    Dan seperti yang selalu kau nasihatkan kepadaku jauh-jauh hari sebelum hari itu datang, “Kamu hanya akan merasakannya hari ini. Esok, lusa, kau telah kembali menjadi Nabila lagi” dan akhirnya aku selalu menggunakan kata-kata itu untuk membenarkan segala hal. Bahwa ini hanya ada hari ini, besok saat matahari terbit, aku akan punya cerita yang lain lagi.  Aku akan bertransformasi menjadi Nabila lagi. Tapi sayangnya seminggu terakhir aku gagal menggunakan pembenaran-pembenaran itu, aku gagal menyugestikan diriku bahwa aku baik-baik saja.

    Aku bangga menjadi adikmu. Keberanianmu untuk menghadapinya, bukan justru lari dan menyerah. Bahkan kau yang menghapus segala kekhawatiranku. Bahwa kau akan selalu baik-baik saja. Tak ada yang perlu dirisaukan. Kau memang pandai “berpura-pura”, Kak. 
    ...menghela napas panjang....
    Maaf kak, tanganku tak cukup kuat untuk merengkuhmu. Lisanku tak cukup fasih menyemangatimu. Jiwaku tak cukup tegar menenangkanmu.

    Hingga hari itu datang, tak banyak yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa memberikan telingaku, untuk mendengarkan harapan-harapanmu yang meyakinkanku, bahwa kau cukup tegar menghadapi ini. Saat kau balik bertanya, bagaimana saat kau ada di posisiku? Aku hanya bisa diam. Entah ketegaran macam apa yang kau punya, hingga kau mampu bertahan. Dan saat kau bertanya-tanya mengapa hanya kau? Mengapa hanya kakak yang dipilih, aku sekarang sudah tahu jawabannya, itu karena Allah merasa kakaklah yang paling kuat diantara kami. Bagaimana jika aku, aku yakin kakak akan jadi orang yang sampai detik ini masih mengingat bagaimana Einstein ini selalu menjadi pemenang dalam setiap balapan sepeda, iya kan? Sudah mengaku saja!
    Kau yang selalu mengalah, hingga aku lah yang menang :’)
    #lap ingus
    Aku baru sadar kalau ternyata kau sempurna menjadi kakakku, menjadi orang yang selalu aku dengarkan, sialnya aku pandai “pura-pura” juga darimu. Selalu mencoba mencari-cari pembenaran atas rasa yang aku ciptakan sendiri juga darimu.

    Kepada malam yang sempat aku salahkan, bolehkan aku meminta satu malam untuk bertemu dengannya. Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan :’)))


    Dari adikmu yang selalu merindukanmu, selalu berdo’a agar segera dipertemukan denganmu...

    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Malam tetap menjadi teman yang paling ramah
    Karena disisinya kita bisa tenang bersandar
    Ketika hari ini telah kita lalui –mungkin dengan beban yang lebih berat dari kemarin-

    Malam tetap menjadi teman yang paling ramah
    Karena disisinya aku bisa bebas mengamati lekuk wajahmu
    Bagaimana guratan-guratan itu menjadi hal yang paling kurindu
    Karena disisinya aku bisa bebas mengenangmu
    Bagaimana hari-hari kemarin pernah ada 

    Malam tetap menjadi teman yang paling ramah
    Disampaikannya rintih kasihnya kepada hati yang pernah berpura-pura

    Malam tetap menjadi teman yang paling ramah
    Disembunyikannya kalut rindunya dari bulan yang menjadikannya dilupa



    Aku selalu ingin meminjam malam-Mu lebih lama. Untuk menemaniku menghitung rindu yang telah lama hilang......


    Rentang Tunggu, 17 September 2014 | Azifah Najwa

    Continue Reading


    Semburat jingga menelisik sepanjang jalan ke mana
    Saat kau letakkan sebongkah rasa hari itu
    Menetas mutiara
    Menggetarkan seluruh jiwa

    Takutku hanya kepada Tuhan
    Mungkin kau tak pernah merasa hidup dalam kesendirian
    Air tak akan pernah mengalir ketika jiwaku di ketinggian
    Tetes-tetes hujan pun kan terhenti saat hati ini terpejam

    Masih ada tempurung langit yang berbuah bintang
    Menemani kesendirianku
    Menghitung rindu yang telah lama hilang


    Azifah Najwa
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ►  2021 (10)
      • ►  November (1)
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ▼  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ▼  September (15)
        • "Gusti Allah mboten nate sare, Nduk"
        • Refleksi Hari Tani; Ketahanan Pangan, Hanya Tugas ...
        • "Be Really Einstein"
        • Berteman dengan Malam
        • Sendiri Menghitung Rindu
        • Siapa Peduli
        • Cerita Einstein Hari Ini #1
        • Rizoma Cinta
        • #Nemuuu :')))
        • Jadi, Izinkan Aku Pergi
        • Diskusi dengan Waktu
        • Berjalan dalam Diam
        • Tentang Dia
        • Pemakaman Edelweiss
        • Indigo
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • SMANSA dan Sebuah Warisan
      SMANSA adalah satu dari 2 sekolah di mana saat aku diterima di dalamnya aku menangis. Iya, aku menangis, tentu bukan karena diterima di...
    • Jurnal 365
      Seperti gambar, tulisan adalah kapsul waktu, yang dapat membawa kita kembali mengenang. Mulai dari yang sangat ingin dikenang, hingga yan...
    • Drama
      Aku mengembangkan senyum terbaikku. Mencoba menikmati setiap waktu yang berjalan kala itu. Mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak s...
    • Berunding dengan Waktu
      Ketika waktu mempermainkan rindu, bersabarlah jangan menyerah. Bukankah hubungan jarak jauh memang seperti itu? Tidak ada lagi malam-ma...
    • Berjalan
        Kapan pun perjalanan membuatmu ragu, berhentilah sejenak, menepilah saja. Karena tak ada yang salah dengan memulai lagi segalanya. Mungkin...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top