Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home
    Dari begitu banyak kerumitan yang ditawarkan, perasaan juga menyajikan akhir yang sulit dimengerti

    Dulu, segala hal remeh teme apapun pernah menjadi layak untuk kita tertawakan
    Segala masalah sederhana pun menjadi layak untuk kita diskusikan
    Bahkan, sekadar menyapa di beranda maya dulu adalah hal yang wajar


    Namun, sejak perasaan itu mulai memperkerjakan kerumitannya
    Apa yang salah dari sekadar duduk depan-belakang di kelas?
    Apa yang salah dari sekadar bertegur siapa di koridor sekolah atau tak sengaja berjumpa di ruang baca?

    Perasaan itu juga membuat segala hal diantara kita nampak tidak tabu lagi
    Kau pernah begitu rajin menanyakan kabarku
    Kita juga pernah begitu asyik menyusun dunia kita dalam himpunan-himpunan teks
    Mereka menjadi saksi bahwa perasaan itu pernah singgah di hati-hati kita

    Seperti pesanmu, "jaga diri baik-baik"
    Seperti pesanku, "kuat!"



    --- Memori 23 Maret 2011 :)
    Tuhan, jika nanti aku diizinkan bertemu dengannya lagi, apakah kami masih akan saling mengingat?
    Continue Reading
    Dalam hidup ini tak jarang kita terjebak oleh pilihan-pilihan rumit yang kita putuskan sendiri. Kita menjadi kekanakan dan memilih pergi sebagai jalan terbaik. Merasa pura-pura nyaman diatas ketidaknyamanan. Memilih melupakan hingga akhirnya benar-benar lupa. Episode hidup ini tak ubahnya tentang pergi, pura-pura, dan lupa.

    Empat tahun bukan waktu yang sebentar, tidak menyalahkan jika hingga detail terkecilpun kau masih mengingatnya. Jika aku mendesak kau bahkan akan menceritakan bagaimana dulu kalian menghabiskan setiap detik dalam empat tahun itu. Kau pasti akan dengan mudah menceritakannya.

    Dia memilih pergi dan mungkin memilih pura-pura nyaman atas ketidaknyamanan itu, dan entahlah apakah akhirnya kalian memilih saling melupakan hingga akhirnya kalian benar-benar lupa?

    Hanya kalian yang tahu.


    Rentang Tunggu, 25 Februari 2015 | Azifah Najwa

    Continue Reading
    Terkadang aku sering merasa bosan menunggumu, sambil sesekali bertanya, kau benar dengan kepastian itu?

    Cobalah sehari saja kau menjadi aku, merasakan betapa menjemukannya penantian ini. Belum lagi pernyataan-pernyataan konyol yang sering kau lontarkan, yang katamu hanya sebagai lelucon, sungguh itu sama sekali tidak lucu.

    Karena terkadang yang tidak pasti justru kepastian itu sendiri. Adakah kau disitu masih dengan kepastian yang kau janjikan?


    Rentang Tunggu, 23 Februari 2015 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    Melengkapi kepingan puzzle takdir. Memang tidak boleh aku mendahului takdir, tapi boleh kan aku berharap. Hingga waktu terbaik hati. Bersamamu, kepingan puzzle itu. Iya kamu, yang entah harus aku sebut apa dalam do'aku.


    Rentang Tunggu, 16 Februari 2015 |Azifah Najwa
    Continue Reading
    Nathan El Nata. Panggil dia Nathan kecuali kau adalah orang yang memandangnya dari sisi lain, dari sisi paling menjengkelkan dari pribadinya. Persetan dengan itu, dia tidak akan peduli. Apalagi membicarakannya karena ideologinya yang sering bertabrakan dengan paham umum.

    Semua tingkah songongnya bukan karena dia terlalu kolot untuk mengikuti aturan yang ada. Atau sikapnya yang keras kepala, wajar memang untuk orang yang pernah tak menemukan kata ayah dalam hidupnya.

    Kehidupan keluarganya tak pernah merasa baik. Keluarga? Dia sendiri sangsi menggunakan kata itu, pasalnya tidak ada unsur keluarga dalam keluarga yang disebutnya. Entahlah, Tuhan dengan segala rahasia rencana-Nya mengejutkannya dengan pilihan ibu untuk menghidupkan asap dapur keluarganya di negeri tetangga. Jadi jangan salahkan dia apabila dalam perjalanannya dia memilih menjadi pribadi yang keras.

    Dan entah apalagi rencana Tuhan tentangnya, hingga Ia mengirimnya di sebuah tempat bernama sekolah menengah atas. Jika kalian ingin tahu betapa menyebalkankannya sekolah itu kau bisa menjadikan Nathan narasumbernya, di saat yang lain menginginkan bagaimana nikmatnya menjadi siswa SMA, Nathan justru sebaliknya. Bukan dia tidak pandai, untuk orang seperti nya is bisa dimasukkan kedalam golongan orang-orang cerdas. Tidak percaya? Selesaikan membaca cerita ini hingga tuntas dan kau akan tahu, pribadi macam apa Nathan sebenernya.

    Baru lima menit ia berada di kelas itu dan aku sudah merasa tidak nyaman dengan semuanya. Untung saja anak laki-laki itu menarik tangannya dan mengajaknya menjadi teman satu mejanya. Dan itu awal mulai perkenalan mereka. Perkenalan? Bahkan mereka belum saling menyebutkan nama dan asal.

    Meskipun status nya sekarang adalah seorang siswa, ia masih belum mengerti apa sebenarnya sekolah itu. Kata orang sekolah itu membuat orang pandai, bagaimana caranya? Apa orang pandai itu mereka yang duduk manis didepan papan tulis? Sepemahamannya, siapa yang bisa bertahan dia yang menang.

    Ardi -yang mengajak nya duduk satu meja- memberi warna baru dalam perjalanannya. Ardi jauh lebih beruntung darinya -setidaknya itu yang ia rasakan-

    "Di, kenapa kamu mau sih jadi budak papan tulis?"

    Ardi diam, ia memikirkan apa makna pertanyaan teman entah bagaimana mereka kenal, padahal mereka tak pernah merasa berkenalan

    "Mmmmm, entahlah, lalu mengapa kau mau juga menjadi budak papan tulis?"

    "Karena kamu yang menyuruhku."

    "Hah, aku?"

    Nathan mengangguk. "Kau lupa siapa yang menarikku duduk di sebelahmu saat aku akan meninggalkan ruang kelas dulu?"

    Mereka saling bertatapan lalu tertawa terbahak-bahak.

    "Than, selamanya kau hanya akan merasa menjadi budak papan tulis jika memang itu yang ada di pikirmu"

    "Memang faktanya kan, Di? Kita setiap hari harus duduk di depan papan tulis, tidak boleh mengantuk sedikit pun"

    "Hahahaha, selain itu apa yang kamu dapatkan?"

    "Kalau hari ini si aku tahu kalau pelangi tidak hanya terbentuk oleh air dan cahaya, tapi juga butuh sudut bias yang presisi."

    "Orang-orang seperti kita hanya bisa bermimpi, Than, sama seperti pelangi itu, Allah telah menyediakan air dan cahanyanya, tinggal bagaimana kita mengusahakan sudut presisi itu."

    Dan sejak hari itu mereka adalah dua sahabat yang tak pernah berkenalan tapi saling mengenal satu sama lain.
    Ardi aktif dengan berbagai kegiatan keagamaan dan kepramukaannya. Dan siapa menyangka jika Nathan sekarang adalah ketua OSIS di tempat para budak papan tulis.

    Semua berjalan lancar bahkan seolah berjalan terlalu baik. Nathan dan Ardi lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Dan lagi-lagi, Nathan membuat semua orang terperangah, ia berhasil menjadi yang terbaik di antara budak-budak papan tulis itu.

    Ia masih Nathan yang sama, kepala yang sama, dan keadaan yang sama. Sebelum ia mengenal tarbiyah.

    Jika memang Islam agama yang membenci segala bentuk kekerasan tapi mengapa banyak kekerasan terjadi atas nama Islam? Entahlah, Islam radikal yang mengartikan kata jihad dengan kepala nya sendiri. Kecintaan berlebih pada kaum sendiri dan melupakan nilai-nilai multidimensi yang sebenernya bukan penghalang persatuan, namun lebih kepada penyempurnaan keberagaman.

    Dan tarbiyah, mengajarkannya banyak hal. Ia masih Nathan yang sama tapi dengan isi otak yang berbeda.

    Allah hanya menyediakan air dan cahanyanya, untuk membentuk pelangi, kita sendiri yang harus mengusahakan sudut biasanya.
    Continue Reading
    Kau tau apa yang istimewa dari sebuah perjalanan?
    Dalam perjalanan berlaku hukum statistik, peluang bertemu dan berpisah, jika saat ini kau bertemu dengan entah siapa mereka, peluang bertemu sekaligus berpisah terjadi dalam satu waktu

    Saat ini aku berada diantara orang-orang yang tak sadarkan diri (tidur.red) diam-diam aku mengamati mereka

    Apa semua orang dalam gerbong ini berhenti di tempat yang sama? Seorang teman yang baru pertama kali naik kereta menanyakan hal itu.
    Aku menggeleng, tidak, diantara mereka ada yang mengakhiri perjalanannya sebelum kita, ada pula yang masih harus melanjutkan perjalanannya.

    Aku tiba-tiba mengingat sesuatu, suatu saat nanti kau yang akan menjadi teman hidupku, untuk beberapa waktu kita akan melakukan perjalanan bersama, dan banyak hal akan kita lakukan selama perjalanan itu, perjalanan ini bisa diibaratkan sebagai representatif dari perjalanan kita nanti.

    Aku akan memiliki segudang pertanyaan yang kadang aku sendiri bingung menyelesaikannya, dan kamu yang harus bisa menjawabnya, kenapa? Karena aku memilmu dari ilmumu.

    Lalu aku punya apa?
    Aku punya apa ya, hmmmm aku punya telinga untuk lebih bijak mendengarkanmu, aku punya tangan, mata.

    Seperti yang aku sampaikan tadi, tempat pemberhentian kita berbeda, mungkin aku yang harus mengakhiri perjalanan ini dulu dan meninggalkanmu mungkin pula sebaliknya.

    Lalu?
    Lanjutkan hidupmu, maaf jika selama perjalanan ini tanganku tak cukup kuat untuk merengkuhmu, lisanku tak cukup fasih menyemangatimu

    Kau hanya meninggalakan kata maaf?

    Kau boleh mencari tangan lain yang lebih kuat untuk merengkuhmu, lisan yang lebih fasih untuk menyemangatimu

    Bagaimana jika sebaliknya?
    Kau akan mencari yang lebih bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu?

    Tidak.
    Aku ingin menjadi bidadarimu tidak hanya di dunia, tapi hingga di surga-Nya

    Rentang Tunggu, 10 Februari 2015 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    Dalam hidup kita terkadang memiliki orang-orang yang begitu kita dengarkan, kita patuhi, atau kita anggap dewasa (tua). Tentu orang itu adalah orang tua kita, kemudian kakak kita, dan suami-istri kita. Karena saya anak pertama, jadi saya punya banyak sekali kakak.

    Allah kadang mendatangkan orang yang kita rindukan dengan berbagai cara, seperti Allah mendatangkan kakak saya tadi. Dalam perjalanan ke kota rantauan, tidak biasanya kakak saya yang satu itu mengirim sebuah pesan lewat WhatsApp, saya kutipkan isinya..
    "Hahaa, semoga pesan singkat dari kakakmu ini adalah cara Allah untuk mengobati rindumu padaku nak :p
    Ehem, gimana kabarmu dek? Sehat kan? Melihatmu opname itu menjadi luka tersendiri untukku, percayalah semua orang akan merindukkan leluconmu yang meskipun tak lucu selalu membuat kita tertawa, atau ide-idemu yang hanya membuat kita terbengong-bengong dibuatnya dan semoga di tempat rantauanmu yang baru itu kau menemukan orang yang mau mendengar ide-idemu itu"

    "Huaaaaa, pedeeee, tapi Allah memang selalu punya cara untuk menyampaikan rindu-rindu itu
    Sehaaat Kak, selalu sehat malah...."

    "Bagaimana rencana studi S2, S3 mu?"
    "Terkadang iri, karena kakakmu ini baru mempunyai mimpi di usia yang sudah tak lagi muda ini"

    "Bilang aja tuaaaaaa, pake majas segala :p
    Majas tak akan menyembunyikan kenyataan dibaliknya kaaak, weeek :p
    Hehehe, berharap sekali suamiku kelak tidak akan mempermasalahkan studiku :D"

    "Heee, ga boleh ngomongin suami, sensitif -__-"

    "Ups"
    "Kak, tapi...."

    "Eh dek, kamu kapan pertama kali ketemu sama doktor?"

    "Mmmm, waktu kuliah Kak, guru2 SMA rata2 baru S2"

    "Sama, kakak juga.."

    "Teruuus??"

    "Jika kamu sudah menjadi seorang doktor, orang yang pertama kali anakmu temui adalah seorang doktor, yang mengajarinya membaca, berjalan adalah seorang doktor...

    ...dia didik doktor sejak dia lahir"

    Speechless

    Mendidik bukan hanya soal bagaimana menghadapi anak. Lebih dari itu, bekal awal mendidik adalah keluarga yang bahagia yang berdiri di atas nilai-nilai agama yang kokoh

    Aku tidak mencari kau yang rupawan, aku juga tidak mempermasalahkan status sosial atau sebagainya, agama, hanya itu.


    Rentang Tunggu, 9 Februari 2015 | Azifah Najwa

    Continue Reading
    "Adakah hal yg lebih menyakitkan dibandingkan kekasihmu merindukan orang lain?"

    "Ini bukan hanya sekedar cemburu.."

    "Apa yg kau rasakan jika aku mengaku masih memikirkan mereka?"

    "Masih merindukan mereka?"

    "Apa yg km rasakan?"

    "Mengijinkanku untuk merindukannya kah?"

    "Sakit rasanya, km mengaku masih menunggunya, masih berharap, masih memikirkannya..."

    Mengapa kau masih bisa memaafkanku?



    Rentang Tunggu, 8 Februari 2015 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    Sudah hampir 1 jam aku mengajak anak laki-lakiku mengelilingi kota, tapi bibirnya masih saja manyun, bahkan tidak mau menatapku. Mirip ibunya, pikirku.

    "Kakak mau ayah ajak ke mana lagi nih?," sambil menunggu kereta api lewat aku kembali menanyakan apa kemauannya.

    "Ke tempat mainan, udah." Tidak berubah ternyata.

    "Hmmm, kak, liat deh, kalau ayah bekerja jadi pengamen di pintu perlintasan kereta api, kira-kira apa ayah bisa ngajak Kakak jalan-jalan naik Mobil begini?"

    Dia mulai memikirkan apa yang aku katakan.

    "Bahkan sepertinya ayah akan lebih tidak punya waktu lagi karena harus terus berasa di pintu perlintasan ini untuk menunggu pengguna jalan berhenti baru lah ayah bisa mencari uang," lagi-lagi anak ini tidak bergeming, sok sibuk melihat luar jendela.

    Hmmmm

    Sesampainya di areal persawahan, aku memarkirkan mobil, mengambil tikar dan menggelarnya di luar sambil menikmati hamparan padi yang baru saja ditanam, menemukan areal persawahan di kota seperti ini adalah hal yang sangat menakjubkan.

    "Yah, ngapain si lama-lama di situ?!"

    "Kakak sini deh turun dari mobil"

    "Ga mau lah, panas, Yah"

    Yes, dia mulai bisa aku kendalikan. Baiklah, lipat tikar dan kembali ke mobil.

    "Kakak di dalam mobil aja ngeluh panas, lalu mereka? Yang setiap pagi mengantarkan sarapan untuk kakak ga pernah ngeluh"

    "Maksudnya, Yah?"

    "Iya, yang Kakak makan tiap hari apa? Yang Bunda masak buat sarapan kita apa?"

    "Nasi?"

    "Nah, yang nanam padi siapa? Petani-petani tadi kan?" 

    Jagoanku sudah mulai diam, saat nya memberikan pelajaran lain.
    Tempat selanjutnya, rumah singgah. Tempat ini aku dirikan bersama teman-teman satu gerakan saat masih menjadi mahasiswa dulu, letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menampung anak-anak jalanan yang tidak berkesempatan merasakan nikmatnya sekolah itu. Saat didirikan dulu, rumah ini hanya punya satu ruang kelas yang dipakai bergantian, tapi sekarang sudah ada empat kelas dengan empat tenaga pengajar jadi tidak heran begitu memarkirkan mobilku anak-anak yang sedang bermain segera menghampiriku dan mencium tanganku, mereka anak-anak yang aku lahirkan sebelum jagoan kecilku lahir, jangan kaget kalau mereka juga memanggilku ayah.

    "Yah, kenapa mereka memanggil Ayah, ayah juga!," makanya nampak kesal, yang dia tahu, aku hanya miliknya, dan tidak ada yang boleh memanggilku ayah selain dia.

    "Hahaha," aku hanya tertawa, lucu sekali anak laki-lakiku ini

    "Ayo Ka, ayah kenalkan ke anak-anak yang lain"

    Meskipun ragu, dia mengekor saja dibelakangku.

    Membuatnya akrab dengan yang lain bukan perkara yang sulit, tabiatnya memang persis seperti ibunya, liat saja, dengan sekejap dia sudah lupa bahwa sepanjang perjalanan tadi merajuk.

    Selepas sholat ashar berjamaah, aku pamit pulang, anak-anak melambaikan tangan ke arah mobil kami

    "Raihaaaaan, jangan lupa main lagiiiii yaaa??" beberapa dari mereka berteriak demikian.

    "Iyaaaa, besoook akuu maiiiiin lagiiii!!" mobil yang semakin menjauh membuat nya harus berteriak, agar teman-teman barunya tidak kecewa.

    "Sesuai janji ayah, sekarang kita beli mainan!"

    Tanpa aku komando, begitu mobil ini berhenti, dia langsung lari.

    "Raihan boleh milih mau beli mainan apa"

    "Yah, Raihan boleh ambil 10 mainan?"

    Apa?!!!! Tepuk jidat, pengajaran yang aku berikan salah nampaknya

    "Buat temen-temen di rumah singgah ya, kasian mereka tidak punya mainan"

    Ohhh, "hmmm, boleh, ambil seperlunya saja ya?"

    Setelah puas mengambil mainan, tanpa aku minta bagian kecilku itu langsung membawanya ke kasir

    "Berapa totalnya, Mba?"

    "Totalnya, Rp 878.000"

    Oke, Bun, besok Ayah juga harus mengajari anak kita tentang manajemen keuangan.


    Rentang Tunggu, 5 Februari 2015| Azifah Najwa

    --- mengajari anak bukan dengan teori, tapi dengan praktik langsung di lapangan :)
    Continue Reading





    Aku belum mengakuimu sebagai kekasihku, meskipun sepertinya kau sebaliknya. Lalu aku menyebut hubungan kita apa ya? Hmmm, yang jelas kita bukan "sepasang kekasih" pada umumnya, yang  selalu mengisi waktu bersama atau bahkan sekadar menanyakan "kau sudah makan?"  aku sibuk dengan duniaku begitu pula denganmu, kita bertemu saat malam, sudah, begitu seterusnya hingga entah kapan. Aku juga tidak tahu apa yang membuat orang seperti kita begitu dekat.


    Tapi kadang kita juga saling membenci, eh tidak, aku yang lebih sering mengaku membencimu. Aku membenci sikap protektif dan khawatirmu yang berlebihan itu. Dan kau barangkali begitu mengutuk sikap kekanak-kanakanku yang membuatmu harus menggunakan kesabaran ekstra untuk menghadapiku atau sikap cemburuku yang kadang tak bisa aku sembunyikan dan membuatmu merasa bersalah. Tentang sikap dinginku, aku yakin kau sangat mengutuknya.

    Barangkali aku memang bukan kekasih yang baik. Sebagaimana cerita kita yang tak selalu berjalan baik. Kadang kita begitu akrab, kadang kita menjalani hari dengan penuh kekhawatiran. Kadang kita juga menghabiskan malam dengan masing-masing kesibukan, kadang kita juga menghabiskan malam hanya berdua saja.


    Kau kini di sini, hidup dengan manusia penuh dengan ketidakpastian.
    Kau yakin telah memantapkan hati untukku?




    Rentang Tunggu, 30 Januari 2015 | Azifah Najwa

    --- Hujannya turun rintik-rintik, tapi rindunya turun brutal sekali
    Dalam perjalanan ke Jember
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ►  2021 (10)
      • ►  November (1)
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ▼  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ▼  Februari (10)
        • Kerumitan Perasaan
        • Episode
        • Kepastian yang Menjemukan
        • Kamu
        • Sudut Bias
        • Perjalanan
        • Doktor
        • Dandelion-5
        • Dandelion-3
        • Dandelion-2
      • ►  Januari (9)
    • ►  2014 (41)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (9)
      • ►  Oktober (10)
      • ►  September (15)
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • SMANSA dan Sebuah Warisan
      SMANSA adalah satu dari 2 sekolah di mana saat aku diterima di dalamnya aku menangis. Iya, aku menangis, tentu bukan karena diterima di...
    • Jurnal 365
      Seperti gambar, tulisan adalah kapsul waktu, yang dapat membawa kita kembali mengenang. Mulai dari yang sangat ingin dikenang, hingga yan...
    • Drama
      Aku mengembangkan senyum terbaikku. Mencoba menikmati setiap waktu yang berjalan kala itu. Mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak s...
    • Berunding dengan Waktu
      Ketika waktu mempermainkan rindu, bersabarlah jangan menyerah. Bukankah hubungan jarak jauh memang seperti itu? Tidak ada lagi malam-ma...
    • Berjalan
        Kapan pun perjalanan membuatmu ragu, berhentilah sejenak, menepilah saja. Karena tak ada yang salah dengan memulai lagi segalanya. Mungkin...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top