Dandelion-3
4:05 PMSudah hampir 1 jam aku mengajak anak laki-lakiku mengelilingi kota, tapi bibirnya masih saja manyun, bahkan tidak mau menatapku. Mirip ibunya, pikirku.
"Kakak mau ayah ajak ke mana lagi nih?," sambil menunggu kereta api lewat aku kembali menanyakan apa kemauannya.
"Ke tempat mainan, udah." Tidak berubah ternyata.
"Hmmm, kak, liat deh, kalau ayah bekerja jadi pengamen di pintu perlintasan kereta api, kira-kira apa ayah bisa ngajak Kakak jalan-jalan naik Mobil begini?"
Dia mulai memikirkan apa yang aku katakan.
"Bahkan sepertinya ayah akan lebih tidak punya waktu lagi karena harus terus berasa di pintu perlintasan ini untuk menunggu pengguna jalan berhenti baru lah ayah bisa mencari uang," lagi-lagi anak ini tidak bergeming, sok sibuk melihat luar jendela.
Hmmmm
Sesampainya di areal persawahan, aku memarkirkan mobil, mengambil tikar dan menggelarnya di luar sambil menikmati hamparan padi yang baru saja ditanam, menemukan areal persawahan di kota seperti ini adalah hal yang sangat menakjubkan.
"Yah, ngapain si lama-lama di situ?!"
"Kakak sini deh turun dari mobil"
"Ga mau lah, panas, Yah"
Yes, dia mulai bisa aku kendalikan. Baiklah, lipat tikar dan kembali ke mobil.
"Kakak di dalam mobil aja ngeluh panas, lalu mereka? Yang setiap pagi mengantarkan sarapan untuk kakak ga pernah ngeluh"
"Maksudnya, Yah?"
"Iya, yang Kakak makan tiap hari apa? Yang Bunda masak buat sarapan kita apa?"
"Nasi?"
"Nah, yang nanam padi siapa? Petani-petani tadi kan?"
Jagoanku sudah mulai diam, saat nya memberikan pelajaran lain.
Tempat selanjutnya, rumah singgah. Tempat ini aku dirikan bersama teman-teman satu gerakan saat masih menjadi mahasiswa dulu, letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menampung anak-anak jalanan yang tidak berkesempatan merasakan nikmatnya sekolah itu. Saat didirikan dulu, rumah ini hanya punya satu ruang kelas yang dipakai bergantian, tapi sekarang sudah ada empat kelas dengan empat tenaga pengajar jadi tidak heran begitu memarkirkan mobilku anak-anak yang sedang bermain segera menghampiriku dan mencium tanganku, mereka anak-anak yang aku lahirkan sebelum jagoan kecilku lahir, jangan kaget kalau mereka juga memanggilku ayah.
"Yah, kenapa mereka memanggil Ayah, ayah juga!," makanya nampak kesal, yang dia tahu, aku hanya miliknya, dan tidak ada yang boleh memanggilku ayah selain dia.
"Hahaha," aku hanya tertawa, lucu sekali anak laki-lakiku ini
"Ayo Ka, ayah kenalkan ke anak-anak yang lain"
Meskipun ragu, dia mengekor saja dibelakangku.
Membuatnya akrab dengan yang lain bukan perkara yang sulit, tabiatnya memang persis seperti ibunya, liat saja, dengan sekejap dia sudah lupa bahwa sepanjang perjalanan tadi merajuk.
Selepas sholat ashar berjamaah, aku pamit pulang, anak-anak melambaikan tangan ke arah mobil kami
"Raihaaaaan, jangan lupa main lagiiiii yaaa??" beberapa dari mereka berteriak demikian.
"Iyaaaa, besoook akuu maiiiiin lagiiii!!" mobil yang semakin menjauh membuat nya harus berteriak, agar teman-teman barunya tidak kecewa.
"Sesuai janji ayah, sekarang kita beli mainan!"
Tanpa aku komando, begitu mobil ini berhenti, dia langsung lari.
"Raihan boleh milih mau beli mainan apa"
"Yah, Raihan boleh ambil 10 mainan?"
Apa?!!!! Tepuk jidat, pengajaran yang aku berikan salah nampaknya
"Buat temen-temen di rumah singgah ya, kasian mereka tidak punya mainan"
Ohhh, "hmmm, boleh, ambil seperlunya saja ya?"
Setelah puas mengambil mainan, tanpa aku minta bagian kecilku itu langsung membawanya ke kasir
"Berapa totalnya, Mba?"
"Totalnya, Rp 878.000"
Oke, Bun, besok Ayah juga harus mengajari anak kita tentang manajemen keuangan.
Rentang Tunggu, 5 Februari 2015| Azifah Najwa
--- mengajari anak bukan dengan teori, tapi dengan praktik langsung di lapangan :)
0 komentar