Just Note

Sejak aku jatuh cinta pada caramu membaca, sejak itu pula aku berjanji untuk tidak berhenti menulis

    • Home
    Aku lebih memilih diam
    Agar kau tidak perlu kerepotan menghindariku setiap kali bertemu
    Bisa dibayangkan masih berapa ratus kali lagi kita harus bertemu, satu dimensi
    Agar aku bisa tetap menjadi temanmu

    Aku memilih diam
    Aku tidak ingin kau merasa tidak nyaman didekatku
    Biarlah semua menjadi rahasia yang tidak seorang pun tahu

    Agar kita bisa bebas bercerita dan bermain bersama
    Tanpa perlu merasa apa-apa
    Tanpa perlu susah payah saling menghindar
    Tanpa perlu sungkan berbalas pesan

    Biarlah semua aku simpan rapi
    Agar aku bisa tetap menjadi temanmu
    Kita tetap bisa saling bercerita sepanjang kita mau

    Biarlah semua seperti ini
    Aku hanya takut merusak suasana di waktu yang tidak tepat


    --- Catatan penjelajahan seni kehidupan di laman Fire Fox 7
    Fire Fox, 23 Maret 2011

    Azifah Najwa -sangat suka nama pena ini- :)

    Continue Reading
    Apa aku yang membuatmu jatuh cinta?

    Aku selalu bersikap sama kepada siapa pun yang datang padaku, meskipun kata orang dia menyebalkan
    Lalu mengapa kau merasa apa yang aku lakukan terasa istimewa? Seakan hanya kepadamu aku berlaku demikian

    Dulu segala pertanyaanku seakan berujung dengan tiada jawab tapi mengapa sekarang berakhir dengan gelak tawa?

    Apakah orang yang seperti ini yang selalu kau tanyakan bagaimana sikapnya?
    Aku tak bisa membaca hatimu. Mengapa tutur katamu menjadi lembut dan sikapmu menjadi begiu hangat
    Aku juga tidak mengerti ke mana logika berpikirmu, mengapa kau begitu menangisi kepergian dan menuntut pertemuan

    Apa aku telah membuatmu jatuh cinta?


    Rentang Tunggu, 16 Juli 2014| Azifah Najwa


    --- dalam suasana mengumpulkan puzzle-puzzle hati yang berserakan, agar dapat disusun dan mengajari kalian tentang bagaimana kadang cinta menuntut segalanya
    Continue Reading
    Aku memang terlalu mengkhawatirkan banyak hal

    Aku begitu takut menyakitimu
    Dan akhirnya aku membuat keputusan yang akhirnya kau juga aku sakiti
    Bahkan kau merasa aku sia-siakan
    Atas sikapku ini, aku faham benar bagaimana perasaanmu
    Aku juga merasakannya, ah, tidak, kau tidak akan pernah percaya kalau aku juga merasakannya

    Aku dulu begitu mengkhawatirkanmu yang terlalu bergantung padaku
    Sekarang aku begitu mengkhawatirkanmu jika kau benar-benar menghilangkanku
    Kau sendiri yang bilang, dengan mudahnya kau bisa mencari penggantiku

    Aah, sudahlah
    Apa yang sebenarnya kau ingin kan, ndukk ndukk

    Atas keputusan yang aku ambil, aku juga harus siap dengan konsekuensinya
    Continue Reading
    Tidak menyalahkanmu jika akhirnya kau memutuskan marah bahkan tidak ingin bertemu denganku.
    Tentang keputuasan yang aku buat.
    Aku begitu menakutkan banyak hal.
    Bagaimana jika akhirnya aku juga melakukan hal yang sama yang pernah dilakukannya?
    Bagaimana jika akhirnya aku hanya bisa memberikan luka yang sama?
    Kau sendiri yang pernah bilang kalau aku yang sebenarnya ragu
    Sejak saat itu, aku mulai berpikir lagi
    Ya kau benar, atas apa-apa yang terjadi padaku, kau yang akan merasakan perubahannya
    Bagaimana bisa aku mempercayai diriku sendiri jika kau juga mengatakan bahwa aku masih ragu?

    Aku tahu betapa hancurnya kau saat itu.
    Dan aku membuatmu merasakannya lagi?
    Tahu rasanya menyakiti orang yang kau cintai?


    Purwokerto, 26 Desember 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Hal yang terasa paling sulit di dunia ini mungkin adalah memulai sesuatu.
    Termasuk memulai melepaskan.
    Ada banyak hal yang akan berbeda, pasti.
    Ada banyak hal yang akan sangat dirindukan.
    Tapi saya percaya, akan ada ganti yang lebi baik setelahnya.


    Melepaskan mengajarkan saya banayak hal.
    Melepaskan yang membuat kita nyaman.
    Kenyamanan justru membuat saya merasa tidak nyaman.
    Saya ingin mencari keadaan di mana hal tersebut menuntut saya untuk berpikir cepat dalam memutuskan sesuatu.


    Keputusan saya ini akan mengubah jalan cerita saya di masa depan, takdir yang akan saya pilih ini pasti akan saya kenang hingga tua nanti.
    Menjadi cerita dan pembelajaran untuk saya, syukur-syukur untukmu juga, karena sampai keputusan ini saya buat, kamu satu-satunya orang yang sangat tidak terima. Maaf, harusnya sejak dulu saya berlaku seperti ini.

    Selama ini mungkin kita mencari tempat dan kondisi yang nyaman. Maka, saat ini pula, aku ingin meninggalkan seluruh kenyamanan itu.
    Hal itu sangat membuat saya nyaman dan itu kurasakan berbahaya untuk saya.

    -- Lepaskan, maka yang lebih baik akan segera datang

    Rentang Tunggu, 24 Desember 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading


    Lama ga posting di sini. Beberapa tulisan lebih banyak aku abadikan di buku diaryku. Biar kisah-kisah itu menjadi ceritaku saja. Tak perlu ada yang tahu.

    Hari-hari terakhir ini aku mencoba melepas sesuatu dari dalam diri. Ketakutan akan kehilangan.
    Kegelisahan dari rasa memiliki yang berlebihan. Memiliki masa depan, masa lalu, atau apa pun. 
    Berkali-kali Allah bicara padaku dengan berbagai cara-Nya dan aku masih saja mengacaukannya.
    Dan lagi-lagi, Ia kembali mengingatkanku. 

    Bahkan sebenarnya, saat semua ini belum terlalu jauh, aku pernah menuliskan, "jikalau kau tak pernah merasa memiliki, kau takkan pernah kehilangan. Apapun. Semua bukan milikmu, milik Sesuatu yang Tak Terperi"

    Dan semalam, aku benar-benar melepaskannya. 
    Dan itu bukan berarti tak berharap dan tak berdo'a. 
    Aku hanya melepaskan rasa memiliki yang tak sesuai porsinya.

    --- Jika memang milikku, pasti akan datang lagi kepadaku. Jika tidak, tak segala upaya bisa mendatangkannya



    Azifah Najwa | Rentang Tunggu, 21 Desember 2014
    Continue Reading
    Bagaimana jika aku tak sebaik yang kau duga? Adakah alasan yang bisa membuatmu bertahan? Memilih mundur adalah hakmu, peduli apa?


    Rentang Tunggu, 11 November 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    Seperti samudra yang senantiasa biru. Aku ingin terlihat biru menyejukkan. Dengan semangat yang berdebur keras, ceria dalam tenang dan sejuknya, dan menangis tanpa harus terlihat menitihkan air mata.


    Bagaimana jika sekarang kita menjalani hidup dengan kepercayaan yang tak lagi utuh?



    Rentang Tunggu, 12 November 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    Bukan bersandar pada kesepakatan terhadap persamaan-persamaan tetapi kebijaksanaan untuk menerima dan memahami masa lalu serta perbedaan. 



    Rentang Tunggu, 12 November 2014 | Azifah Najwa


    Continue Reading

    Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu laki-laki, mengapa cinta tidak bisa membuat laki-laki bertahan dengan satu perempuan?



    Rentang Tunggu, 11 November 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    -Masih ditemani tumpukan jurnal yang tebalnya bisa untuk ganjal pintu kamar, fyuuuh~
    Ngerjain proyek Ag Summit

    Aaaa, benar-benar menyenangkan mengonstruksikan momentum keberhasilan. Menghimpun kata demi kata untuk sebuah esai tentang master plan di dunia pangan rasanya seperti menyusun dunia sendiri. Aku bisa dengan bebas meletakkan di mana lautan, aku bisa dengan bebas menghentikan dan menurunkan hujan, it's my amazing world, and you must be the part of it :D

    Ingin menciptakan eintein yang ahli dalam bidang pangan :D


    Food scientist ^^

    Ag Summit Project, 11 November 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading
    oleh:
    Nabila Faradina Iskandar
    Staf Kementerian Kajian Startegis BEM Kema Faperta
    Universitas Jenderal Soedirman

    Para pemikir negeri yang saya hormati, euphoria perjuangan senantiasa terasa di setiap perayaan hari pahlawan. Sejarah pernah mencatat bahwa 69 tahun silam, bumi Surabaya menjadi saksi penolakan mentah-mentah ultimatum yang digulirkan pasukan NICA oleh masyarakat Indonesia. Pada saat itu, semua lapisan masyarakat seakan memiliki Indonesia. Betapa beraninya kita sebagai negara yang baru berumur 85 hari pada masa itu. Seyogyanya, di usianya yang ke 69, separuh abad lebih adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mencetak generasi dengan kapasitas sama dengan generasi 69 tahun silam.

    Indikasinya cukup jelas, kebanggaan atas bangsa dimiliki oleh setiap warga pada masa itu. Betapa hebatnya martabat kita untuk lepas dari belenggu penjajahan. Tentu bukan sekadar karena perjalanannya sangat jauh untuk mencapai sejarah monumental kemerdekaan. Tapi untuk alasan kemerdekaan negara ini dibangun dengan cita-cita yang agung. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwasannya negara ini berdiri dengan tujuan untu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Yang menjadi biduk permasalahan saat ini justru bagaimana perjalanan ke depan negara ini dalam meraih cita-cita bangsa dengan kondisi generasi muda yang minim rasa kebanggaan.

    Generasi yang ada sekarang adalah generasi yang jauh dari hiruk pikuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka hidup dengan merdeka dan dalam struktur sosial yang mulai terkikis. Berkembangnya arus globalisasi membuat generasi muda mengalami “pendewasaan” dengan begitu cepat. Mereka ditawarkan dua bilah mata pisau, menjadi orang yang berintelek juga sebagai orang yang bisa dibodohi. Menjadi penguasa atau pecundang. Era ini seharusnya dapat melahirkan generasi dengan intelektualitas yang tinggi, tidak hanya intelektualitas secara kapasitas otak tapi juga dalam menyikapi arus pergerakan zaman. Namun yang ada, fasilitas yang ditawarkan globalisasi hanya ditelan mentah-mentah oleh generasi sekarang. Padahal masalahnya tidak seremeh-temeh itu, bangsa ini butuh regenerasi yang akan menjadi penggerak perubahan-perubahan besar di masa yang akan datang.

    Terkikisnya rasa kebanggaan pada tanah air begitu jelas terlihat hampir dalam semua elemen kehidupan generasi muda sekarang. Salah satunya persatuan. Globalisasi selain membawa sarat muatan teknologi invormasi juga membawa budaya individualisme. Dapat kita rasakan, generasi muda sekarang adalah mereka yang apatis terhadap kondisi lingkungan sekitar. Mereka tahu tapi selalu mencoba menutup mata. Generasi-generasi gadget ini hanya memedulikan bagaimana memenuhi apa yang dia inginkan hari ini dapat terpenuhi bukan apa yang bisa dia berikan untuk bangsa ini. Padahal, persatuan adalah poin utama dalam menyikapi berbagai masalah. Terseok-seoknya perjalanan bangsa ini juga disebabkan karena sikap generasi mudanya yang apatis.

    Di dalam tekanan arus perubahan global, modernisasi dan westernisasi turut serta menjadi penyebab terkikisnya rasa kebanggan akan bangsa Indonesia. Generasi muda sekarang tengah mengalami apa yang disebut dengan krisis identitas. Salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya pola pikir tersebut adalah bahwa pemikiran barat lebih maju dan lebih elegan sehingga terkikisnya rasa bangga atas budaya sendiri.

    Jika ditarik dari awal mula sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kita telah kehilangan momentum penting dalam perbaikan mental dan kualitas generasi kita. Kita terlalu asyik berjibaku dengan urusan politik pasca proklamasi kemerdekaan. Hingga kita lupa menyiapkan generasi  untuk menggerakkan estafet bangsa ini. Tentu ini bukan hal mudah, mengubah pola pikir yang sudah terlanjur mengendap. Perlu sinergisitas setiap elemen bangsa untuk menghadirkan kembali momentum hari pahlawan. Bagaimana kita menyiapkan generasi yang tidak hanya menelan bulat-bulat tekanan globalisasi tapi juga generasi yang mampu mentransformasikan fasilitas globalisasi sebagai jalan untuk menciptakan momentum baru bagi bangsa ini.



    Nabila Faradina Iskandar
    Staf Kementerian Kajian Startegis BEM Kema Faperta
    Universitas Jenderal Soedirman


    Continue Reading
    Hut Smansa, 1 Agustus 2010

     Kerja bakti, November 2010

    Jalan Sehat, 13 Mei 2011

    Mabit, Februari 2011

    Foto kelas, Januari 2011

    Mabit, Februari 2011

    Renang, Maret 2011

    Class Meeting, Juli 2010



    Entah sejak kapan aku memutuskan bahwa Fire Fox akan menjadi cerita yang tak akan pernah usai. Berulang aku menuliskan kisah tentang mereka. Tentang keluarga yang selalu terasa berbeda disetiap jengkal kehadirannya. Bukan karena ada yang special di sana, tapi karena yang di sana semuanya special. Aku begitu menunggu waktu di mana kita bisa mengulang 365 hari yang lalu.

    Adit-Aim-Ali-Aziz-Asiah-Nanda-Bimo-Dina-Didik-Diyah-Dito-Intan-Flabella-Fikri-Hida-Tika-Ela-Mariyani-Nabila-Nawang-Putranto-Wulan-Rakhmadi-Rizqi-Ros-Sacana-Taufiq-Wildan-Bowo-Yuyun-Alan


    Rentang Tunggu, 9 November 2014 | Azifah Najwa

    Continue Reading
    -Ditemani backsong Mother, menanti modem yang tak kunjung bisa diajak berdamai-


    Sedang membuka-buka file kuliah, sudah ada tiga folder, sudah 3 semester menjadi mahasiswa, sudah 1,5 tahun menjadi bagian dari Unsoed, sudah hampir 18 bulan membuat cerita di Purwokerto. Kota kecil yang tak pernah aku bayangkan jika akan menjadi bagian cerita hidupku. Tempat menimba ilmu dan menyusun ulang mimpi-mimpi yang sempat aku biarkan berserakan. Terlalu banyak cerita yang tercipta dalam bingkai 18 bulan ini. Jadi aku tidak akan menulisnya ulang. Biarkan semua itu menjadi catatan-catatan yang menghuni buku harianku. 


    Hanya saja, selalu ada cerita yang tak bertahan lama untuk dipendam. Kerinduan. Cerita tentang kata kerja. Rindu tentang segala hal yang tak lagi bisa aku lakukan di sini. Yang tak lagi bisa aku rasakan di sini. Wajah tulus ibu, ayah yang tak lagi muda, adik yang selalu menawarkan cerita baru setiap harinya, sahabat, murabbi, teman-teman dilingkaran kecil itu, keluarga X.7, upusu gurupu, daaan... banyak sekali cerita tentang kerinduan yang tak bisa aku uraikan.
    -Dan aku juga merindukan masa di mana kita bisa membuat segala hal tampak layak untuk ditertawakan, ah, predikat itu sungguh menganggu-


    Juga rindu pada masa di mana aku seakan tak mengenal kosa kata "masalah". Ketika aku bebas menghabiskan waktu siangku untuk bermain-main dengan sawah. Ketika aku bebas menimbun berkubang di lumpur tanpa takut kotor. Ketika aku bebas memanjat pohon tanpa takut jatuh padahal aku tau aku takut sekali ketinggian. Ketika aku bebas mengayuh sepedaku, dan rentetan ketika-ketika yang lain yang terus memaksa untuk dituliskan.


    Dan aku begitu merindukan masa-masa itu!!


    Rentang Tunggu, 9 November 2014 | Azifah Najwa

    Continue Reading
    -Masih berjibaku dengan karya ilmiah-


    Today, I declarade as the winner. You know how it's feel? Amazing! Amazing! and amazing! While, this is not the first time, I always find it amazing for every victory. The road to my dream is getting closer.
    Just take the first step in faith! It's my motivate. You don't have to see the whole staircase, just take the first step in faith!!

    Me, Nabila Faradina Iskandar, fast learner, love technology, food scientist wanna be, japan student wanna be. Yeayy ^^

    I'm doing Youth Ag Summit project, and I hope can be one in there!!
    Australiaa, wait me on August :)


    Momentum keberhasilan harus diciptakan secara tersetruktur! Harus berani bangun di saat yang lain masih asyik terlelap, lari saat yang lain bangun, dan sampai saat yang lain baru mulai berlari!



    Rentang tunggu, 8 November 2014 | Azifah Najwa

    Continue Reading

    Aku masih belajar tentang hakikat membutuhkan. Untukku mungkin dia seperti menulis, tanpa pernah aku mengejanya setiap saat, aku selalu membutuhkannya. Membutuhkan juga bukan berarti cukup begitu terpenuhi. Tidak perlu mendatanginya jika hanya butuh, disetiap kehadirannya itulah sebenarnya yang dibutuhkan.

    Kau tidak pernah tau jika sebenarnya aku lebih membutuhkanmu. Kau juga tidak pernah tahu bahwa setiap pagi ada pesan yang begitu aku tunggu. Selelah apapun, aku masih ingin menunggumu pulang, pun saat kau tak memberikan kabar. Bahkan aku begitu menunggu ceritamu di tempat kerja. 


    Tidak pernah kau tahu, aku begitu rapih menyimpannya bukan? :)

    Setia itu tahu hatinya milik siapa. Meski tidak bilang, itu tetap cinta bukan?



    Rentang Tunggu, 29 Oktober 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading

    ....Banyak hal yang masih tak aku mengerti. Terkadang aku juga bingung. Entah harus membenci atau menyukai hujan. Bagaimana ia begitu anggun mengenalkan kita. Jika waktu itu ia tidak menahan kita, mungkin kita akan selamanya seperti itu. Mengira sama-sama tertutup satu sama lain. Mengira sama-sama kaku satu sama lain. Merasa sama-sama penasaran dengan kehidupan masing-masing. 

    Kita pernah tau jawaban semua perkiraan itu, ya, pernah tau dan sekarang kita kembali lagi, kau lebih memilih acuh, aku pun begitu. Walau aku lebih sering mangkir, masih sering menggunakanmu dalam berbagai ceritaku. Ini yang aku benci dari hujan, ia begitu sempurna membuatmu larut dalam kehidupanku, menyatu, dan mengikatnya....




    Cuplikan novel Retorika Rindu | Azifah Najwa


    Continue Reading

    Peluang kita bertemu dan berpisah itu sama. Sama-sama 1 dan peluang sebaliknya adalah 0. Maka, jika kemarin kita bertemu dengan siapalah mereka, polisi yang sedang patroli, tukang bubur ayam, tukang somay, supir taksi, siapapun mereka yang sejatinya belum pernah kita temui lantas bertemu, maka ketika itulah peluang bertemu sekaligus berpisah terjadi dalam satu waktu. Kemungkinan akan bertemu dan berpisah kembali, yang kedua, ketiga, dan seterusnya akan mengikuti aturan semula secara random yang melibatkan seluruh manusia di dunia.

    Begitu pula apa yang terjadi dengan mereka yang menjadi sahabat, teman, kawan, relasi, atau dengan mereka yang sangat dekat dengan kita hari ini, masing-masing mereka punya peluang bertemu yang sama, yaitu 1 dan peluang berpisah juga 1. Hanya yang membedakan adalah rentang tunggu dari peluang bertemu hingga berpisah. Rentang tunggu inilah yang menjadikan banyak peristiwa menjadi cover dalam buku-buku novel, puisi, syair, dan lain-lain. Rentang tunggu inilah yang banyak membuat kita memilih dan menjalankan pilihan. Rentang tunggu inilah yang memberikan kita jeda untuk belajar. Rentang tunggu inilah yang juga banyak menawarkan kesempatan dan peluang yang beragam. 

    Peluang untuk bertemu dan berpisah itu sama karena sudah menjadi sunatullah yang sangat adil, bahwa yang bertemu pasti akan berpisah. Secara randomik, seluruh manusia di dunia ini berpeluang untuk salung bertemu dan berpisah satu sama lain dalam kisaran 1 banding 7 milyar, yang membedakan hanyalah rentang tunggu yang disebabkan oleh faktor penyebab bertemu dan berpisah. 

    Catatan ini hanyalah tentang bertemu dan berpisah, sama juga seperti kehiduan kita yang diliputi lingkaran bertemu dan berpisah setiap harinya. Setiap peluang yang terjadi secara statistik sejatinya adalah rahasia besar Allah tentang lingkaran takdir manusia. Setiap manusia sudah punya catatan statistiknya masing-masing. Maka yang nanti akan membedakan adalah bagaimana masing-masing individu menyikapi rentang tunggu yang diberikan. Rentang tunggu terjadi diantara peluang bertemu dan berpisah atau berpisah dan bertemu. Faktor yang paling menentukan tentang bagaimana setiap peristiwa bertemu atau berpisah terjadi adalah apa saja yang bisa kita lakukan, kerjakan, manfaatkan selama rentang tunggu yang diberikan Allah berlangsung.

    Bertemu dan berpisah adalah rahasia Allah yang menakjubkan. Rahasia dalam bentuk apapun, mungkin tidak jarang membuat hati kita gelisah, namun sejatinya rahasia tentang suatu peristiwa itu adalah bentuk rencana Allah yang terbaik. Rahasia adalah cara Allah menyampaikan makna dan arti penting tentang mengapa suatu peristiwa itu akhirnya terjadi atau sebaliknya.


    I have found a word to explain how the paths of life crossing the right circle. Each part has the destination towards every people in this world. There's no one comes by accident, unless they're come for a reason. Enjoy your waiting destiny to find how the plans talk for a beautiful reason to you :D



    Rentang Tunggu, 17 Oktober 2014 | Azifah Najwa

    Continue Reading
    Peluang kita bertemu dan berpisah itu sama. Sama-sama 1, dan peluang sebaliknya adalah 0. Maka, jika kemarin kita bertemu siapalah mereka, polisi yang sedang patroli kah, tukang rujak keliling kah, tukang bubur ayam kah, supir taksi kah, petugas gedung kah, tukang ojek kah, siapapun mereka yang sejatinya belum pernah kita temui lantas bertemu, maka ketika itulah peluang bertemu sekaligus berpisah terjadi dalam satu waktu. Kemungkinan akan bertemu dan berpisah kembali, yang kedua, ketiga dan seterusnya akan mengikuti aturan semula secara random yang melibatkan seluruh manusia di dunia.

    Begitu pula, apa yang terjadi dengan mereka yang menjadi sahabat, teman, kawan atau relasi kita hari ini, masing-masing mereka punya peluang bertemu yang sama yaitu 1, dan peluang berpisah juga 1. Hanya yang membedakan adalah rentang tunggu dari peluang bertemu hingga berpisah. Rentang tunggu inilah yang menjadikan banyak peristiwa menjadi cover dalam buku-buku novel, puisi, syair dan lain-lain. Rentang tunggu inilah yang banyak membuat kita memilih dan menjalankan pilihan. Rentang tunggu inilah yang memberikan kita jeda untuk belajar. Rentang tunggu inilah yang juga banyak menawarkan kesempatan dan peluang yang beragam.

    Peluang untuk bertemu dan berpisah itu sama, karena sudah menjadi sunnatullah yang sangat adil, bahwa yang bertemu pasti akan berpisah. Secara randomik, seluruh manusia di dunia ini berpeluang untuk saling bertemu dan berpisah satu sama lain dalam kisaran 1 banding 7 milyar, yang membedakan hanyalah rentang tunggu yang dipengaruhi oleh faktor penyebab bertemu dan berpisah. Maka, tidak mustahil untuk kita yang belum berpasangan akan menemukan pasangannya dalam kisaran angka tersebut, tidak mustahil bahwa peluang 1 banding 7 milyar itu akan benar terjadi. Sama tidak mustahilnya dengan kasus syndrome down yang berpeluang terjadi hampir 1 banding 1 juta kasus, maka yang 1 bukan kebetulan, tapi peluang pasti yang memang berlaku.

    Catatan ini hanyalah tentang bertemu dan berpisah. Sama juga seperti kehidupan kita yang diliputi lingkaran bertemu dan berpisah setiap harinya. Setiap peluang yang terjadi secara statistik sejatinya adalah rahasia besar Allah tentang lingkaran takdir manusia. Setiap manusia sudah punya catatan statistiknya masing-masing. Maka yang nanti akan membedakan adalah, bagaimana masing-masing individu menyikapi rentang tunggu yang diberikan. Rentang tunggu terjadi di antara peluang bertemu dan berpisah atau berpisah dan bertemu. Faktor yang paling menentukan tentang bagaimana setiap peristiwa bertemu atau berpisah terjadi adalah apa saja yang bisa kita lakukan, kerjakan, manfaatkan selama rentang tunggu yang diberikan Allah berlangsung.

    Bertemu dan berpisah adalah rahasia Allah yang menakjubkan. Rahasia, dalam bentuk apapun, mungkin tidak jarang membuat hati kita gelisah, namun sejatinya rahasia tentang suatu peristiwa itu adalah bentuk rencana Allah yang terbaik. Rahasia adalah cara Allah untuk menyampaikan makna dan arti penting tentang mengapa suatu peristiwa itu akhirnya terjadi atau sebaliknya.

    I have no found a word to explain how the paths of life crossing the right circle. Each part has the destination towards every people in this world. There's no one comes by accident, unless they're come for a reason. Enjoy your waiting destiny to find how the plans talk for a beautiful reason to you. :D


    Rentang Tunggu, 17 Oktober 2014
    Azifah Najwa

    Continue Reading

    Selalu ada perjalanan untuk sebuah pencarian akan jawaban dari harapan yang dilemparkan ke langit
    Selalu akan ada jeda untuk sekadar berdamai dengan diri sendiri, bersandar pada sepi, menemukan ketidakadaan, berhenti melanjutkan langkah, mengulang, atau menemukan destinasi yang baru

    Dan, tak ada yang bisa menyembunyikan ketulusan. Dia selalu hadir dari bagaimana kau menatap, mendengar, berbicara, dan bersikap.



    Cuma mau bilang, terima kasih, Kak :)


    Purwokerto, 16 Oktober 2014 | Azifah Najwa
    Continue Reading

    Karena kita tidak pernah tahu kapan kita akan berpulang menghadap sang pemilik jiwa ini.
    Maka, mengapa tidak untuk mulai berdamai dengan segala kerumitan takdir.
    Mulai menjalani hari demi hari hidup kita dengan menjadi orang yang benar, mulai menggiatkan ibadah kita dengan niat yang tulus.
    Selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada siapapun orang-orang di sekeliling kita. Mulai menjadi manusia yang paling semangat memperbaiki diri.

    Jika lelah dengan bagaimana hidup ini memperlakukan kita, maka ingatlah kembali, bahwa kita pasti akan menemui fase istirahat yang panjang. Hanya saja, kita tidak pernah tahu kapan masa itu akan tiba


    Sakit itu tentang belajar bersyukur dari nurani yang terdalam


    Purwokerto, 16 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, tetap jadilah diri sendiri.

    Karena jika memang sudah tiba masanya, akan ada orang yang cukup luas hatinya untuk kau tinggali. Cukup bijaksana pikirnya untuk kau ajak bicara.

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, tetaplah jaga diri selayaknya menjaga orang yang paling berharga untukmu. Karena nantinya kamu akan sangat berharga untuk seseorang yang sangat berharga untukmu.

    Tidak perlu menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, selalu lah menjadi diri sendiri. Akan ada orang yang cukup kuat kakinya untuk kau ajak jalan bersama. Cukup erat genggamannya untuk membuatmu tenang. Lebih dari itu, ia mampu menerimamu yang juga serba cukup.



    Untuk mencintaiku kamu harus menjadi dirimu sendiri terlebih dahulu.
    Seperti tabiat air, dia akan berubah dengan sendirinya saat sudah berikatan. 


    Purwokerto, 13 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading

    Allah, aku ingin meminta waktu lagi
    Waktu 24 jam yang Kau berikan sehari sama sekali tidak cukup
    Aku susah sekali meluangkan waktu untuk tilawah
    Terlebih untuk menghafal, waktu untuk muroja'ah saja tidak ada

    Susah sekali untuk sekadar sholat berjama'ah
    Bahkan munfarid pun sering aku tunda-tunda


    Allah, boleh ya aku meminta waktu lagi
    7 hari dalam seminggu yang Kau berikan masih kurang
    Aku tidak punya waktu lagi untuk sekadar pulang, mencium tangan ayah-ibu
    Tidak muluk-muluk untuk bisa birul walidain


    Begitu banyak amanah dakwah-Mu yang harus aku emban
    Lelah sekali rasanya
    Meskipun aku tahu
    Kau pasti memaklumi semua itu


    Allah, boleh kan aku meminta waktu lagi
    Lelah rasanya
    Berjalan di jalan ini sendirian
    Aku tak cukup istiqomah
    Acap kali aku berpikir
    Yang lain saja tidak peduli
    Kenapa aku harus peduli?

    Aku ingin berhenti saja
    Mundur
    Mengurus akademikku yang selama ini terbengkalai

    Aku ingin berhenti saja
    Hengkang
    Mengurus urusanku yang selama ini aku sampingkan

    ................................................................................................................................................................


    Astaghfirullah, astaghfirullah
    Rabb, maafkan diri ini yang terlalu banyak menuntut
    Malu rasanya, saat yang lain menganggap ibadah yang kita lakukan sebagai sesuatu yang "wah" tapi tak ada efeknya sama sekali.
    Malu rasanya saat mulut, kaki, tangan ini menyerukan kebaikan tapi hati ini seakan berbelok

    Jalan ini memang hanya untuk mereka yang istiqomah
    Maka dari itu masukkan kami ke dalam golongan orang yang istiqomah itu

    Jalan ini memang hanya untuk mereka yang kuat
    Maka dari itu masukkan kami ke dalam golongan orang yang kuat itu

    Jangan Kau kurangi beban kami
    Cukup beri kami kekuatan lebih


    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik
    Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik...





    Purwokerto, 13 Oktober 2014
    Azifah Najwa
    Continue Reading



    Menunggu detik-detik pulang, yeeaaaaayyy    \(^o^)/
    #3 hari lagi padahal -____-

    Kebumen memang jawaban dari begitu banyak   alasan kepergian. Ke manapun muaraku kelak, aku pasti akan kembali ke kota kecil ini. Membangun kota ini. Menyiptakan peradaban baru dari kota kecil ini #fullhope

    Ehem, dari begitu banyak alasan pulang, yang membuatku selalu rindu rumah adalah dua makhluk kecil -yang kini malah lebih dewasa dariku-  Ulfi dan Bela. Ufi, ya, hahaha, maafkan kakakmu ini ya, karena dulu susah sekali saat harus menyisipkan huruf “L” di anatara namamu, akhirnya hingga sekarang mba memanggilmu Ufi. Hehe
    Mba lagi dengerin lagu kesukaan kita bertiga hlo sambil liatin foto kita bertiga –Andaikan Aku punya Sayap-

    Aaaaaa, kangen. Selalu kangen.
    Tapi kalo di rumah kita selalu berantem ya, eh engga, kita sama Bela ya dek. Maafkan kakak-kakakmu ini ya, Bel, kita jahil karena kita sayang #uhuk

    Tidak punya kisah begitu banyak dengan Bela, karena usia kita yang terpaut sangaaat jauh, 11 tahun. Bela si, lahir lama-lama, aku sering menyalahkan dia begitu. Hahaha

    Yang paling diingat dengan Bela adalah saat tanganmu melepuh karena kembang api, hiks, usiamu saat itu baru satu tahun, baru bisa jalan tapi sudah sok sekali ikut bermain kembang api dengan kita. Alhasil, kakakmu ini kabur, haha, takut kena marah ibu, tapi bagaimana pun kau tetap membutuhkan dua kakakmu yang nakal ini, Bel, ah anak kecil memang mudah sekali memaafkan, itu sebabnya aku begitu menyukai anak kecil.

    Oh iya, dulu kan kakakmu ini yang selalu mengajakmu main, pagi, sebelum berangkat sekolah, ibu masak, bapak nyuci, terkadang mba mengajakmu melihat kambing, sapi, ayam –tapi kita tidak pergi ke kebun binatang- atau mengajakmu bersepeda, hingga pukul 6.45 mba siap-siap berangkat sekolah, iya baru mulai siap-siap, dan begitu bel sekolah berbunyi, kakakmu ini cukup lari, hahaha, aaaa, rindu sekali saat –saat ini, ingin sekali rasanya mengutuk segala kesibukan ini, yang membuatku tertahan dan tak bisa mengajakmu bermain lagi.  Besok kita main sepuasnya ya? ;)

    Hmmmmm, tidak banyak cerita denganmu Bel, bagaimana lagi, selepas SMP, SMA, hingga kuliah sekarang, kakakmu ini sok sibuk sekali. Maaf ya, bahkan terkadang lupa menanyakan kabarmu :’)))

    Kalau dengan Ulfi beda lagi, hanya terpaut usia 3 tahun membuat kita menghabiskan sebagian masa kecil kita bersama. Ke manapun aku main aku selalu mengajakmu, tak pernah merasa terganggu karena harus mengajakmu. Belajar yang rajin ya, hahaha, udah itu aja.

    Sekarang mba mengerti rasanya rindu itu. Saat rindu sudah membuncah di dada, maka hanya do’a senjatanya. Tidak menyalahkan kalau selama ini kalian sering protes kenapa kakakmu ini jarang pulang. Atau pulang hanya sebentar. Atau pulang tapi masih saja berurusan dengan pekerjaan. Maaf ya, lama sekali mba memahami ini. Pernah iseng baca diary kalian, mba tidak pernah terbesit akan hal ini, atau karena mba memang tidak memiliki kakak, “Ingin sekali menahan mba di sini, selamanya, menjadi sahabat kita, menjadi teman berantem, tapi bagaimana pun, suatu saat mba juga bakal jadi punya orang, ga tau tinggal di mana, dan apakah masih bisa pulang walau hanya sebulan sekali seperti sekarang, kalau kita meminta, mba masih akan memberikan semua waktu liburnya untuk kita, tapi besok, akan ada orang yang lebih berhak meminta semua waktu liburnya, akan ada orang lebih wajib disayang mba, akan ada anak-anak yang akan lebih wajib diajari belajar mba....”

    Begitu ya kalau kalian sudah rindu. Kalian begitu menakutkan banyak hal. Ingat selalu pesan kakakmu ini, “Saat rindu kalian membuncah, berdo’lah”

    Maaf ya karena belum bisa menjadi kakak yang baik untuk kalian, maaf belum bisa meluangkan waktu untuk kalian...



    Nabila Faradina Iskandar - Ulfi Uswah Iskandar - Salsabila Najwa Iskandar
    Continue Reading
    Seharusnya saya sedang menyelesaikan PKM, hehe, untuk ketua kelompok PKM saya, nanti lagi ya mas ta seleseinnya. Kebiasaan burukku ini nih, kalo udah buka leptop, mesti mampir ke mana-mana dulu -,-

    Udah hari jum’at lagi aja, perasaan baru kemarin. Ehem. Itu artinya seminggu lagi saya pulang! Yeay!

    Sambil muter backsong “Mother”...

    Seminggu terakhir otak saya dipenuhi mimpi-mimpi yang sempat tercecer. Sudah saya bereskan dan saya rapihkan barusan. Tinggal direalisasikan satu per satu –bismillah-. Bermula dari sharing pasca Eval OSMB yang gagal, saya seakan kembali menjadi diri saya lagi. Huu, betapa bodohnya, dua semester ini hanya jalan di tempat. Meskipun beberapa teman tidak membenarkan pernyataan saya. “IPmu berapa? Udah menang lomba apa aja dua semester ini? Beasiswa dari mana-mana, masih dibilang jalan di tempat? Kalau kamu hanya jalan di tempat, lalu aku ngapain? Ngesot?,” ada teman yang menimpal seperti itu saat saya bilang kalau dua semester ini saya hanya jalan di tempat. Jleb. Bukan saya tidak bersyukur. Sungguh bukan. Jika kalian tahu apa-apa saja yang seharusnya saya realisasikan di dua semester masa kuliah saya, kalian pasti akan mengatakan hal yang sama. Dua semester ini gerak saya stagnan, diam dalam fase pencarian pembenaran.

    Selama ini, segala hal yang saya lakukan seakan masih setengah-setengah. Tidak pernah sempurna fokus. Akan saya bocorkan sedikit impian saya di perjalanan 3,5 tahun ini. Ya ini, menyelesaikan studi  3,5 tahun. Mustahil. Begitu kata orang-orang. “Mustahil menyelesaikan studi 3,5 tahun di prodimu.” 10 dari 10 orang yang saya beri tahu hal ini mereka mengatakan demikian. Sebal? Tentu iya. Jadi kalian meremehkanku? Awas saja! Saya hanya menggerutu demikian di dalam hati. Tetap saya dengarkan, masukan telinga kanan keluarkan telinga kiri, hehehe. Masa bodoh apa kata orang, mereka hanya bisa mencibir dan menertawakan, tidak tahu seberapa kuat saya berusaha.

    Mimpi kedua, mapres unsoed. “Udah masuk unsoed, masa ga bisa jadi mapres.” Saya selalu memotivasi diri sendiri seperti itu. Iri. Jujur iri. Iri dengan teman-teman yang bisa masuk universitas bonafide yang mana segala “fasilitas” terpenuhi. Saya hanya butuh fasilitas budaya kompetetif yang sehat. Itu saja, terlalu muluk-mulukkah? Kadang saya juga menertawakan diri sendiri. Punya apa saya untuk jadi mapres? Kemampuan Bahasa Inggris saya bisa dibilang masih standar. IP saya belum pernah 4, lalu apa lagi, persiapan saya untuk menjadi mapres masih stagnan pada modal tekad. Itu saja.  

    Mimpi ketiga, melanjutkan studi ke Jepang. Kalian tahu apa alasan saya ingin melanjutkan studi ke Jepang? Hanya satu. Jepang itu negerinya Doraemon. Tertawa? Silakan. Menganggap ini lelucon? Saya serius, sedang tidak melucu. Siapa si yang tidak ingin melanjutkan studi ke negeri matahri terbit ini, dengan segala sistem yang mutahir, fasilitas publik yang memadai, dan budaya masyarakatnya, Jepang menjadi tempat favorit kebanyakan mahasiswa Indonesia. Jadi, jika suatu saat Jepang tidak memiliki semua itu, saya masih punya alasan kenapa saya harus melanjutkan studi di Jepang, karena bagaimanapun sejarah dunia pernah mencatat kalau Doraemon lahir dan tumbuh di Jepang.

    Mimpi keempat, buku saya terbit, udah itu aja!

    Mimpi kelima, beras analog fungsional! Ahli pangan tetap harus memegang teguh idealismenya sebagai ahli pangan, tapi bukan berarti tidak melihat kebutuhan.

    Dan impian terbesar saya adalah kembali ke Kebumen. Membangun kota beriman ini. Punya apa saya? Punya semua itu di atas. Punya Allah. Kebumen tidak hanya tentang keluarga, rumah, dan kawan. Tapi juga tentang alasan dari banyak kepergian.

    Kalian pasti akan berpikir saya gila, mimpinya terlalu tinggi dan terlalu berani. Silakan.

    Jika hanya mendengarkan mereka yang tidak tahu bagaimana kamu seutuhnya dan baru hidup bersamamu barang beberapa semester, saya yakin kamu akan jatuh, hancur berkeping-keping. Saya pernah merasakannya, maka dari itu saya bicara. Saya meragukan diri saya? Sudah pasti. Tapi bagaimana mungkin saya meragukan kepercayaan kedua orang tua saya.

    Yang saya suka dari pelagi, pelangi tidak terbentuk hanya oleh adanya sinar matahari dan gerimis. Tetapi butuh sudut bias yang presisi. Allah sudah menyediakan sinar dan gerimisnya, tinggal bagaimana saya mengusahakan sudut biasnya.

    “Allah, jadikan setiap harap agar tak berlebihan, agar setiap rasa selalu dalam kadarnya, agar tiap cita selalu dalam bingkai niatnya...”


    #Ingatkan saya kalau saya punya cita-cita ini J
    Continue Reading

    Lagi beresin cerpen jaman SMA dan inget sesuatu...
    Tiga tahun lalu saya sempat bersitegang dengan ibu. Meski tidak mau mengakui, saya menyadari kalau saya keras kepala. Lebih lagi untuk urusan pilihan hidup. Pilihan hidup? Sok sekali saya waktu itu, padahal usia saya belum genap 17 tahun saat itu. Untuk teman-teman yang pernah satu perjuangan, kalian pasti sudah tahu benar cerita saya, alurnya, latarnya, bahkan tokoh-tokoh di dalamnya.

    Sebelumnya akan saya jelaskan karakter tokoh saya di sini, saya adalah anak yang keras kepala –kata orang, saya sih tidak pernah mengakuinya-, tidak pernah patah semangat, selalu berusaha untuk mewujudkan apapun impian saya. Karena terlalu keras kepala, saya jarang mendengarkan apa kata orang, kalau menurut saya ga papa ya bakal saya terjang aja, toh saya sendiri yang bakal menerima konsekuensinya. Meski begitu, ibu tetap satu-satunya orang yang selalu saya dengarkan, apapun perintahnya, apapun keinginannya, akan selalu berusaha saya turuti. #ambil tisu

    Semuanya bermula dari perbedaan keinginan. Keinginan untuk menentukan pilihan hidup –lagi-lagi pilihan hidup-. Sepetinya tidak hanya saya yang pernah berselisih dengan orang tua untuk urusan pilihan hidup. Setiap orang tua ingin anaknya berhasil. Di sinilah letak perbedaan pandangan kami. Bagi saya berhasil adalah saat saya nyaman dengan apa yang saya lakukan, yang saya kerjakan. Sedangkan ibu berbeda, sampai sekarang saya juga belum bisa mendefinisikan maksud berhasil ibu bagaimana, sambil jalan saja.

    Untuk teman-teman yang mengenal saya, baik itu baru kenal sejam, sehari, atau pun bertahun-tahun, kalian pasti tahu siapa saya. Dan tanpa menanyakan apa cita-cita saya, kalian pasti sudah tau jawabannya. Penulis. Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain. Lalu bagaimana, saat jari-jari yang biasa menari di atas kertas ini harus bekerja di atas meja operasi? Kalian pasti ngeri membayangkannya, saya lebih lagi. Berhadapan dengan jarum-jarum itu. Rabb!

    Ya, ibu meminta saya untuk menjadi dokter. Alasan ibu sederhana, hanya ingin ada yang mengobatinya saat ibu sakit. Itu saja. “Aku akan selalu meminta Allah untuk memberi ibu kesehatan, jadi ibu tidak harus punya anak dokter,” itu kata-kata pamungkas saya waktu itu. Atau ini “Yasudah, Bu, suami Na saja ya yang jadi dokter, Na ga usah jadi dokter ya.” Bukan semakin mengizinkan, ibu malah menjitak kepala saya, tidak percaya bahwa anak gadisnya sudah memikirkan suami, hahahaha.

    Aku tidak benar-benar memikirkan permintaan ibu untuk menjadi dokter. Ya karena saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi dokter. Bukan, alasan sebenarnya karena saya takut jarum suntik, udah, itu aja. Meskipun tidak memikirkan, saya selalu berusaha agar hati ibu saya luluh, dan mengizinkan saya masuk Sastra Indonesia. Sastra Indonesia, ya, entah jurusan macam apa dan bagaimana kuliahnya, mengapa saya begitu ingin menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Saya sering menambahkan gelar S.S dibelakang nama saya, bahkan di kontak handphone teman-teman saya, hahaaha, ada yang masih menyimpannya? :’)

    Apakah dengan masuk Sastra Indonesia lantas saya akan terus menjadi penulis? Tentu tidak, saya tidak pernah berpikir demikian.
    Semua berjalan seperti biasa, ibu masih menganggap saya akan menuruti keinginannya -menjadi dokter-. Dan saya terus berusaha meluluhkan hati ibu saya dengan berbagai lomba-lomba. Jadi buat teman-teman yang pernah menanyakan mengapa saya aktif mengikuti lomba nulis ini-itu dari dulu, ya cuma ini alasannya, untuk mendapatkan restu ibu.  

    Hingga akhirnya, pengumpulan berkas SNMPTN satu bulan lagi...
    Di sinilah puncak bersitegang saya dan ibu. Ibu tetep kekeh agar saya masuk kedokteran, kalau sekarang ibu ada opsi, sekolah kedinasan. Tapi bagi saya, itu sama sekali bukan opsi. Itu sama saja. Sebenarnya saya hanya tidak ingin dikekang, terikat oleh lembaga, itu saja –padahal, dari dulu keinginan saya juga menjadi dosen xD-. Dan saya tetap dengan keinginan saya untuk masuk Sastra Indonesia. Tapi saya tidak pernah mengizinkan diri ini untuk membangkang dari ibu. Jadi, sejak saat itu, saya memangkas habis keinginan saya untuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Untuk Mulyani dan Febri, bisa bantu saya mengingat-ngingat bagaimana kondisi saya saat itu? Saya benar-benar sudah lupa bagaiman perasaan saya kala itu, mungkin karena saya melepaskannya dengan ikhlas, jadi dengan mudahnya itu saya lupakan. Satu hal, Allah tidak pernah tidur, itu saja. Melepaskan sastra Indonesia tak lantas saya mengiyakan tawaran ibu masuk kedokteran ya?! Bayangkan saja, saya takut sekali dengan jarum suntik! Itu alasan paling logis yang saya punya. Maka sejak saat itu saya mulai mencar-cari jurusan yang sekiranya pas dan sesuai minat saya. Jatuhlah pilihan saya ke Teknologi Bioproses. Ibu orang yang tidak mudah diluluhkan, dua tahun saja tidak cukup untuk meyakinkan ibu bahwa Sastra Indonesia adalah impian saya. Lalu? Entahlah yang saya yakin Allah tidak pernah tidur.

    Saya mulai mencari tahu apa itu Bioproses dan bagaiman prospek kerjanya, bagaimana kuliahnya, dan apa-apa saja yang bisa saya lakukan dengan jurusan itu. Dan akhirnya, saya menemukan satu-satunya alasan. Satu? Meyakinkan ibu untuk Sastra Indonesia selama dua tahun, dengan berderet alasan, dan bukti-bukti kejuaraan itu saja tak sanggup, lah ini hanya dengan satu alasan. Bukan Nabila namanya kalau tidak berani mencoba hal yang baru. Maka hari itu juga, saya mengajukan keinginan saya. Dan, alasan pamungkas saya pun saya sampaikan. “Bismillah. Ehem. Begini, Bu. Ibu tahu kan alasan Na ga pingin jadi dokter, lagian, Bu, ini kan undangan, Na bakalan kalah bersaing nilainya sama temen-temen. Alasan kenapa Na ambil bioproses, Na pingin cari tahu, pengganti insulin yang halal. Itu aja. Biar ga ada lagi orang yang meninggal karena diabetes.” Aku pun segera beranjak, pura-pura belajar untuk Try Out besok, hampiir saja tumpah air mata ini. Sok sekali saya, siapa yang menjamin saya bisa menemukan insulin itu hanya dengan masuk Bioproses, hahaha
    Saya tidak akan menceritakan bagaimana isi perbincangan saya dengan ibu malam itu. Biar itu menjadi rahasia kita, yang jelas, ibu mengizinkan. Alhamdulillah. Kapan yaaa aku bisa sebijaksana ibuu #LapIngus

    Maka sejak saat itulah, saya memperjuangkan Bioproses layaknya saya memperjuangkan Sastra Indonesia.

    Hingga pengumuman SNMPTN tiba....
    Sejak awal saya memang tidak menaruh harapan besar kepada SNMPTN. Bagaimanapun, jurusan yang saya pilih cukup bonafide. Jadi saat saya berharap ada tulisan hijau di laman pengumuman SNMPTN saya namun yang ada tulisan berwarna merah, kalau boleh nyuri kata-katanya Jokowi, aku rapopo. Iya, aku rapopo, tapi lama-lama aku ga sanggup juga. Maka di malam yang sudah kelewat malam, tangisku pecah. Saya menangis, menyesal, harusnya saya bisa menorehkan tinta hijau di laman pengumuman SNMPTN saya. Tapi ya sudah, masalahnya selesai malam itu juga. Maka saat hari esok datang, saya sudah kembali lagi menjadi Nabila.

    Pagi sebelum aku bersiap mengurus berkas untuk tes UM, ibu ke kamar. Ibu menanyakan bagaimana kesiapanku. Dan ibu menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan, jangankan membayangkan, memikirkannya pun aku tak berani. Ibu menawariku untuk mengambil Sastra Indonesia. Mengizinkanku dan merestuiku dengan sepenuhnya. Aku tertegun. Sastra Indonesia. Aku sudah mempimpikannya sejak lama, memperjuangkan itu dua tahun, meskipun aku telah memangkasnya, akarnya masih aku tinggalkan, berharap dapat tumbuh lagi. Maka inilah sesungguh-sungguhnya pilihan. Saat aku dihadapkan dengan apa yang pernah saya perjuangkan dan dengan apa yang sedang saya perjuangkan. Dilema? Jelas! Andai saja aku punya sedikit keberanian, mungkin hidupku akan berubah.

    Berhari-hari saya memikirkan ini. Bismillaah. Saya sudah punya jawabannya. Maka, malam itu juga, aku sampaikan baik-baik dengan ibu.

    “Saat ibu memintaku, menanyakan kembali keinginanku untuk masuk Sastra Indonesia, tanpa perlu menjawab, Na yakin ibu sudah tau jawabannya. Ibu mengenalku jauh dari Na mengenal diri Na sendiri. Ibu yang selama ini mengajari Na menulis. Sejak kecil. Ibu tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritaku yang panjang, jadi ibu meminta Na untuk menuliskan apa yang aku lakukan seharian ini. Dan saat malam tiba, ibu akan membacanya. Aku tak perlu ikut training kepenulisan untuk sekedar menumbuhkan keinganan menulis atau kata orang bakat menulis. Aku sudah punya trainer yang handal. Maka, saat ibu meminta Na mengambil jurusan itu, Na akan menolaknya, Na tetap bisa menjadi penulis tanpa harus masuk Sastra Indonesia. Iya kan, Bu? Kalaupun tidak ada yang mau membaca karyaku, pasti ibu akan mau membacanya.”

    Aku tidak pernah tau kalau ternyata ibu telah menyiapkan uang jauh-jauh hari agar saya benar-benar masuk kedokteran. Ibu pun memilih menunda keinginannya pergi haji. “Bapak dulu saja yang pergi haji, besok ibu sama kamu”. Rabb! Apa sebenarnya yang menyusun kepalaku, hingga kepalaku sekeras ini.

    Allah Maha Adil, Ia tidak pernah tidur. Allah tidak menempatkanku di Sastra Indonesia, juga tidak menempatkanku di Teknologi Bioproses. Allah menempatkanku di tempat terbaik untuk mempelajari kebutuhan manusia. Segala sesuatu bermula dari makanan, makanan bisa menuntunmu ke neraka jika itu haram, makanan bisa menuai berbagai penyakit, dan makanan juga bisa membuat bahagia setiap orang, apalagi anak kos xD

    Terima kasih Allah, telah mengirimkan aku wanita sebijaksana ibu. Mencerdaskanku dengan bijaksana, membimbingku dengan kasih sayang.

    “Gusti Allah mboten nate sare, Nduk”



    Saat kamu ingin menyerah, ingat kembali alasanmu bertahan :')


    Memang benar, dibalik kesuksesan seseorang selalu ada wanita hebat yang bawelnya berkelas :D  
    Rindu ibu serindu-rindunya 


    Purwokerto, 25 September 2014 Azifah Najwa
    Continue Reading
    oleh:
    Nabila Faradina Iskandar
    Staf Ahli Kementerian Kajian Strategis
    BEM Kema Faperta Unsoed



               Para pemikir negeri yang saya hormati, berbicara tentang sektor pertanian tidak asing lagi ketika kita berbicara tentang negara ini. Agraris merupakan platform yang terpampang jelas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun, ketergantungan terhadap pasokan pangan impor masih menjadi salah satu permasalahan pelik bangsa yang pernah dicatat sejarah dunia karena swasembada berasnya ini. Bila di-tilik lebih jauh, ketergantungan impor bukanlah akar permasalahan. Dalam hal inilah petani menduduki posisi strategis dalam keatahanan pangan, sebagai konsumen juga sebagai produsen. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah upaya mewujudkan ketahanan pangan hanya tugas petani?
                Realitas tak terbantahkan bahwa pertanian merupakan sektor utama penyedia tenaga kerja  bagi bangsa ini dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa pada Februari 2014 jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 40,83 juta. Jadi, sudah barang tentu, pendapatan negara pun juga disumbangkan oleh sektor ini. Namun, yang menjadi masalah sekarang justru  regenerasi di sektor ini. Kekhawatiran terhadap banyaknya pemuda yang akhirnya memandang inferior bidang pertanian, padahal pertanian adalah aset berharga. 
    Transformasi ketenagakerjaan di sektor pertanian tanaman pangan boleh dibilang berlangsung lambat. Tingkat pendidikan petani yang tetap rendah dan semakin dominannya kelompok petani usia tua merupakan sejumlah indikasinya.  Tingkat pendidikan petani yang rendah adalah kenyataan yang tidak banyak berubah sejak dulu. Padahal, tingkat pendidikan petani sangat menentukan keberhasilan petani dalam menyerap teknologi dalam bidang pertanian, dan tentu saja tingkat efisiensi dari usaha tani yang mereka jalankan. Dan dua hal ini adalah faktor yang sangat penting dalam menggenjot produksi.
                Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (SOUTTP) yang dilaksanakan BPS pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 32,66 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 42,32 persen hanya tamat SD, dan 14,55 persen hanya tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Selain itu, pada hasil suervei yang sama, disebutkan bahwa sekitar 47,57 persen petani yang memiliki produksi terbesar berusia lebih dari 50 tahun. Data ini kian memperkuat pradigma yang tumbuh di masyarakat, bahwa menjadi petani adalah sesuatu yang tidak dinginkan dalam rencana hidup sebagian besar generasi muda bangsa ini.Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari kita semua, pasalnya rentan tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, bonus demografi merupakan keadaan di mana jumlah usia produktif meningkat pesat. Ini merupakan momentum sejarah yang jarang terjadi. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan secara optimal untuk menguatkan segala sektor yang ikut andil dalam pembangunan bangsa ini, khusunya sektor pertanian. Sehingga, dalam upaya menjamin ketahanan pangan bagi lebih dari 200 juta penduduk negeri ini tidak harus mengorbankan cadangan devisa dengan mengimpor dari luar.
                Selain petani, dalam kasus ini pemerintah lah yang memiliki andil terbesar karena segala keputusan dan kebijakan berada di tangan pemerintah. Ada banyak cabang permasalahan di bidang pangan yang pada akhirnya membuat negeri ini tidak dapat sepenuhnya berdikari di bidang pangan. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian, terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian, kelemahan dalam sistem alih teknologi, terbatasnya akses layanan usaha, dan masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian merupakan beberapa cabang masalah yang menyebabkan upaya mewujudan ketahanan pangan belum dapat terwujud. Tanpa penyelesain yang mendasar dan komperhensif dalam berbagai aspek di atas kesejahteraan petani akan terancam dan wacana ketahanan pangan akan stagnan dalam taraf wacana.
                Luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka diperlukan kerja sama yang sinergis antar institusi dan generasi muda. Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait. Nasib terpenuhinya kebutuhan perut ratusan juta rakyat Indonesia bertumpu pada petani dan nasib kemajuan pembangunan suatu bangsa bertumpu pada pemudanya.


               
    Purwokerto, 24 September 2014
    Catatan Idealisme
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me


    Azifah Najwa. Penulis. Peneliti. N’s. Food scientist. an ISTP.

    Blog Archive

    • ►  2021 (10)
      • ►  November (1)
      • ►  Maret (2)
      • ►  Februari (5)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Februari (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2019 (11)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (5)
    • ►  2018 (109)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juni (1)
      • ►  April (13)
      • ►  Maret (31)
      • ►  Februari (28)
      • ►  Januari (32)
    • ►  2017 (115)
      • ►  Desember (13)
      • ►  November (11)
      • ►  Oktober (14)
      • ►  September (21)
      • ►  Agustus (14)
      • ►  Juli (2)
      • ►  Juni (5)
      • ►  Mei (6)
      • ►  April (4)
      • ►  Maret (9)
      • ►  Februari (9)
      • ►  Januari (7)
    • ►  2016 (161)
      • ►  Desember (6)
      • ►  November (6)
      • ►  Oktober (12)
      • ►  September (25)
      • ►  Agustus (20)
      • ►  Juli (19)
      • ►  Juni (16)
      • ►  Mei (18)
      • ►  April (10)
      • ►  Maret (10)
      • ►  Februari (13)
      • ►  Januari (6)
    • ►  2015 (309)
      • ►  Desember (10)
      • ►  November (20)
      • ►  Oktober (27)
      • ►  September (24)
      • ►  Agustus (25)
      • ►  Juli (70)
      • ►  Juni (47)
      • ►  Mei (20)
      • ►  April (29)
      • ►  Maret (18)
      • ►  Februari (10)
      • ►  Januari (9)
    • ▼  2014 (41)
      • ▼  Desember (6)
        • Tidak Sekarang
        • Apa Aku yang Membuatmu Jatuh Cinta?
        • Selalu Khawatir
        • Tahu Rasanya Menyakiti Orang yang Kau Cintai?
        • Melepaskan
        • Memiliki Kehilangan
      • ►  November (9)
        • Peduli Apa?
        • Menjadi Samudra
        • Kebijaksanaan, Bukan Kesepakatan
        • Mengapa?
        • Ag Summit Project, Part 1
        • Menciptakan Momentum
        • -selalu- Fire Fox :')
        • Kerinduan; Cerita Tentang Kata Kerja Itu
        • Food Scientist Wanna Be ^^
      • ►  Oktober (10)
        • Hakikat Membutuhkan
        • Hujan
        • Retorika Statistik; Bertemu dan Berpisah
        • Retorika Statistik; Bertemu dan Berpisah
        • Terima kasih, Kak :)
        • Istirahat! Istirahat!
        • 11.54 p.m
        • Allah, Boleh Aku Meminta Waktu Lagi?
        • Begitu ya kalau Kalian sudah Rindu...
        • Beres-beres
      • ►  September (15)
        • "Gusti Allah mboten nate sare, Nduk"
        • Refleksi Hari Tani; Ketahanan Pangan, Hanya Tugas ...
      • ►  Februari (1)
    • ►  2013 (2)
      • ►  Agustus (2)
    • ►  2012 (16)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (3)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (3)
      • ►  April (3)
      • ►  Februari (3)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2011 (11)
      • ►  Desember (5)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (5)

    Total Tayangan Halaman

    Most View

    • SMANSA dan Sebuah Warisan
      SMANSA adalah satu dari 2 sekolah di mana saat aku diterima di dalamnya aku menangis. Iya, aku menangis, tentu bukan karena diterima di...
    • Jurnal 365
      Seperti gambar, tulisan adalah kapsul waktu, yang dapat membawa kita kembali mengenang. Mulai dari yang sangat ingin dikenang, hingga yan...
    • Drama
      Aku mengembangkan senyum terbaikku. Mencoba menikmati setiap waktu yang berjalan kala itu. Mencoba berdamai dengan kenyataan yang tidak s...
    • Berunding dengan Waktu
      Ketika waktu mempermainkan rindu, bersabarlah jangan menyerah. Bukankah hubungan jarak jauh memang seperti itu? Tidak ada lagi malam-ma...
    • Berjalan
        Kapan pun perjalanan membuatmu ragu, berhentilah sejenak, menepilah saja. Karena tak ada yang salah dengan memulai lagi segalanya. Mungkin...

    categories

    Catatan Cerita Dandelion Edelweis Food Scientist Idealisme KAMMI Keluarga Raudhatul Jannah Rentang Tunggu Rohis

    Followers

    facebook Google + instagram Twitter

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top